Cari Blog Ini

Jumat, 03 Agustus 2012

sejarah maritim


SEJARAH MARITIM INDONESIA:MERETAS SEJARAH,MENEGAKKAN MARTABAT BANGSALaksamana TNI (Purn) Bernard Kent SondakhKetua Badan Pembina - Institute for Maritime Studies

LATAR BELAKANG
Bangsa Indonesia seharusnya dapat menghargai dan mensyukuri suatu
anugerah yang sangat besar, yaitu hidup dalam suatu Negara Kepulauan yang
merupakan wilayah sepanjang 3.000 mil laut berupa hamparan laut luas dari
Merauke sampai Sabang. Dengan jumlah pulau lebih dari 17.500 meliputi
wilayah laut yurisdiksi nasional lebih kurang 5,8 juta km2, Indonesia adalah
Negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia terletak pada posisi yang sangat
strategis, yaitu pada persilangan dua benua dan dua samudera, serta memiliki
wilayah laut yang memiliki kekayaan laut yang besar, sekaligus sebagai urat
nadi perdagangan dunia. Posisi Indonesia yang sangat strategis tersebut
memberikan konsekuensi bagi bangsa Indonesia yaitu untuk menjalankan aturan
sebagaimana yang termaktub dalam United Nation Convention on the Law of
the Sea 1982.
Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982 dengan mengukuhkannya ke
dalam UU RI No 17 tahun 1985, sehingga telah resmi mempunyai hak dan
kewajiban mengatur, mengelola, dan memanfaatkan kekayaan laut nasional
untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Geografi Indonesia yang sangat
bersifat kelautan, seharusnya membuat Bangsa Indonesia terus mengembangkan
tradisi, budaya dan kesadaran bahari serta menjadikan laut sebagai tali
kehidupannya. Namun, Indonesia juga wajib memperhatikan kepentingan dunia
internasional terutama dalam menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran
internasional dalam wilayah kedaulatan dan wilayah berdaulatnya. Kewajiban
ini tersurat dalam pasal-pasal UNCLOS 1982, serta tidak kalah pentingnya,
merupakan salah satu tujuan nasional seperti termaktub dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 yang antara lain berbunyi:…… ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial, ……..
Dengan latar belakang demikian, cukup jelas terlihat bahwa aspek
alamiah geografi Indonesia (bentuk dan posisinya), kekayaan alamnya dan
demografinya sangat menentukan kebijakan pembangunan nasional Indonesia.
2
CATATAN PENTING DALAM SEJARAH MARITIM INDONESIA
Sejarah menunjukkan bahwa pada masa lalu, Indonesia memiliki
pengaruh yang sangat dominan di wilayah Asia Tenggara, terutama melalui
kekuatan maritim besar di bawah Kerajaan Sriwijaya dan kemudian Majapahit.
Wilayah laut Indonesia yang merupakan dua pertiga wilayah Nusantara
mengakibatkan sejak masa lampau, Nusantara diwarnai dengan berbagai
pergumulan kehidupan di laut. Dalam catatan sejarah terekam bukti-bukti
bahwa nenek moyang bangsa Indonesia menguasai lautan Nusantara, bahkan
mampu mengarungi samudera luas hingga ke pesisir Madagaskar, Afrika
Selatan.
Penguasaan lautan oleh nenek moyang kita, baik di masa kejayaan
Kerajaan Sriwijaya, Majapahit maupun kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar, lebih
merupakan penguasaan de facto daripada penguasaan atas suatu konsepsi
kewilayahan dan hukum. Namun, sejarah telah menunjukkan bahwa bangsa
Indonesia yang mencintai laut sejak dahulu merupakan masyarakat bahari.
Akan tetapi, oleh penjajah kolonial, bangsa Indonesia didesak ke darat, yang
mengakibatkan menurunnya jiwa bahari.
Nenek moyang bangsa Indonesia telah memahami dan menghayati arti
dan kegunaan laut sebagai sarana untuk menjamin berbagai kepentingan
antarbangsa, seperti perdagangan dan komunikasi.
Pada sekitar abad ke-14 dan permulaan abad ke-15 terdapat lima jaringan
perdagangan (commercial zones). Pertama, jaringan perdagangan Teluk Bengal,
yang meliputi pesisir Koromandel di India Selatan, Sri Lanka, Burma (Myanmar),
serta pesisir utara dan barat Sumatera. Kedua, jaringan perdagangan Selat
Malaka. Ketiga, jaringan perdagangan yang meliputi pesisir timur Semenanjung
Malaka, Thailand, dan Vietnam Selatan. Jaringan ini juga dikenal sebagai
jaringan perdagangan Laut Cina Selatan. Keempat, jaringan perdagangan Laut
Sulu, yang meliputi pesisir barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanao, dan pesisir
utara Kalimantan (Brunei Darussalam). Kelima, jaringan Laut Jawa, yang
meliputi kepulauan Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, pesisir barat
Kalimantan, Jawa, dan bagian selatan Sumatera. Jaringan perdagangan ini
berada di bawah hegemoni Kerajaan Majapahit.
Selain itu, banyak bukti prasejarah di pulau Muna, Seram dan Arguni
yang diperkirakan merupakan hasil budaya manusia sekitar tahun 10.000
sebelum masehi! Bukti sejarah tersebut berupa gua yang dipenuhi lukisan
perahu layar. Ada pula peninggalan sejarah sebelum masehi berupa bekas
kerajaan Marina yang didirikan perantau dari Nusantara yang ditemukan di
wilayah Madagaskar. Tentu pengaruh dan kekuasaan tersebut dapat diperoleh
bangsa Indonesia waktu itu karena kemampuan membangun kapal dan armada
yang layak laut, bahkan mampu berlayar sampai lebih dari 4.000 mil.
3
Selain Sriwijaya dan bahkan sebelum Majapahit, Kerajaan Singosari juga
memiliki armada laut yang kuat dan mengadakan hubungan dagang secara
intensif dengan wilayah sekitarnya. Kita mengetahui strategi besar Majapahit
mempersatukan wilayah Indonesia melalui Sumpah Amukti Palapa dari
Mahapatih Gajah Mada. Kerajaan Majapahit telah banyak mengilhami
pengembangan dan perkembangan nilai-nilai luhur kebudayaan Bangsa
Indonesia sebagai manifestasi sebuah bangsa bahari yang besar.
Sayangnya, setelah mencapai kejayaan budaya bahari, Indonesia terus
mengalami kemunduran, terutama setelah masuknya VOC dan kekuasaan
kolonial Belanda ke Indonesia. Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 antara
Belanda dengan Raja Surakarta dan Yogyakarta mengakibatkan kedua raja
tersebut harus menyerahkan perdagangan hasil wilayahnya kepada Belanda.
Sejak itu, terjadi penurunan semangat dan jiwa bahari bangsa Indonesia, dan
pergeseran nilai budaya, dari budaya bahari ke budaya daratan. Namun
demikian, budaya bahari Indonesia tidak boleh hilang karena alamiah Indonesia
sebagai negara kepulauan terus menginduksi, membentuk budaya bahari bangsa
Indonesia.
Catatan penting sejarah maritim ini menunjukkan bahwa dibandingkan
dengan negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memiliki
keunggulan aspek budaya bahari bentukan secara alamiah oleh aspek-aspek
alamiah Indonesia. Berkurangnya budaya bahari lebih disebabkan berkurangnya
perhatian Pemerintah terhadap pembangunan maritim.
MENUMBUHKAN KEMBALI KESADARAN BAHARI
Sesungguhnya, secara pemikiran dan konsepsi, Bangsa Indonesia sudah
lama ingin kembali ke laut. Pada tahun 1957, Bangsa Indonesia mendeklarasikan
Wawasan Nusantara, yang memandang bahwa wilayah laut di antara pulaupulau
Indonesia sebagai satu-kesatuan wilayah nusantara, sehingga wilayah laut
tersebut merupakan satu keutuhan dengan wilayah darat, udara, dasar laut dan
tanah yang ada di bawahnya serta seluruh kekayaan yang terkandung di
dalamnya sebagai kekayaan nasional yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Bung Karno saat pembukaan Lemhanas tahun 1965 mengatakan bahwa
"Geopolitical Destiny" dari Indonesia adalah maritim.
Melalui suatu perjuangan panjang dan bersejarah di forum internasional,
pada tahun 1982, gagasan Negara Nusantara yang dipelopori Indonesia berhasil
mendapat pengakuan Internasional dalam kovensi PBB tentang hukum laut.
Pada 18 Desember 1996 di Makassar, Sulawesi Selatan, BJ Habibie sebagai
Menristek membacakan pidato Presiden RI yang dikenal dengan pembangunan
4
“Benua Maritim Indonesia”. Selanjutnya pada tahun 1998 Presiden BJ Habibie
mendeklarasikan visi pembangunan kelautan Indonesia dalam “Deklarasi
Bunaken”. Inti dari deklarasi tersebut adalah laut merupakan peluang,
tantangan dan harapan untuk masa depan persatuan, kesatuan dan
pembangunan bangsa Indonesia. Sejak tahun 1999 Presiden Abdurrahman
Wahid menyatakan komitmennya terhadap pembangunan kelautan. Komitmen
pembangunan pemerintah di bidang kelautan, diwujudkan dengan dibentuknya
Departemen Eksplorasi Laut pada tanggal 26 Oktober 1999 dan menempatkan
Sarwono Kusumaatmadja sebagai menteri pertama. Pada bulan Desember nama
departemen ini berubah menjadi Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan,
dan sejak awal tahun 2001 berubah lagi menjadi Departemen Kelautan dan
Perikanan (DKP) hingga sekarang.
Demi menggemakan semangat pembangunan nasional yang berdasarkan
kelautan, Presiden KH Abdurrahman Wahid mencanangkan 13 Desember
sebagai Hari Nusantara dan memperingatinya untuk pertama kali di Istana
Negara, Jakarta tahun 1999. Visi pembangunan kelautan Gus Dur kemudian
diteruskan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, dengan menetapkan tanggal
13 Desember sebagai Hari Nusantara berdasarkan Keppres No. 126 Tahun 2001
tentang Hari Nusantara, dan menjadikan tanggal tersebut sebagai hari resmi
perayaan nasional. Kebijakan yang sangat penting di bidang maritim yang
dibuat oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tahun 2001 yaitu dalam
Seruan Sunda Kelapa menyatakan penerapan asas cabotage sebagai suatu
keharusan. Penerapan asas cabotage adalah kebijakan fundamental bagi
pembangunan industri maritim nasional. Dengan pencetusan kebijakan
penerapan asas cabotage dengan Seruan Sunda Kelapa tersebut, Pemerintah
kemudian segera memulai penyusunan aturan pelaksanaannya. Aturan
pelaksanaannya berupa Inpres tentang Pengembangan Industri Pelayaran
Nasional yang akhirnya ditandatangani oleh oleh Presiden berikutnya yaitu
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berupa Inpres No. 5 tahun 2005. Namun
penerapan Inpres ini berjalan sangat lamban, terutama karena dukungan
Kementerian Keuangan dalam hal kebijakan keuangan dan perpajakan untuk
pengadaan, pengoperasian dan pemeliharaan kapal.
Dalam tataran strategik operasional, budaya bahari bangsa Indonesia
masih memprihatinkan, apalagi bila kita sependapat bahwa budaya adalah
semua hasil olah pikir, sikap dan perilaku masyarakat yang diyakini dan
dikembangkan bersama untuk mengatasi permasalahan yang mereka hadapi,
mengembangkan kehidupan yang lebih layak, dan beradaptasi terhadap situasi
lingkungan hidup. Budaya bahari bangsa Indonesia belum tumbuh kembali,
bukan saja di tengah masyarakat, tetapi juga pada tataran pembuat
kebijaksanaan sehingga Indonesia belum mampu memanfaatkan kelautan
sebagai sumber kesejahteraannnya. Kita perlu mengembangkan kesadaran
bahari Bangsa Indonesia, terutama dengan menerapkan kebijakan pembangunan
maritim nasional berdasarkan konsepsi yang jelas sesuai aspek-aspek alamiah
(Tri Gatra) Indonesia.
5
Mengalir dari uraian di atas, tampak jelas bahwa Indonesia membutuhkan
segera adanya kebijakan pembangunan maritim nasional yang dimulai dengan
perumusan persepsi bangsa Indonesia dalam melihat pengaruh laut terhadap
kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, dan sistem pertahanan dan
keamanan nasional.
MENEGAKKAN MARTABAT BANGSA
Estimasi yang dikeluarkan oleh Dewan Kelautan Indonesia (Dekin) ketika
masih bernama Dewan Maritim Indonesia (DMI), melalui majalah internal
Maritim Indonesia edisi Juli 2007 menyebutkan bahwa laut Indonesia
menyimpan potensi kekayaan yang dapat dieksploitasi senilai 156.578.651. 400
US dollar per tahun. Jika dirupiahkan dengan kurs Rp 9.300 per 1 dollar AS,
angka itu setara dengan Rp 1.456 triliun.
Walaupun demikian, kontribusi sektor kelautan terhadap PDB nasional
dinilai masih rendah. Pada tahun 1998 sektor kelautan hanya menyumbang 20,06
persen terhadap PDB, itupun sebagian besarnya atau 49,78 persen
disumbangkan oleh subsektor pertambangan minyak dan gas bumi di laut. Ini
menunjukkan bahwa kekayaan laut Indonesia yang sangat besar itu masih disiasiakan.
Berbeda dengan negara maritim lain seperti RRC, AS, dan Norwegia,
yang sudah memanfaatkan laut sedemikian rupa hingga memberikan kontribusi
di atas 30 persen terhadap PDRB nasional mereka.
Dengan melihat kenyataan seperti ini, sudah saatnya Bangsa Indonesia
membangkitkan kembali kesadaran bahwa laut harus dipandang sebagai
kesatuan wilayah dan sumber kehidupan, media perhubungan utama, wahana
untuk merebut pengaruh politik dan wilayah pertahanan penyanggah utama.
Kedudukan Indonesia pada posisi silang perdagangan dan memiliki 4
dari 9 Sea Lines of Communication dunia mengakibatkan Indonesia mempunyai
kewajiban yang sangat besar untuk menjamin keselamatan dan keamanan
pelayaran internasional di Selat Malaka/ Singapura dan 3 Alur Laut Kepulauan
Indonesia (ALKI). Indonesia belum mempunyai kemampuan pertahanan dan
keamanan laut yang memadai untuk hal tersebut, apalagi untuk menjaga
kedaulatan di seluruh wilayah laut yurisdiksinya.
Sepanjang berkaitan dengan kebijakan pertahanan nasional, pada
dasarnya Indonesia adalah negara yang cinta damai dan tidak memiliki ambisi
untuk menguasai negara atau wilayah bangsa lain. Akan tetapi, Indonesia
memiliki pulau-pulau yang jauh terutama di Laut Natuna dan Sulawesi, dan
masih ada wilayah perbatasan yang belum ditetapkan serta wilayah dengan
potensi sengketa. Oleh karena itu, Indonesia harus tetap mewaspadai adanya
kemungkinan kontingensi. Indonesia harus memiliki kesiagaan dan kemampuan
6
untuk dapat mengendalikan lautnya dan memproyeksikan kekuatannya melalui
laut dalam rangka memelihara stabilitas dan integritas Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Sebagi suatu Negara dengan kekuatan ekonomi yang terus berkembang,
kelanjutan kemajuan Indonesia akan makin bergantung pada perdagangan dan
angkutan laut dan ketersediaan energi, serta pada ekploitasi sumber daya laut
dan bawah laut serta membangun industri maritim yang tangguh. Oleh karena
itu, sangat jelas bahwa Indonesia memiliki kepentingan nasional yang sangat
besar di laut. Sebagai hal yang mendasari kepentingan Indonesia di laut,
Indonesia harus memiliki kemerdekaan atau kebebasan menggunakan laut
wilayahnya untuk memperjuangkan tujuan nasionalnya, serta mempunyai
strategi untuk menjaga kepentingan maritimnya dalam segala situasi.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah Indonesia sudah memiliki
kemampuan untuk memanfaatkan lautnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat dan kepentingan masyarakat internasional? Rasanya masih jauh
panggang dari api. Jangankan memiliki kemampuan maritim yang memadai,
usaha-usaha ke arah itupun belum tampak jelas. Bahkan Indonesia belum
secara tegas menyatakan kepentingan nasionalnya di laut dan belum
menetapkan National Ocean Policy. Pada dasarnya ada tiga kepentingan
nasional Indonesia di laut yaitu:
1. Memelihara keselamatan dan keamanan serta mempertahankan kepentingan
Indonesia di dan lewat laut;
2. Membangun dan mengembangkan Ekonomi Maritim untuk memperkuat
pembangunan ekonomi nasional;
3. Menjamin kelestarian marine mega biodiversity dan lingkungan laut.
Martabat bangsa memerlukan kekuatan ekonomi dan pertahanan.
Industri maritim mempunyai potensi yang sangat besar. Oleh karenanya apabila
dikelola dengan baik dan benar, potensi maritim dapat menjadi salah satu pilar
ekonomi nasional yang kompetitif, sedangkan pengelolaan yang baik dan benar
sangat ditentukan oleh konsepsi pembangunan maritim, mulai dari persepsi,
misi, kebijakan dan strategi yang tepat.
MEMPERTAHANKAN KEPENTINGAN NASIONAL DI LAUT
Dalam kepentingan menjaga keselamatan, keamanan dan pertahanan
Negara di laut, TNI AL sebagai tulang punggung upaya pertahanan dan
keamanan di laut masih belum memiliki kemampuan yang memadai untuk
melakukan penguasaan laut di bawah yurisdiksi nasional. Kasus Ambalat dan
7
yang terakhir, penangkapan petugas Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi
Kepulauan Riau oleh Polisi Laut Diraja Malaysia hanyalah beberapa contoh,
bagaimana resiko yang harus diterima bila Indonesia tidak memiliki armada
perang yang kuat dan kemampuan pengamanan laut yang handal. Dari
kebutuhan sekitar 300 kapal kombatan, TNI AL hanya memiliki sekitar 130 kapal
dengan komposisi dan kemampuan yang dirasa belum memadai. Kekuatan TNI
AL tertinggal dari negara-negara tetangga, terutama dari sisi teknologi, karena
masih mengandalkan kapal-kapal tua. Thailand saja memiliki kapal induk,
sedangkan kapal kombatan Indonesia masih terbatas sampai jenis Korvet.
Pembangunan TNI AL pun seharusnya lebih bersifat outward looking, yaitu
berdasarkan kebutuhan pengendalian laut nasional sampai ke batas wilayah
Zona Ekonomi Eksklusif, bukan hanya untuk mendukung pertahanan di darat.
Kita perlu mempertimbangkan strategi pertahanan yang bersifat deterrent
dan denial. Kalau musuh bisa ditangkal dan dicegah di laut, kita tidak perlu
berperang di darat. Sebagai contoh, Singapura menganut doktrin pertahanan
forward defence, yang jelas bersifat offensive. Selain itu, sesuai dengan UNCLOS
1982, kewenangan penegakan hukum di laut oleh kapal pemerintah atau
government ship masih lemah karena tersebar pada beberapa instansi. Maritime
security arrangement Indonesia perlu ditata kembali agar lebih efisien dengan
membentuk Indonesian Sea and Coast Guard, sebagai single agency dengan multi
task yang memiliki kemampuan penegakan hukum di laut yang mumpuni, serta
memperkuat kemampuan dan posisi TNI-AL yang memiliki fungsi diplomasi,
polisional dan militer.
Kepentingan mengamankan kegiatan ekonomi dan kedaulatan di laut
yurisdiksi Indonesia yang sangat luas membutuhkan sistem yang profesional,
efektif dan efisien. Contohnya, kewenangan menegakkan hukum di laut tersebar
di 13 instansi.
MEMBANGUN EKONOMI MARITIM
Dari sisi pembangunan ekonomi maritim, Indonesia juga masih
menghadapi banyak kendala. Sektor perhubungan laut yang dapat menjadi
multiplier effect karena perkembangannya akan diikuti oleh pembangunan dan
pengembangan industri dan jasa maritim lainnya masih dikuasai oleh kapal
niaga asing. Azas cabotage seperti yang diamanatkan oleh UU RI No: 17/2008
tentang Pelayaran masih perlu diperjuangkan agar dapat diterapkan dengan
baik. Kendala yang dihadapi adalah masih kurangnya kapasitas kapal nasional,
sedangkan pembangunan kapal baru dihadang oleh tidak adanya keringanan
pajak dan sulitnya kredit serta tingginya bunga kredit untuk usaha di bidang
maritim mengingat usaha jenis ini memiliki tingkat resiko tinggi dan slow
yielding. Untuk angkutan domestik, armada nasional baru mampu mengangkut
8
sekitar 60 persen. Peranan armada nasional dalam angkutan laut internasional
baik ekspor maupun impor menunjukkan kenyataan yang lebih
memprihatinkan, karena pemberlakuan prinsip Freight on Board (FoB), bukan Cost
and Freight (CnF). Dari ekspor dan impor nasional, armada Indonesia hanya
kebagian jatah sekitar 10 persen, mengakibatkan kerugian devisa sebesar 40
miliar USD!
Kita juga masih prihatin terhadap kondisi pelabuhan nasional yang belum
tertata secara konseptual tentang pelabuhan utama ekspor-impor dan
pengumpan. Selain itu, keamanan dan efisiensi pelabuhan Indonesia masih
diragukan, terutama bila dihadapkan pada pemenuhan persyaratan
International Ship and Port Safety (ISPS) Code. Kecelakaan laut yang menimpa
angkutan antar pulau yang memakan korban jiwa yang besar masih terus terjadi,
mengingat kapal yang digunakan adalah kapal tua, tidak dilengkapi peralatan
keselamatan, bahkan tidak layak laut.
Sisi lain dari laut yang memberikan peluang kesejahteraan dan
kemakmuran, sekaligus buah pertikaian pada masa depan adalah sumber daya
laut dan bawah laut. Indonesia memiliki Zona Ekonomi Eksklusif yang
terbentang seluas 2,7 juta km persegi dan keberhasilan untuk mengekploitasi
wilayah ini dapat membantu mengangkat Indonesia keluar dari keterbelakangan
ekonomi. Namun disadari bahwa Indonesia kekurangan kemampuan teknologi
untuk memanfaatkan kekayaan bawah lautnya. Hal ini disebabkan karena
kurangnya survey, research dan sumber daya manusia di bidang maritim.
Indonesia bahkan masih mengalami kesulitan untuk memanfaatkan wilayah
lautnya yang kaya dengan sumber daya perikanan. Illegal, Unregulated and
Unreported fishing masih terjadi secara luas, karena Indonesia belum mampu
memperkuat armada perikanan nasional dan belum mampu mengawasi dan
mengendalikan lautnya secara optimal.
Diperkirakan Indonesia membutuhkan sekitar 22.000 kapal ikan dengan
kapasitas masing-masing di atas 100 ton. Jumlah ini terlihat besar, namun
sesungguhnya merupakan estimasi minimal. Sebagai perbandingan, Thailand
memiliki sekitar 30.000 kapal ikan yang resmi dan konon sekitar 20.000 yang
tidak terdaftar. Di Taiwan, usaha perikanan dapat memberikan penghidupan
yang layak bagi tidak kurang dari 300.000 keluarga. Sedangkan di Indonesia,
terdapat sekitar 8.090 desa pesisir di 300 kabupaten dan kota di mana bermukim
sekitar 16,42 juta warga yang bermata pencarian sebagai nelayan, pembudi daya
ikan, pengolah, pemasar dan pedagang hasil perikanan. Dari jumlah tersebut 32
persen masuk kategori miskin.
Dari uraian pembangunan ekonomi maritim ini terlihat jelas bahwa
kekuatan armada pelayaran niaga dan perikanan adalah ujung tombak dan tolok
ukur keberhasilan pembangunan ekonomi atau industri maritim nasional. Asas
cabotage yang telah secara tegas diatur untuk diterapkan adalah kebijakan
9
fundamental untuk pembangunan industri maritim karena multiplier effect nya
yang sangat luas. Intinya, untuk membangun ekonomi atau industri maritim,
pemerintah perlu segera menerapkan kebijakan insentif kredit dan pajak untuk
pengadaan, pengoperasian dan pemeliharaan kapal sebagaimana diterapkan
oleh pemerintah dari negara-negara lain yang menjadi saingan armada
pelayaran niaga kita. Inpres V/2005 dan UU RI No.17/2008 tentang Pelayaran
telah mengatur masalah ini. Apabila hal ini diberikan perhatian khusus dan
sungguh-sungguh oleh pemerintah, pembangunan industri maritim akan segera
menggeliat secara nyata.
MENJAMIN KELESTARIAN LINGKUNGAN LAUT
Indonesia juga masih mengalami kesulitan untuk menjaga kelestarian
lingkungan laut dan marine mega biodiversity nya. Indonesia memiliki lebih dari
80,000 km persegi daerah terumbu karang atau sekitar 14 persen terumbu karang
dunia. Bersama Phillipina dan Papua New Guinea, wilayah Indonesia
merupakan 35% wilayah terumbu karang dunia, menjadikan wilayah ini sebagai
wilayah prioritas untuk memelihara kelestarian marine biodiversity di Asia-Pasifik
yang dikenal sebagai “Coral Triangle”. Terdapat hutan bakau seluas 2,5 juta
hektar di Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Hutan bakau antara lain berfungsi sebagai daerah pembiakan, pembesaran dan
mencari makan bagi ikan, udang dan organisme laut lain, serta melindungi
pantai dari abrasi dan erosi. Rumput laut juga tumbuh di banyak pantai di
Indonesia.
Dalam kenyataannya, Indonesia mengalami degradasi lingkungan laut
yang sangat serius, yang juga mengancam kelangsungan kehidupan mega
biodiversity di Asia-Pasifik. Dalam 50 tahun terakhir, kerusakan terumbu karang
meningkat dari sekitar 10% menjadi 50%. Hutan bakau di Indonesia juga
berkurang dengan cepat karena pembangunan fasilitas pantai dan tambak liar.
Tanpa upaya yang cepat dan serius maka seluruh terumbu karang Indonesia
akan lenyap dalam 20 sampai 40 tahun. Dapat dibayangkan apa yang akan
terjadi dengan industri perikanan dan kelautan serta wisata bahari di Indonesia.
Penyebab utama kerusakan karang dan lingkungan laut adalah penangkapan
ikan yang merusak, pengembangan wilayah pantai yang tidak terkendali dan
sedimentasi serta polusi.
Cukup jelas bahwa pembangunan kelautan harus dilaksanakan secara
berkelanjutan (sustainable). Perusakan dan pencemaran lingkungan laut dan
pantai akan sangat merugikan usaha perikanan dan pariwisata bahari yang
memiliki potensi ekonomi yang sangat besar.
10
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Untuk mengatasi semua tantangan di bidang kelautan ini maka tidak
dapat tidak, seluruh komponen bangsa harus segera membangkitkan maritime
domain awareness, atau kesadaran lingkungan maritim. Hal ini diperlukan,
karena sepertinya kita tidak lagi memiliki budaya bahari, sehingga perlu
dibangun kembali melalui upaya penyadaran. Lingkungan bahari yang
dimaksud adalah semua area dan hal-hal yang berhubungan, berkaitan,
berdekatan atau berbatasan dengan laut, samudera atau semua perairan yang
dapat dilayari, termasuk semua kegiatan yang berhubungan dengan maritim,
infrastruktur, masyarakat, muatan kapal, armada, baik niaga, perikanan,
maupun armada perang. Upaya menyadarkan masyarakat terhadap arti
penting lingkungan maritim haruslah sampai kepada penyadaran yang efektif
terhadap segala sesuatu yang menyangkut lingkungan maritim merupakan hal
yang vital bagi keamanan, keselamatan, ekonomi dan lingkungan hidup bangsa
Indonesia, serta menunjang upaya menegakkan harga diri bangsa.
Menyadarkan bahwa laut adalah aspek alamiah yang paling
mempengaruhi kehidupan poleksosbudhankam nasional merupakan isu yang
paling utama dan menarik perhatian.
Pemerintah harus menjadi ujung tombak, dan untuk itu pemerintah
Indonesia perlu segera menetapkan sebuah National Ocean Policy dalam rangka
pemanfaatan laut bagi sebesar-besarnya kemakmuran bangsa, sekaligus untuk
mengembangkan kembali budaya bahari bangsa, yang tujuan akhirnya tentulah
penguasaan laut nasional yang dapat menegakkan harga diri bangsa.
2. SARAN
Pemerintah bersama seluruh pemangku kepentingan merumuskan dan
memasyarakatkan persepsi kelautan yang tepat bagi bangsa Indonesia, yakni
laut sebagai tali kehidupan dan masa depan bangsa.
Dengan persepsi demikian tersebut dapat memacu kesadaran akan arti
penting dan strategis masalah maritim dalam pembangunan nasional.
Kebijakan nasional yang tertuang dalam konsideran Perpres No. 19 Tahun
1960 Tentang Pembentukan Dewan Maritim yang berbunyi: Indonesia sebagai
negara maritim memiliki nilai yang unik dan sangat penting sehingga segala
sesuatu yang bersangkut-paut dengan masalah maritim harus diberikan
perhatian khusus dan sungguh-sungguh.
11
Memperkuat kembali kebijakan yang memberi perhatian khusus dan
sungguh-sungguh terhadap masalah maritim, merupakan keputusan yang tepat
dan sangat relevan.
Di samping hal tersebut di atas, tidak kalah pentingnya memperkuat
wawasan nusantara untuk mempercepat terbentuknya keunggulan kompetitif
Indonesia dalam persaingan internasional, dan mempertahankan martabat
bangsa.
Catatan dan Referensi:
1. UU. No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran.
2. Inpres V Tahun 2005 Tentang Pengembangan Industri Pelayaran Niaga
Nasional.
3. Perpres No. 19 Tahun 1960 Tentang Pembentukan Dewan Maritim.
ABC News Online, Last Update: Saturday, February 12, 2005. 6;00pm (AEDT),
Indonesian Navy plans fleet expansion.
4. Hasyim Djalal, “Combating Piracy: Cooperation Needs, Efforts, and Challenges”,
Piracy in South Asia, Status, Issues, and Responses, Edited by Derek Johnson
and Mark Valencia, ISEAS Publications, 2005.
5. Ketut Sarjana Putra, Jatna Supriatna, Mark Edmann and Laure Katz,
Coservation International (CI) Indonesia, “Cross-sector Partnership in
Conserving Indonesia’s Marine and Coastal Biodiversity: A Lesson Learned from
Raja Ampat Bird’s Head Seascape Indonesia”.
6. Peter Gwin, “The Strait of Malacca Dark Passage”, National Geographic,
October 2007.
7. Singapore Meeting on the Straits of Malacca and Singapore: “Enhancing
Safety, Security and Environment Protection”, 4 – 6 September 2007.
8. Zhang Xuegang, “South Asia and Energy, Gateway to Stability”, China Security,
Vol. 3 No 2, page 19.
9. Koran Rakyat Merdeka, Sabei, 30 May 2009, page 12.
10. Djoko Pramono, “Budaya Bahari” Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005.
11. Menuju Kejayaan Bangsa Bahari, Majalah Berita Indonesia, Jumat 23
November 2007.
12. Nasru Alam Aziz, webarchive Kompas, Rabu 18 Februari 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar