Pakaian
(Jw:pengageman) Jawa yang melekat di badan adalah simbol identitas budaya yang
dalam sekali maknanya, disamping simbol lain yakni bahasa, rumah tinggal,
makanan ataupun seni musik dalam kelengkapan upacara tradisi. Tanpa disadari,
pakaian yang banyak dikenakan itu telah terbaratkan dan menjauhkan orang Jawa
dari jati diri mereka.
Pengageman Jawa
sebagai penutup badan dicipta SUNAN KALIJAGA berdasar QS Al-A’raf 26: ’’Hai
anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup
auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa (dimaksud agar
selalu bertakwa kepada Allah SWT) itulah yang paling baik. Yang demikian itu
adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu
ingat.”
Oleh Sunan Kalijaga
pengertian ayat diatas dijadikan model pakaian rohani (takwa) agar si pemakai
selalu ingat kepada Allah SWT, kemudian oleh raja-raja Mataram pakaian takwa
ini dipakai hingga sekarang ini.
Setelah perjanjian
Giyanti tahun 1755, Sultan HB I menanyakan perihal pakaian yang perlu diatur
kepada Susuhunan Paku Buwana III. Pangeran Mangkubumi mengatakan bahwa
Ngayogyakarta sudah siap dengan rencana mewujudkan model ’pakaian takwa’,
sedang PB III mengatakan belum siap. Lalu Mangkubumi memperlihatkan rencana
pakaian tersebut dan mengatakan jika dikehendaki dipersilahkan dipergunakan
oleh Surakarta Hadiningrat. PB III setuju sambil menanyakan bagaimana dengan
pakaian Ngayogyakarta, yang dijawab bahwa untuk Ngayogyakarta akan melanjutkan
saja pengageman takwa dari Mataram yang suda ada.
Pakaian takwa sering
disebut SURJAN (sirajan) yang berarti Pepadhang atau Pelita. Di dalam ajarannya
HB I bercita-cita agar pimpinan Negara dan Penggawa Kerajaan memiliki Jiwa dan
Watak SATRIYA, dimana tidak akan lepas dari sifat-sifat: Nyawiji, bertekad
golong-gilig baik berhubungan dengan Allah SWT maupun peraturan dengan sesama.
Sifat Greget (tegas bersemangat), Sengguh (percaya diri penuh jati /harga diri)
dan sifat Ora Mingkuh, tidak melepas tanggung jawab dan lari dari kewajiban.
Maka figur satriya Ngayogyakarta ideal yakni seseorang yang dilengkapi
pengageman Takwa seperti Nyawiji Greget Sengguh Ora Mingkuh.
Bentuk pakaian Takwa
adalah; Lengan panjang, ujung baju runcing, leher dengan kancing 3 pasang
(berjumlah 6, lambang rukun Iman), dua kancing di dada kanan kiri berarti dua
kalimat syahadat, tiga buah kancing tertutup melambangkan 3 nafsu manusia yang
harus diatasi, yakni nafsu bahimiah (binatang), lauwamah (perut) dan nafsu
setan. Pakaian Takwa ini di dalam Kraton hanya dipakai oleh Sri Sultan dan
Pangeran Putra Dalem. Sedang pakaian takwa untuk putri (Pengageman Janggan)
dikenakan untuk Para Abdi Dalem Putri dan Keparak Para Gusti dengan warna kain
hitam.
Pengageman PRANAKAN.
Berarti pakaian meliputi wadah bayi, rahim ibu, juga keturunan, kadang,
saudara, prepat (pengiring), juga abdi terdekat dan punakawan. Baju terbuat
dari kain lurik, bercorak garis lirik telu papat (telupat) kewelu minangka
prepat, yang berarti Rinengkuh dados kadhang ing antawisipun Abdi Dalem
setunggal sanesipun, kaliyan Hingkang Sinuwun Kanjeng Sultan. Warna pakaian
adalah Biru Tua, yang berarti sangat dalam, susah diduga, tak bisa dianggap
remeh dan tidak sembarangan.
Baju Pranakan ini
dengan lengan panjang, kanan kiri berkancing 5 buah lambang Rukun Islam, juga
disebut model belah Banten. Pada leher terdapat tiga pasang kancing berjumlah 6
buah perlambang Rukun Iman. Menurut sejarah, pengageman pranakan diciptakan Sri
Sultan Hamengku Buwana V yang idenya sesudah kunjungan beliau ke Pesantren di
Banten, melihat santriwati berbaju kurung dengan lengan panjang, berlubang
sampai di bawah leher. Cara pakai kedua tangan bersama-sama dimasukkan, baru
kemudian kepala masuk lubang yang terbelah, lalu merapikan dengan menarik
bagian bawah baju.
Proses seseorang
mengenakan pengageman Pranakan digambarkan seakan si pemakai masuk ke dalam
rahim ibu, lubang pranakan dimana tiap manusia pernah menghuni sebelum
dilahirkan. Dengan aman dan nyaman oleh dekapan ibu, bayi yang di dalam rahim
secara alamiah tinggal, sandi Cinta Kasih golong-gilig. Pranakan adalah juga
Pakaian untuk Penggawa Kraton dengan corak dan model sama, dimaksud adanya
demokratisasi di Ngayogyakarta Hadiningrat.***
*)Disarikan dari
Pemaparan KRT Jatiningrat pada forum Pameran PDM Mantrijeron -TOJ Kotagede
pertengahan tahun 2009 di Pendopo Hotel Brongto dan acara Disparda DIY pada
Penyergaran Pemandu Wisata Jogja di Purawisata, 11 Desember 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar