(Yulian Firdaus)[1]
Kocap kacarito
Ya la illallaha
illalah
Ya Muhammad ya
Rasulullah
Tankocapo rikolo jaman semono yo semono[2]
Kentrung merupakan
salah satu seni pertunjukan yang berupa cerita bertutur atau sastra lisan.
Sastra lisan ialah karya sastra yang diciptakan dan disampaikan secara lisan
dengan mulut, baik di dalam suatu pertunjukan seni maupun luarnya. Sastra lisan
umumnya hidup dan berkembang di dalam masyarakat yang belum atau sedikit
mengenal tulisan, yaitu masyarakat pedesaan yang jauh dari kota. Hal ini
bukanlah berarti bahwa sastra lisan tidak terdapat pada masyarakat yang
mengenal tulisan. Seni
kentrung sudah ada sejak tahun 1915. Tersebar
di sekitar pesisir utara pulau Jawa (Hutomo,1993:28).
Kentrung adalah
seni bercerita, dimana seorang dalang membawakan suatu cerita dengan diiringi
oleh musik, dan diselingi dengan pantun yang disebut dengan parikan. Pada
setiap pementasannya, kentrung dimainkan oleh empat sampai enam orang yang
bertindak sebagai dalang sekaligus berperan sebagai wayang atau tokoh dalam
cerita, pengrawit atau panjak, dan waranggana (pesinden). Dalam
pertunjukan kesenian kentrung seorang dalang mengidentikkan dirinya dengan para
tokoh dalam cerita yang dituturkannya. Sedangkan para panjak bertugas mengiringi
cerita kentrung dengan membunyikan alat instrumen gamelan yang ditabuhnya dan
memberikan selingan berupa parikan. Posisi panjak bisa dirangkap oleh dalang,
artinya seorang dalang yang sambil bercerita ia pun sambil menabuh instrumen
kentrung, terutama instrumen kendang (Hutomo, 1993:16). Biasanya dalam suatu
pertunjukan kesenian tradisional kentrung yang menjadi ciri khasnya adalah
adanya seorang dalang kentrung dan panjak yang memakai kacamata hitam.
Mengenai pengertian
kata kentrung menurut Hutomo (1993:28) ada beberapa pendapat. Pendapat-pendapat
ini pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu berdasarkan
penyingkatan dua kata, dan berdasarkan bunyi yang dikeluarkan oleh instrumen
yang mengiringi pertunjukan kentrung. Pendapat-pendapat itu antara lain
kentrung berasal dari kata ngreken (menghitung) dan ngantrung (berangan-angan),
maksudnya mengatur jalan cerita dengan berangan-angan. Pendapat lain adalah
bahwa kentrung berasal dari kata kluntrang-kluntrung atau untrang-untrung,
artinya,pergi mengembara kian kemari, hal ini menggambarkan kehidupan seorang
dalang kentrung yang banyak mengamen. Ada yang menyebut dari kata kluntrang-kluntrung
(pergi mengembara kesana kemari), ada pendapat lain mengatakan dari istilah leken-leken
(sungguh-sungguh) dan jlentrang-jlentrung (memerhatikan sesuatu yang
penting).
Pengertian kata
kentrung yang lebih masuk akal ialah pengertian yang didasarkan pada bunyi yang
dikeluarkan oleh instrumen kesenian kentrung. Instrumen ini berwujud terbang
(rebana) yang dibuat sedemikian rupa sehingga jika dipukul instrumen tersebut
akan berbunyi trung,......trung........trung......... dari bunyi trung inilah
asal nama kentrung (Hutomo, 1993:28).
Hampir sama seperti penamaan yang
didasarkan pada bunyi yang dihasilkan oleh benda (onomatope). Contoh: nama
jangrik berasal dari hewan serangga yang berbunyi krik krik, gong yang berbunyi
gung gung, dsb.
Dalang
Dalang oleh orang Jawa yang diartikan
sebagai pangudal piwulang yang artinya menyampaikan sesuatu untuk
disampaikan kepada khalayak, memberikan pengetahuan kepada orang lain melalui
sebuah media. Istilah dalang sering didengar terutama dalam kesenian
tradisional Jawa seperti halnya dalam kesenian wayang, kesenian kentrung,
jemblung, dll. Profesi dalang biasanya disandang oleh kaum laki-laki. Hal itu
disebabkan adanya pandangan bahwa laki-laki dianggap lebih menguasai
pedalangan. Namun dalam kesenian tidak ada pembedaan terhadap identitas jenis
kelamin. Seperti diungkapkan Soetarno (1995:38) bahwa seorang dalang mempunyai
kedudukan sentral dalam pertunjukan. Tidak ada keharusan bahwa dalang haruslah
pria, yang terpenting adalah bahwa, ia dapat mendalang dan diterima oleh
masyarakat sebagai dalang. Pekerjaan dalang didasarkan atas tradisi yang
diturunkan secara lisan (Groenendael,1987:6). Untuk istilahnya biasa disebut
dengan nyantrik (mengabdi pada seseorang yang lebih unggul).
Panjak
Panjak bertugas
mengiringi cerita kentrung dengan membunyikan alat instrumen rebana ,terbang, gamelan,
yang ditabuhnya dan memberikan selingan/senggak’an cerita maupun berupa parikan.
Posisi panjak bisa dirangkap oleh dalang, artinya seorang dalang yang sambil
bercerita ia pun sambil menabuh instrumen kentrung.
Cerita
Unsur-unsur cerita yang membangun
cerita terdiri dari unsur dalaman (struktur batin) dan unsur-unsur luaran
(struktur non batin). Kedua unsur itu saling berkorespondensi sesamanya dalam
proses kreatif dalang kentrung. Unsur-unsur dalaman
cerita terdiri dari batang tubuh cerita yang mengandung pendahuluan cerita dan
penutup cerita. Beberapa cerita kentrung, antara lain: Laire Nabi Musa,
Laire Nabi Yusup, Laire Nabi Ibrahim, Laire Nabi Isa, Joharmanik, Ngadege
Mesjid Demak, Ki Ageng Mangir, Laire Jaka Tarub, Arya Penangsang, Damarwulan,
Empu Supa, Laire Jaka Tingkir, Laire Raden Patah, Ajisaka, Anglingdarma, dan
lain-lain.
Penonton
Penonton merupakan unsur yang penting
dalam peertunjukan. Sebagai sarana penyampaian cerita, pesan atau hiburan,
penonton dapat juga berpartisipasi dalam parikan, selingan dsb.
Fungsi
Folklor mempunyai kegunaan
(function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Cerita rakyat
misalnya, mempunyai kegunaan sebagai alat/media pendidikan, pelipur lara,
protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.
Teater rakyat memiliki keistimewaan
ialah ia bisa berkomunikasi langsung dengan masyarakat lingkungannya untuk
mengikuti masalah-masalah sosial dan pembangunan yang dihadapi. Bahkan
masyarakat lingkungan sadar atau tidak sadar merupakan sumber ilham bagi pencipta-pencipta
cerita yang akan dipentaskan dalam teater rakyat (Raharjo, 1986:59).
Kesenian
kentrung tidak hanya ditampilkan sebagai hiburan saja. Fungsi pertunjukan
kentrung bagi masyarakat setempat sebagai media penyampaian pesan pendidikan
agama, nasihat serta hiburan.
Kesenian
kentrung juga sebagai sarana penyampaian pesan pendidikan moral terhadap
masyarakat setempat melalui pertunjukan kentrung yang didalamnya berisi parikan-
parikan (pantun Jawa yang dilagukan atau dinyanyikan oleh dalang beserta
panjaknya dengan iringan musik sederhana yang berisi pesan atau pitutur tentang
nilai-nilai, moral dan etika kepada masyarakat). Dalam hal ini melalui cerita
dan parikan- parikan yang disampaikan oleh dalang kentrung di setiap
pertunjukannya.
Seni Kentrung tidak jauh berbeda
dengan seni tradisional lainnya mengenai fungsinya di masyarakat. Kecuali
sebagai hiburan, kentrung juga sebagai sarana upacara ruwat , perhelatan
pengantin, khitanan, bersih desa, atau untuk memenuhi nadzar. Misalnya ada
orang yang anaknya sakit, ia punya nadzar, jika anaknya sembuh akan
ditanggapkan kentrung. Akan tetapi fungsi tersebut semakin berkurang. Bahkan
sekarang hanya saat-saat tertentu kentrung dipertunjukkan
Seni pertunjukan Kentrung yang
dimainkan bukanlah pertunjukan-pertunjukan sewaan yang memerlukan panggung
megah ataupun listrik berdaya ribuan watt. Kentrung yang dibawakan ialah dengan
cara mengamen. Teramat sederhana bentuk pertunjukan ini, kentrung yang dipentaskan
dengan cara mbarang artinya kentrung dibawa ke jalanan dengan cara
berjalan keliling-keliling dari satu kampung ke kampung lainnya berharap ada
seseorang yang berkenan menanggap kentrung
Pertunjukan teater rakyat banyak
terdapat di lingkungan kelompok suku di daerah-daerah di Indonesia. Suatu ciri
yang tampak khas dari pertunjukan teater rakyat adalah bentuk dan gaya teater
tutur/lisan Meskipun sebenarnya pertunjukan teaternya tidak menghadirkan
peristiwa dramatik, namun seorang pencerita akan menuturkan secara lisan cerita
dramatiknya (Sumardjo, 2004: 39).
Pada masa-masa
sekarang ini keberadaan kesenian kentrung sepertinya terpinggirkan bahkan tidak
terlalu mendapat perhatian, namun pada kenyataannya sampai sekarangpun kesenian
ini masih ada, walaupun keberadaan kesenian kentrung tidak seramai pada masa
1970-an. Hal ini disebabkan teknik penyampaian yang lazim dipakai didalam
cerita dengan cara diperdengarkan atau dipertunjukkan melalui improvisasi atau
dasar sinopsis yang tersimpan dalam ingatan berdasar tradisi lisan. Maka,
naskah-naskah tertulis jarang dijumpai, sastra lisan bentuk-bentuknya yang
sejak dahulu dapat diikuti secara bebas oleh kalangan yang tidak terpelajar,
ternyata memiliki pengaruh yang kuat. Menurut Ras (1992:23) di Jawa, sastra
bagi kebanyakan orang masih merupakan sesuatu untuk didengarkan dan bukan untuk
dibaca, sedangkan justru kehadiran naskah tertulis pada dewasa ini merupakan
syarat mutlak untuk diterima sebagai sastra. Bentuk atau genre visualisasi,
film, musik, dll, telah menggantikan dan mendominasi sastra-sastra tulis maupun
lisan. Derasnya kesenian modern melalui televisi juga memiliki andil dalam
melenyapkan ruang hidup kesenian tradisional di tengah masyarakatnya
(Sunarwoto, 2001:9).
Bila dilihat
setiap zaman selalu didominasi bentuk atau genre tertentu (Sarup,
2003:306), hal tersebut dapat dilihat dari pendapat Nurtono (2003:20) yang
menyebutkan pada dekade 1980-an budaya pop semarak demikian gencar, film
produksi dalam negeri maupun luar negeri sangat laris manis. Gedung bioskop
menyebar dimana-mana, sehingga penggemar ludruk mulai beralih ke bioskop,
sedangkan jalannya kesenian ludruk harus terseok. Itulah penyebab tergesernya folklor, kesenian
tradisional, baik itu ketoprak, ludruk, wayang orang maupun wayang kulit.
Saran-Saran
Seni Kentrung perlu kiranya untuk dilestarikan, karena di dalamnya terdapat nilai sastra, filosofi, petuah dan sekaligus hiburan. Manakala diupayakan adanya apresiasi kentrung masuk sekolah, yang melibatkan ahli sastra maupun dalang kentrung itu sendiri, mungkin akan membuka cakrawala peserta didik dan mengenalkan kembali, bahwa ia sebenarnya memiliki kesenian khas itu.
Cara pengemasan cerita perlu diupayakan agar tidak monoton. Bahkan mungkin juga diadakan modifikasi parikan yang memuat unsur-unsur pendidikan anak. Akan tetapi, untuk pergelaran yang berfungsi ritual, pementasan tetap mempertahankan kekhasannya, sehingga tidak mengurangi nilai-nilai yang bersifat spiritual.
Dari segi regenerasi, memang terdapat kesulitan, karena bercerita sambil menabuh terbang itu sulit. Karenanya, dapat juga kentrung dimainkan lebih dari satu orang, sehingga memudahkan dalang berkonsentrasi dalam bercerita.
Dianjurkan agar masyarakat tidak menganggap bahwa kesenian kentrung suatu pertunjukan yang negatif tetapi harus membuka pandangan dan mau mempelajarinya agar kesenian milik masyarakat tersebut tidak punah. Perlu dukungan dari pemerintah untuk mengembangkan dan melestarikannya.
Seni Kentrung perlu kiranya untuk dilestarikan, karena di dalamnya terdapat nilai sastra, filosofi, petuah dan sekaligus hiburan. Manakala diupayakan adanya apresiasi kentrung masuk sekolah, yang melibatkan ahli sastra maupun dalang kentrung itu sendiri, mungkin akan membuka cakrawala peserta didik dan mengenalkan kembali, bahwa ia sebenarnya memiliki kesenian khas itu.
Cara pengemasan cerita perlu diupayakan agar tidak monoton. Bahkan mungkin juga diadakan modifikasi parikan yang memuat unsur-unsur pendidikan anak. Akan tetapi, untuk pergelaran yang berfungsi ritual, pementasan tetap mempertahankan kekhasannya, sehingga tidak mengurangi nilai-nilai yang bersifat spiritual.
Dari segi regenerasi, memang terdapat kesulitan, karena bercerita sambil menabuh terbang itu sulit. Karenanya, dapat juga kentrung dimainkan lebih dari satu orang, sehingga memudahkan dalang berkonsentrasi dalam bercerita.
Dianjurkan agar masyarakat tidak menganggap bahwa kesenian kentrung suatu pertunjukan yang negatif tetapi harus membuka pandangan dan mau mempelajarinya agar kesenian milik masyarakat tersebut tidak punah. Perlu dukungan dari pemerintah untuk mengembangkan dan melestarikannya.
Rujukan:
Hutomo, S.S.1993. Cerita
Kentrung Sarahwulan di Tuban. Jakarta:Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa.
Nurtono. 2003. Ludruk Gema Tri Brata: Kesenian
Tradisional Jawa Timur. Semeru, Juli no 322 hal 20.
Raharjo, J B. 1986. Materi
Pelajaran Seni Teater (Drama). Bandung: CV Yrama
Ras, J.J. 1992. Sastra
Jawa Mutakhir. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Sarup, M. 2003. Postmodernisme
dan Poststrukturalisme. Suatu Tinjauan Pengantar Kritis.Yogyakarta:
Jendela.
Soetarno. 1995. Wayang
Kulit Jawa. Surakarta: CV Cendrawasih.
Sumardjo, J.2004. Perkembangan
Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: STSI Press
Sunarwoto. 18 februari
2001. Kesenian Kentrung di Bibir Jurang Kepunahan. Jakarta:
Republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar