Studi Komparatif Atas
Pemikiran dalam Teori Sejarah
Ilmu Sejarah adalah
ilmu yang menggairahkan, karena ia mengajak manusia untuk memikirkan kembali
keberadaannya, sambil bertamasya ke masa silam. Dengan belajar sejarah, kita
akan meneruskan peradaban yang sudah ada, tidak memulai kehidupan dari titik
nol. Tentu saja, bagi para sejarawan, gairah sejarah tidak hanya terletak
sebatas ini. Sejarawan –sebagai orang yang “memproduksi” sejarah-, justru
menjadi gairah ketika ia melakukan pencarian terhadap sebuah kebenaran
peristiwa sejarah. Mendekati kebenaran bagi sejarawan, adalah sebuah
keniscayaan -walaupun hal itu adalah sesuatu yang absurd. Hal ini disebabkan
karena “kebenaran” yang ditulis sejarawan berhubungan dengan kenyataan sosial
masyarakat. Dengan kata lain, sejarawan bertanggung jawab terhadap seluruh
ingatan kolektif yang ada di masyarakat.
Sebagai langkah atau
upaya mendekati kebenaran, terdapat proses dialog yang berlangsung antar
sejarawan. Masing-masing sejarawan, memiliki cara atau pendekatan tersendiri,
dalam menafsirkan kebenaran. Tentunya, hal ini bersandar pada argumentasi yang
dapat dipertanggung-jawabkan.
Narativisme
Berdasarkan istilah
kebahasaan, narativisme berasal dari bahasa latin, narratio yang berarti
cerita. Secara umum, jika mendengar kosa-kata ini, yang tergambar adalah kisah
yang berlangsung antar penggalan episode satu ke episode lain, dengan
eksplorasi alur kronologis yang tak boleh terputuskan. Hubungan antar episode,
harus melahirkan seorang tokoh sentral atau tokoh besar. Karena sebuah cerita
tak akan menarik, jika semua tokoh yang ada disama-ratakan. Tokoh harus dibuat
secara bertingkat, terbatasi sekat-sekat status sosial, tingkat mitologi
religiusitas dan sebagainya. Bahkan, Carlyle mengatakan “sejarah dunia ini
adalah biografi orang besar.”
Secara umum, definisi
narativisme dalam ilmu sejarah tidak jauh berbeda dari pengertian diatas. Namun
demikian, berbeda dengan kisah biasa, narativisme dalam penceritaannya juga
melalui tahap metode sejarah. Ranke mengatakan bahwa tugas sejarawan adalah
menceritakan kebenaran suatu peristiwa apa adanya, dan kebenaran sejarah ada
pada dokumen (istilahnya mengenai obyektifitas: “Wie es eigentlich gewesen”).
Dengan demikian, sejarawan bertugas untuk menguraikan fakta dalam dokumen
secara kronologis sebagai sebuah kesatuan cerita. Ankersmith mengatakan bahwa
kisah yang baik mengenai suatu peristiwa adalah kisah yang banyak mengandung
detail fakta-fakta. Kendati demikian, narativisme bukan hanya menafsirkan masa
silam dan menyusun laporan secara kronologis. Narativisme juga ingin melukiskan
sifat-sifat khas bagi suatu kurun tertentu (Ankersmith: 1987).
Dalam narativisme,
Aktor memiliki kedudukan penting, karena sejarah berbicara mengenai tokoh, dan
tokoh itu harus memiliki kategori yang menentukan perubahan. Sejarah tercipta,
karena adanya individu/tokoh yang melakukan sesuatu, karena aktorlah perubahan
tercipta. Narativisme akan mencontohkan, bahwa sukar untuk mendefinisikan
terjadinya Perang Dunia II, seandainya Hittler tidak dilahirkan ke dunia. Jadi
individualisme Hitler, adalah penting untuk menggambarkan terjadinya perang
yang menghancurkan kemanusiaan tersebut.
Dengan demikian,
kelebihan dari narativisme ialah detail-detail dalam cerita, dan juga mampu
menunjukkan jalannya suatu peristiwa sebagai sebuah cerita yang berkaitan.
Sebagai karya sastra, tulisan narativisme menjadi suatu kisah yang enak di
baca. Apalagi didalamnya ada tokoh sentral dan pembantu, serta figuran.
Narativisme juga menarik untuk membangkitkan daya imajinasi.
Kelemahan Narativisme
Narativisme memiliki
kelemahan sebagai berikut:
1. Narativisme dianggap selalu berbicara
mengenai orang besar, padahal sejarah juga mencakup hal-hal yang kecil.
Individu dilihat sebagai makhluk yang kreatif dan mampu melakukan perubahan
dengan sendirinya, padahal individu bukanlah sesuatu yang given. Individu
muncul sebagai proses adaptasi terhadap ekologinya. Hitler, muncul dengan
fasisnya harus dijelaskan dari sisi lain, bahwa saat itu Jerman dalam posisi
terhinakan karena PD I. Dan untuk itu Hitler memerlukan kepercayaan diri bagi bangsanya,
jalannya yaitu dengan praktek rasial.
2. Narativisme hanya menjelaskan sejarah
atas dasar fakta yang ada pada dokumen. Padahal banyak kebenaran yang luput
dituliskan, dan hal ini penting untuk menjelaskan suatu peristiwa. Dokumen juga
memiliki banyak kelemahan, ketika ditulis, hal-hal yang ada dalam dokumen sudah
melalui tahap seleksi. Karenanya, ia harus dipahami sebagai suatu karya yang
disusun berdasarkan selera dan kepentingan penulisnya. Kemudian kelemahan lain
dokumen, yaitu karena ia diproduksi oleh suatu institusi. Terdapat
kecenderungan, bahwa institusi hanya akan menceritakan sesuatu yang baik bagi
dirinya.
3. Narativisme menekankan pemahaman literal,
artinya hanya menggunakan data dokumen sebagaimana adanya. Narativisme
menekankan hubungan sebab-akibat, tanpa melihat alternatif pilihan yang lain.
Tidak mencari “sesuatu” yang berada dibawah permukaan. Ketika bercerita
mengenai perlawanan Pitung, narativisme hanya melihat apa dan bagaimana
jalannya perlawanan. Tanpa mau melihat bahwa Perlawanan Pitung, muncul dari
sisi mentalitas kaum betawi-santri, klas sosial dan faktor-faktor lainnya.
Strukturalisme
Istilah
strukturalisme identik dengan Levi Strauss dan Annalles School. Tradisi ini
muncul sebagai kritik terhadap pendekatan narativisme yang dianggap terlalu
memanjakan aktor. Mazhab struktural menekankan bahwa seorang tokoh besar tidak
lahir dan berkembang dalam ruang hampa, melainkan ia hadir dalam konteks
struktur sosial tertentu. Mazhab struktural memaparkan bahwa struktur sosial dapat
terbentuk karena pengaruh geografis. Singkatnya, seorang tokoh yang berperan
dalam suatu peristiwa sejarah dipengaruhi secara dominan oleh determinan fisik.
Contoh: seorang tokoh yang egaliter pada umumnya lahir di bentang alam pesisir
dan seorang tokoh yang hierarkis pada umumnya lahir di bentang alam pedalaman
atau pegunungan yang terisolasi.
Dalam strukturalisme
yang ditekankan justru adalah struktur bukan manusia. Struktur membutuhkan
elemen (individual/manusia), tetapi itu hanya sebagai bagian dari hukum atau
aturan yang berlaku. Bagaimanapun, setiap tindakan individu pada hakekatnya
dilandasi norma-norma yang berlaku pada masyarakatnya. Manusia tidak bisa
menjadi individu, kecuali dalam lingkungan sosialnya (Leirissa: 2002). Jadi
sadar atau tidak, apa yang dilakukan manusia tidak bisa lepas dari struktur.
Karenanya penjelasan teoritik dan analitik terhadap apa yang dilakukan harus
diurai dalam konteks struktur. Untuk itulah seorang sejarawan hendaknya tidak
hanya memahami fakta-fakta suatu peristiwa, melainkan juga harus memahami
ilmu-ilmu bantu/teori-teori sosial untuk membedah sebuah struktur peristiwa.
Klaim kerja
strukturalisme, mengatakan bahwa realitas harus dimaknai sebagai misteri yang
harus dicari, karena ia hanyalah fenomena/tampakan. Dengan demikian sebuah
realitas adalah suatu yang harus dilihat secara abstrak, dan dijelaskan sebagai
sebuah fenomena. Levi Strauss, berpendapat bahwa struktur adalah konsep cara
berfikir manusia yang elementer, dan karenanya bersifat universal. Untuk itu
yang penting ialah bagaimana kita memahami cara berfikir simbolik pada manusia.
Menurut Lloyd (1987),
strukturalisme diperkenalkan dalam berbagai bidang pengetahuan oleh beberapa
tokoh ternama, seperti: Ferdinand Saussure dalam bidang linguistik, Emile
Durkheim dalam sosiologi, Karl Marx pada bidang ekonomi-politik dan sejarah
serta Sigmund Freud dalam bidang psikologi.
Dalam bidang
psikologi atau juga mentalite, strukturalisme mendapat tempat pada pemikiran
Annales School, yaitu Lucien Febvre, March Bloch, yang berlanjut pada Fernand
Braudel. Bagi mereka pekerjaan sejarawan adalah meneliti lingkungan sosial yang
menjadi bekal mentalnya, bukan pada hubungan antar individu an sich. Buku
karangan Febvre mengenai religiusitas seorang pengarang perancis abad ke-16,
Rebelias, adalah contoh yang menarik. Dalam buku ini, Febvre menunjukkan
bagaimana alam pikiran manusia pada abad-16 demikian diresapi keyakinan
religius, sehingga suatu atheisme konsekuen mustahil ada dalam iklim ini.Kaum
Marxis, juga terpengaruh strukturalisme. Althusser, misalnya mengatakan bahwa
individu hanyalah sub-ordinat dari system dan bekerja menurut system yang
berlaku. Dengan demikian untuk melihat dominasi, kita tidak hanya harus melihat
kepada setiap struktur yang berlaku formal. Justru struktur yang sebenarnya
“bermain” pada setiap ruang, seperti ekonomi, politik, budaya, kepercayaan dan
sebagainya. Jadi, struktur tidak harus dilihat sebagai suatu yang hegemoni,
atau terlihat sebagai suatu kekuatan yang besar, seperti suatu kekuatan
birokrasi politik.
Dengan demikian,
kelebihan strukturalisme terletak dari cara pendekatan ini mengungkapkan
sesuatu yang tak-terlihat, yaitu pada analisa prosesualnya. Strukturalisme juga
jeli, dalam melihat lingkungan sebagai hal yang penting melahirkan suatu
perubahan. Hasilnya, seorang sejarawan artinya juga harus menjadi atau
setidaknya memahami teori-teori sosial.
Kelemahan
Strukturalisme
Strukturalisme
memiliki kelemahan sebagai berikut:
1. Struktur sosial yang sesungguhnya tidak
sanggup membangun hubungan kausal yang sebenarnya sangat dominan dalam ilmu
sejarah, tetapi hanya hubungan “quasi-causal”. Struktur sosial hanya ada bila
“dibuat” oleh individu atau kelompok sosial. Dengan demikian struktur sosial
sesungguhnya tidak bisa menjadi kausa dari tindakan individu atau kelompok
sosial. Padahal menentukan kausalitas adalah tugas utama dari ilmu sejarah.
2. Sejarah structural tidak bersifat
prosesual. Dalam hal ini yang dipelajari lebih menekankan struktur sosial yang
amat panjang jangkauannya, bukan perubahan dari satu struktur sosial ke
struktur sosial lainnya. Dengan demikian, kerja strukturalisme menjadi sesuatu
yang spekulatif dan metafisik. Celakanya lagi, apabila kecenderungan ini
terlalu dipaksakan, akan mengakibatkan pembunuhan terhadap fakta-fakta suatu
peristiwa.
3. Strukturalisme melihat manusia sebagai
obyek pasif, yang tidak berbuat apa-apa atau memiliki kreatifitas untuk
berubah. Strukturalisme hanya beranggapan bahwa struktur adalah sesuatu yang
baku. Padahal realitasnya banyak perubahan yang muncul justru karena manusia
bersikap kreatif, yaitu ingin merombak struktur. Ketika sebuah struktur
dianggap tidak lagi menguntungkan, maka muncul keinginan individu secara
kolektif untuk merubah struktur, sehingga terjadilah perubahan. Dan
strukturalisme tidak mampu menjawab penjelasan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar