Cari Blog Ini

Sabtu, 17 November 2012

Cak Nun Cak Fuad Maiyah

Mazhab-Mazhab Sesat
 
Sekarang, lebih banyak ulama yang gemar mengeluarkan orang dari Islam dibanding meng-Islamkannya (Cak Nun-Maiyah)
 
Maiyah Rebo Legi Bersama: Cak Fuad, Cak Nun  dkkJM
 
Hari beranjak siang tatkala Cak Fuad memulai obrolan. Matahari awal musim hujan tidak terlampau menyengat. Kami mengawali obrolan dengan tema ringan hingga tanpa sadar akhirnya  memasuki isu-isu “serius” yang membuat  bulir-bulir keringat kerja bakti Mas Azzam Masai berubah menjadi  hujan. Kemudian, sampailah diskusi pada refrain: ”Menurut pengalaman di berbagai tempat mengisi kajian,” demikian Cak Fuad,” jika sedikit saja isi kajian saya menguntungkan pihak Syiah maka dengan segera  saya dianggap membela syiah. Demikian pula saat saya mengisi kajian di tempat lain, jika sedikit saja isi kajian itu dianggap menguntungkan kelompok yang tidak mereka kehendaki, maka dengan segera  mereka mengatakan saya membela A, B, C dan seterusnya. Uniknya, jika sedang mengisi kajian di kelompok A saya dianggap membela B. Sementara di kelompok B, saya dianggap membela kelompok A,” Cak Fuad tertawa kecil.
 
Jadi kukira, lebih kurang skenario mainstream ummat Islam seperti  ini Kawan: Sepeninggal Rosulullah, setiap kelompok memiliki cara pandang/ tafsirnya sendiri atas al Qur’an, Sunnah, Hadits Nabi dan sejarah peradaban Islam. Ada sebagian kelompok yang memandang bahwa  Islam itu harus mutlak-tlak seperti zaman Rosulullah. Baik itu sholatnya, wudhunya, cara membaca Qur’an, cara berpakaian, cara makan  hingga cara bepergian.  Maka jangan heran jika sekarang ada seorang ustadz yang mengaku kepada saya kalau,”Fokus saya sekarang ini adalah melakukan training wudhu dimana-mana. Kemarin saya mengisi training wudhu di Kediri. Di gedung  A. Pesertanya banyak. Sekarang akan saya kembangkan ke kota-kota lain.” Begitu aku sang ustadz dengan gagah. Kelompok ini biasanya mengurus  soal ibadah  mahdoh sampai ke tingkat yang sangat detil dan memandang kejayaan Islam itu ada di masa lalu. Sehingga, pendekatannya juga cenderung melulu pada soal-soal ibadah mahdoh serta sifatnya individual. 
 
Ada pula kelompok yang memandang Islam itu mutlak seperti zaman Rosulullah dalam “spiritnya”. Misalnya jika Rosulullah mengenakan jubah diatas mata kaki, itu spiritnya untuk melawan kesombongan penduduk Mekkah yang suka bersombong-sombong dengan memperpanjang jubahnya hingga menyeret tanah. Jadi, yang semestinya diambil sebagai pelajaran adalah spiritnya, yaitu: tidak menyombongkan diri dengan pakaian atau dengan media apa pun. Bukan pada bentuk pakaiannya.
 
Sedangkan  kelompok yang lain memisahkan antara Islam dan Budaya Arab masa itu. Misalnya jika Rosulullah bepergian dengan mengendarai onta, maka sekarang tidak harus mengendarai onta. Jika masa Rosulullah azan tidak pakai pengeras suara, itu karena dulu belum ada. Dan jika Rosulullah mengenakan jubah dan surban, itu bukan karena jubah dan surban adalah identitas Islam, tapi karena itu merupakan budaya Arab saat Rosulullah hidup bahkan hingga sekarang. Sebab, Abu Jahal, Abu Lahab, Abu Sufyan dan seluruh orang kafir Mekkah juga mengenakan jubah dan surban yang sama dengan yang dikenakan Rosulullah.
 
Semakin jauh dari masa Rosulullah, semakin banyak dan semakin mekar perbedaan cara pandang atas ajaran Islam. Bisa jadi, sebetulnya tidak jadi masalah berbeda dalam cara pandang asalkan  tidak sampai ke level akidah. Tapi, perbedaan cara pandang itu kemudian menimbulkan keretakan diantara ummat Islam sendiri karena paling sedikit dua hal. Pertama,  ummat Islam tidak belajar dengan serius dan kritis  agar mengetahui mana wilayah akidah yang tidak boleh berubah sama sekali dan mana wilayah tafsir yang bisa berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
 
Sedangkan yang kedua, dari ketidakseriusan dan ketidakkritisan belajar itu, lahir cara pandang mata kuda. Sehingga, apa pun yang tidak sesuai dengan apa yang dia pelajari akhirnya dianggap “sesat”. Baik itu sesat di satu meter pertama, sesat dikilometer pertama  maupun  sesat yang sudah ratusan kilometer.
 
Karena itulah perlu dikaji ulang agar kita menemukan titik yang tepat dimanakah letak “kilometer nol sesat” itu.  Jangan-jangan,  kita semua ini dengan apa yang telah kita yakini dan jalankan sebenarnya termasuk golongan “sesat”. Karena sesungguhnya, yang diharapkan  Allah itu bukan bagaimana cara wudhumu, cara sholatmu, cara puasamu. Bukan pada berapa ribu kali engkau mengkhatamkan Al Qur’an dalam satu tahun atau bagaimana tafsirmu atas al Qur’an dan kehidupan Rosulullah, dst. “Tapi, apakah selama kamu hidup di muka bumi ini benar-benar kau kerahkan seluruh energi dan potensi yang kau miliki untuk berlari  menuju AKU atau sebenarnya engkau berlari mengejar nafsu(baca: surga)mu  sendiri, sehingga sejatinya AKU tidak penting bagimu.”
 
Hari benar-benar telah siang, maka kami berjanji melanjutkan obrolan bersama  teman-teman Maiyah pada kajian Maiyah Rebo Legi, Jumat 16 Nopember 2012 jam 19.00-selesai. Di Halaman Masjid Ibadurrahman (sebelah rumah Cak Fuad) Landungsari, Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar