Belajar dan seni memainkan peranan penting dalam sebuah peradaban,
apalagi, di era keemasan Islam, kedua bidang itu mendapat perhatian yang
sangat besar dari para khalifah, ilmuwan, seniman dan masyarakat
Muslim. Salah satu faktor yang telah mendorong berkembangnya ilmu
pengetahuan dn seni rupa di dunia Islam adalah tersedianya tinta dan zat
warna.
Tinta dan zat warna merupakan
bahan yang sangat penting untuk menopang aktivitas keilmuan dan seni
rupa. Karena itulah, umat Muslim di zaman kekhalifahan memberi perhatian
khusus terhadap ketersediaan tinta dan zat warna.
Perkembangan
industri tinta dan zat warna direkam secara khusus oleh Al-Muzz Ibnu
Badis (wafat 416 H / 1025 H) dalam bukunya bertjuk, Umdat Al-Kuttab
(buku tentang Keahlian Menulis dan peralatan oarang-orang arief).
Peradaban Islam memang bukanlah yang pertama menemukan tinta dan zat
warna. Menurut catatan sejarah, peradaban Cina telah menemukan tinta
untuk menghitamkan permukaan gambar dan tulisan yang terpahat pada batu
sekitar 5000 tahun yang lalu. mereka membuat tinta dari campuran jelaga
dari asap kayu cemara, lampu minyak dan jelatin dari kulit binatang
serta darah yang dibekukan.
Ada pula yang menyebutkan, tinta
telah digunakan peradaban India kuno pada abad ke-4 SM, Hal ini
terungkap dari sebuah naskah kuno India, Kharosthi, yang ditemukan para
arkeolog di wilayah Turkistan Cina, sekarang provinsi Xinjiang. Resep
pembuatan tinta telah ditemukan 1.600 tahun yang lalu, ungkap sharon J
Hutington.
Will Kwiatkowski dalam bukunya berjudul, ink and Gold:
Islamic Calligraphy, menuturkan, produksi tinta di dunia Islam telah di
mulai pada 1000 tahun yang lalu. Pada masa itu, tinta digunakan untuk
menulis kaligrafi. Produksi tinta sama pesatnya dengan pencapaian dunia
Islam di bidang seni Kaligrafi. Produksi tinta berkembang di setiap
kekhalifahan, seperti Abbasiyah (749-1258), Selbuk (1055-1243),
Safawiyah (1520-1736) dan Mughal (1526-1857)
Ahmad Y Al-Hassan
dan Donald R Hill dalam bukunya bertajuk, Islamic Technology;An
Ilustrated History mengungkapkan di era kejayaan peradaban Muslim telah
mampu memproduksi tinta hitam. Pada massa itu, terdapat dua tipe utama
permanen. Pertama, tinta permanen yang dihasilkan dari partikel-partikel
halus karbon dan kedua adalah tinta hitam yang berasal dari besi tanat.
Menurut
Al-Hassan dan Hill, karbon untuk tinta hitam diperoleh dari jelaga
berbagai minyak dan lemak, seperti minyak biji rami dan minyak bumi atau
arang giling yang dibuat dari berbagai biji-bijian. Cara membuat tinta
di masa itu begitu khas. Salah satu cara membuat tinta dari jelaga,
papar Al-Hasan, dengan menggunakan lampu empat sumbu untuk membakar
minyak biji rami.
Pada bagian atas lampu terdapat penutup
berbentuk kubah dengan sebuah lubang dan di atasnya terdapat lagi enam
penutup serupa berbentuk cerobong. Sumbu dinyalakan dan minyak terbakar
habis, kemudian jelaga yang terkumpul di dalam cerobong dikumpulkan
menggunakan bulu. Selanjutnya, jelaga itu diayak hingga didapat serbuk
yang halus. Pembuatan tinta permanennya juga ada yang menggunakan gom
Arab (diperolah dari tumbuhan sejenis akasia) sebagai bahan pengikat,
walaupun glair (dibuat dari kocokan putih telur) dapat dijadikan
alternatif.
“Tinta lain juga dijabarkan dalam manuskrip Arab, di
antaranya tinta biru-hitam yang didapatkan dari biji-bijian tertentu dan
ferro sulfat yang msih digunakan hingga kini” ungkap Al-Hassa dan Hill.
Source:
http://kulitintacetak.com/tinta-di-dunia-islam.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar