Dalam
rangka memahami makna masyarakat sipil (civil society) itu perlu
ditelusuri pemaknaannya dari sejarah pemikiran terdahulu. Penelusuran
pengartian civil society tidak bisa dilepaskan dari pemikiran negara
karena keberadaan civil society erat terkait dengan konsep negara itu
sendiri. Oleh karena itu pembicaraan mengenai civil society selalu
dibarengi dengan pembicaraan mengenai negara.
Penelusuran
pemikiran ini membatasi diri pada pemikiran Hegel, Karl Marx dan
Antonio Gramsci. Pembahasan akan dimulai dari Hegel kemudian Marx dan
terakhir Gramsci. Pengurutan pembahasan berdasarkan kronologi sejarah
itu sendiri. Dalam pembahasan ini akan dicoba diperlihatkan pemikiran
mana yang disangkal oleh pemikiran selanjutnya, pemikiran mana yang
diterima atau dirumuskan kembali dengan pemikiran baru. Pada bagian
akhir tulisan ini, diberikan kesimpulan yang berisi garis besar
pembahasan tulisan dan kontribusi pemikiran-pemikiran tokoh ini bagi
pemaknaan demokrasi.
HEGEL: NEGARA DAN MASYARAKAT SIPIL
A. Teori Dialektika Hegel
Pemikiran Hegel tidak bisa dilepaskan dalam dialektika antara tesis, antitesis dan sintesis. Dalam bukunya Philosphy of Right,
negara dan masyarakat sipil ditempatkan dalam kerangka dialektika itu
yaitu keluarga sebagai tesis, masyarakat sipil sebagai antitesis dan
negara sebagai sintesis.[1]
Dialektika
itu bertolak dari pemikiran Hegel bahwa keluarga merupakan tahap
pertama akan adanya kehendak obyektif. Kehendak obyektif dalam keluarga
itu terjadi karena cinta berhasil mempersatukan kehendak.
Konsekuensinya, barang atau harta benda yang semula milik dari
masing-masing individu menjadi milik bersama. Akan tetapi, keluarga
mengandung antitesis yaitu ketika individu-individu (anak-anak) dalam
keluarga telah tumbuh dewasa, mereka mulai meninggalkan keluarga dan
masuk dalam kelompok individu-individu yang lebih luas yang disebut
dengan masyarakat sipil (Civil Society). Individu-individu
dalam masyarakat sipil ini mencari penghidupannya sendiri-sendiri dan
mengejar tujuan hidupnya sendiri-sendiri. Negara sebagai institusi
tertinggi mempersatukan keluarga yang bersifat obyektif dan masyarakat
sipil yang bersifat subyektif atau partikular.[2]
Meskipun
logika pemikiran Hegel nampak bersifat linear, namun Hegel tidak
memaksudkannya demikian. Hegel memaksudkannya dalam kerangka dialektika
antara tesis, antitesis dan sintesis.[3]
Dalam kerangka teori dialektikanya ini, Hegel menempatkan masyarakat
sipil di antara keluarga dan negara. Dengan kata lain, masyarakat sipil
terpisah dari keluarga dan dari negara.
B. Masyarakat Sipil (Civil Society)
Masyarakat
sipil bagi Hegel digambarkan sebagai masyarakat pasca Revolusi Perancis
yaitu masyarakat yang telah diwarnai dengan kebebasan, terbebas dari
belenggu feodalisme.[4]
Dalam penggambaran Hegel ini, Civil Society adalah sebuah bentuk
masyarakat dimana orang-orang di dalamnya bisa memilih hidup apa saja
yang mereka suka dan memenuhi keinginan mereka sejauh mereka mampu.
Negara tidak memaksakan jenis kehidupan tertentu kepada anggota Civil
Society seperti yang terjadi dalam masyarakat feodal karena negara dan
civil society terpisahkan.
Masyarakat sipil terdiri dari individu-individu yang masing-masing berdiri sendiri atau dengan istilah Hegel bersifat atomis.[5]
Akibatnya, anggota dalam masyarakat sipil (civil society) tidak mampu
mengobyektifkan kehendak dan kebebasan mereka. Kehendak dan kebebasan
mereka bersifat subyektif-partikular. Meskipun demikian, masing-masing
anggota dalam mengejar pemenuhan kebutuhannya saling berhubungan satu
sama lain.[6]
Civil society menjadi tempat pergulatan pemenuhan aneka kebutuhan dan
kepentingan manusia yang menjadi anggotanya. Dalam kerangka penggambaran
ini, masyarakat sipil adalah masyarakat yang bekerja. Karena kegiatan
masyarakat sipil tidak dibatasi oleh negara, maka dalam masyarakat sipil
terjadilah usaha penumpukan kekayaan yang intensif.[7]
Berkaitan
dengan ciri kerja itu, masyarakat sipil ditandai dengan pembagian kelas
sosial yang didasari pada pembagian kerja yaitu kelas petani, kelas
bisnis dan kelas birokrat atau pejabat publik (public servants).[8] Kelas petani mengolah tanah dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarga-keluarga.[9] Kelas bisnis terdiri dari pengrajin, pengusaha manufaktur dan pedagang.[10] Kelas pelayan publik bertugas memelihara kepentingan umum komunitas masyarakat sipil.[11]
Kelas pejabat publik ini bila ditinjau dari gaji yang diperoleh
merupakan kelas dalam masyarakat sipil, tetapi bila ditinjau dari
tugasnya, ia termasuk kelas eksekutif dalam negara. Jadi, kelas birokrat
atau pejabat publik ini dalam pemikiran Hegel merupakan jembatan dari
masyarakat sipil ke negara.
Masyarakat
sipil adalah masyarakat yang terikat pada hukum. Hukum diperlukan
karena anggota masyarakat sipil memiliki kebebasan, rasio dan menjalin
relasi satu sama lain dengan sesama anggota masyarakat sipil itu sendiri
dalam rangka pemenuhan kebutuhan mereka. Hukum merupakan pengarah
kebebasan dan rasionalitas manusia dalam hubungan dengan sesama anggota
masyarakat sipil. Tindakan yang melukai anggota masyarakat sipil
merupakan tindakan yang tidak rasional.[12]
Ciri
kerja dan sifat atomis dari masyarakat sipil ini menyebabkan masyarakat
sipil lebih menyukai bantuan kepada orang miskin tidak melalui bantuan
langsung tetapi dengan cara memberi pekerjaan kepada mereka sehingga
akan meningkatkan produktifitas komunitas.[13]
Hegel lebih lanjut mengatkaan bahwa pada titik tertentu masyarakat
sipil mencapai kelimpahan produksi sebagai akibat dari kerja para
anggota masyarakat sipil. Titik jenuh produksi ini disebut Hegel sebagai
tingkat kematangan masyarakat sipil. Dalam tingkat kematangan ini,
masyarakat sipil harus mencari pasar di tempat lain dengan cara
mengkoloni tempat tersebut. Tapi Hegel menyebutkan alasan tindakan
koloni itu dalam rangka mencukupi kebutuhan keluarga-keluarga di tempat
lain.[14]
C. Negara (State)
Negara
merupakan badan universal dimana keluarga dan masyarakat sipil
dipersatukan. Sebagai badan universal, negara mencerminkan kehendak dari
kehendak partikular rakyatnya. Keuniversalan kehendak negara sebenarnya
telah ada secara implisit dalam kehendak individu masyarakat sipil
yaitu ketika mereka mengejar pemenuhan kebutuhan pribadi sekaligus juga
memenuhi kebutuhan individu-individu lain dalam masyarakat sipil.[15] Negara mempersatukan segala tuntutan dan harapan sosial masyarakat sipil dan keluarga.
Dalam
kedudukannya yang tertinggi, negara mengatur sistem kebutuhan
masyarakat sipil dan keluarga dengan memberikan jaminan stabilitas hak
milik pribadi, kelas-kelas sosial dan pembagian kerja. Pengaturan negara
itu dilakukan melalui hukum. Melalui hukum itu, negara berfungsi untuk
memperkembangkan agregat tindakan rasional sebab pembatasan yang
dilakukan oleh hukum negara merupakan pembatasan rasional yang
diperlukan bagi keberadaan individu-individu lainnya. Kebebasan individu
ditentukan oleh rasionalitas manusia. Hukum negara menjadi instrumen
untuk mengingatkan manusia agar tidak bertindak irrasional.
Bagi Hegel, negara adalah kesatuan mutlak. Oleh karena itu, Hegel menolak pembagian kekuasaan di dalam negara.[16]
Di dalam negara, tidak ada pembagian kekuasaan tetapi yang ada adalah
pembagian pekerjaan untuk masalah-masalah universal. Negara yang
digambarkan Hegel sebagai ideal dari konsep kesatuannya adalah negara
monarki konstitusional yang tersusun dalam Legislatif, Eksekutif dan
Raja. Raja merupakan kekuasaan pemersatu dan sekaligus yang tertinggi
dari semuanya. Eksekutif merupakan kelompok birokrasi yang pejabatnya
diangkat berdasarkan keahlian dan digaji tetapi pekerjaannya menyangkut
masalah-masalah universal dan harus bebas dari pengaruh-pengaruh
subyektif. Legislatif bergerak di bidang pembuatan hukum dan konstitusi
serta menangani masalah-masalah dalam negeri yang dalam hal ini diduduki
oleh Perwakilan (Estate) yang terdiri dari kelas bawah yaitu kelas
petani, kelas bisnis dan kelas tuan tanah. Perwakilan (Estate) dalam
legislatif bertugas agar Raja tidak bertindak sewenang-wenang dan
mencegah agar kepentingan-kepentingan partikular dari individu,
masyarakat dan korporasi jangan sampai melahirkan kelompok oposisi
terhadap negara.[17]
Dalam hubungannya dengan Raja, Perwakilan ini juga menjadi penasehat
Raja. Bagi Hegel, negara monarki konstitusional merupakan bentuk negara
modern yang rasional karena monarki konstitusional merupakan hasil
pemikiran yang bersifat evaluatif atas monarki lama.[18]
MARX : NEGARA DAN MASYARAKAT SIPIL
A. Latar Belakang: Kritik Marx Atas Pemikiran Negara dan Masyarakat Sipil Hegel.
Marx mengritik pemisahan negara dan civil society dari Hegel menjadi penyebab keterasingan manusia.[19]
Manusia dalam civil society bersifat egois. Manusia-manusia lain dalam
civil society saling memanfaatkan satu sama lain demi mencukupi
kebutuhan mereka sendiri dan karena itu dalam civil society akan terjadi
anarki. Oleh karena itulah, civil society memerlukan negara yang
memaksa mereka untuk bersikap sosial melalui kepatuhan kepada hukum.
Menurut Marx, seandainya individu dalam civil society itu tidak terasing
dari kesosialannya, negara tidak diperlukan lagi.
Jadi,
yang menjadi pokok bukan negara tetapi justru manusia dalam masyarakat
sipil itulah yang yang menjadi realitas pertama. Oleh karena itu, Marx
sependapat dengan Feuerbach bahwa filsafat Hegel terbalik secara hakiki .[20]
Logika Hegel mengenai negara membawahi civil society dibalik menjadi
civil society membawahi negara. Logika pembalikan ini bisa dijelaskan
dalam pengertian civil society sebagai masyarakat borjuis dan negara
merupakan alat di tangan borjuis untuk melanggengkan proses penghisapan
terhadap kaum buruh.
Marx
mengatakan bahwa teori negara Hegel tidak dapat menyelesaikan konflik
tetapi justru akan melembagakan konflik itu sendiri dalam negara.
Mengapa demikian? Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh Marx yaitu :
pertama, perwakilan dalam negara monarki konstitusional yang
keanggotaannya terdiri dari bermacam-macam kelas justru akan melahirkan
konflik di antara kelas-kelas itu sendiri. Kedua, kelas birokrat yang ditampilkan Hegel akan memperjuangkan kepentingan kelas dari mana pejabat birokrasi itu berasal dan ketiga, pemisahan negara dengan masyarakat sipil akan melanggengkan konflik kepentingan antara negara dengan masyarakat sipil.[21]
B. Pandangan Marx : Civil Society
Marx
memandang civil society sebagai masyarakat yang dicirikan oleh
pembagian kerja, sistem pertukaran dan kepemilikan pribadi atas
alat-alat produksi. Pandangan ini memang sama dengan pandangan Hegel,
tetapi kemudian ia menambahkan bahwa masyarakat sipil itu terbagi dalam
dua bagian yaitu kaum majikan atau kaum borjuis sebagai pemilik alat
produksi (property-owners) dan kaum buruh atau kaum proletar yang tidak memiliki alat produksi (propertyless).[22] Pembagian struktur dalam masyarakat sipil itu merupakan akibat dari adanya hak atas milik pribadi.
Sistem
hak milik pribadi dalam masyarakat sipil mengakibatkan manusia
mengalami alienasi. Buruh terasing dari pekerjaannya karena pekerjaan
itu tidak lagi mencerminkan tindakan paling luhur manusia tetapi menjadi
sesuatu yang rutin, membosankan dan tanpa makna, demi mendapatkan upah.
Buruh juga terasing dengan majikan karena masing-masing mencari
kepentingan sendiri-sendiri. Buruh juga terasing dengan sesama buruh
karena mereka saling berebut pekerjaan.[23]
Masyarakat
sipil juga ditandai dengan penghisapan buruh oleh majikan. Buruh
diperas tenaganya demi kepentingan majikan. Gambaran ini merupakan
konsekuensi dari pandangan Marx atas civil society sebagai masyarakat
kapitalis.
C. Pandangan Marx : Negara.
Negara dalam, pandangan Marx, alat di tangan kaum borjuis untuk mempertahankan kepentingannya.[24]
Pandangan ini didasarkan pada paham materialisme sejarah Marx yang
menempatkan negara dalam bangunan atas (supra struktur) bersamaan dengan
hukum, ideologi, agama, filsafat dan lain-lain. Ada pun ekonomi yang
menjadi sentral dari perkembangan sejarah manusia berada dalam bangunan
bawah (infra strukture). Negara menjadi alat kaum borjuis untuk menjamin
kelangsungan penindasan terhadap kaum buruh agar kaum buruh tidak
berusaha membebaskan diri dari usaha penghisapan dari kaum majikan.
Sedangkan hukum, moral, agama, filsafat yang disebut juga dengan
“bangunan atas ideologis” berfungsi memberikan legitimasi bagi usaha
penghisapan yang dilakukan oleh kaum majikan.
Negara
muncul sebagai akibat dari kebutuhan kaum borjuis untuk melindungi
keberlangsungan proses kapitalisme yang ada dalam dalam masyarakat
sipil. Relasi-relasi dalam masyarakat sipil dikendalikan oleh
relasi-relasi produksi kapitalis sehingga dalam masyarakat sipil
terkandung tirani ideal bagi konsolidasi kapitalisme. Negara akan
melindungi proses kapitalisme itu dari segala macam upaya yang akan
menggagalkan proses tersebut.
D. Utopi : Negara dan Masyarakat Sipil Pasca Kapitalisme.
Menurut Marx biang keladi dari seluruh
keterasingan manusia adalah struktur ekonomi. Oleh karena itu, agar
keterasingan manusia itu bisa dihilangkan, maka struktur ekonomi itu
harus diubah. Perubahan struktur ekonomi itu dilakukan melalui revolusi
yaitu pertentangan antara kelas buruh melawan kelas majikan. Dalam
perhitungan Marx, kelas buruh akan memenangkan perlawanan itu sehingga
alat-alat produksi beralih dari tangan kaum majikan kepada kaum buruh.
Pada
tahap awal pasca revolusi itu, negara masih dibutuhkan tetapi dalam
bentuk “diktator proletariat”. Negara dalam bentuk ini dibutuhkan untuk
memastikan bahwa kaum kapitalis sudah tidak ada lagi dan untuk menjalani
masa transisi kaum buruh dari ketrampilan spesialis sebagai akibat dari
pembagian kerja menjadi ketrampilan universal dalam rangka mengatasi
pembagian kerja.
Hasil
akhir yang digambarkan Marx adalah sebuah masyarakat yang bebas dan
kreatif dalam masyarakat komunis. Masing-masing orang bisa bekerja kapan
saja, mau melakukan hobinya kapan saja sebelum atau sesudah bekerja.
Dalam masyarakat komunis ini, pembagian kelas sudah tidak ada lagi.
Negara pun sudah mati dengan sendirinya karena tidak ada yang lagi yang
ditindas. Proses produksi dipimpin oleh persekutuan bebas semua
individu.[25]
GRAMSCI : NEGARA DAN MASYARAKAT SIPIL
A. Latar Belakang: Kritik Terhadap Marx.
Gramsci
mengritik ekonomisme Marx yang didasarkan pada materialisme sejarah.
Menurut Gramsci, pembagian struktur kehidupan pada bangunan atas dan
bangunan bawah mengakibatkan kegagalan Partai Sosialis Italia dalam
mengobarkan semangat revolusi 1912-1920. Gambaran struktur Marx itu pula
yang menyebabkan gerakan buruh melemah dan buruh tunduk pada struktur
penindasan kapitalis dan fasisme.[26]
Gramsci
menolak paham ekonomistis Marx. Bagi Gramsci, perubahan ke arah
masyarakat sosialis bukan semata-mata bercorak ekonomistis, tetapi juga
harus memperhatikan aspek sosial, budaya dan ideologi. Oleh karena itu,
hegemoni menjadi tema sentral dalam pemikiran Gramsci sebagai upaya
mewujudkan cita-cita masyarakat sosialis-nya.[27]
Gramsci
juga menolak pemikiran Marx mengenai revolusi yang akan mengganti
secara total negara dengan masyarakat tanpa kelas. Bagi Gramsci,
perubahan ke arah sosialisme harus dilakukan dengan memanfaatkan
jalur-jalur yang tersedia. Bertolak dari kondisi yang sudah ada itu,
buruh membuat jaringan dan aliansi-aliansi baru dengan kelompok-kelompok
sosial yang ada melalui hegemoni.[28]
B. Pemikiran Gramsci : Masyarakat Sipil
Gramsci memasukkan masyarakat sipil dalam bangunan atas (super structure)
Marx bersama dengan negara. Dalam masyarakat sipil, terjadi proses
hegemoni oleh kelompok-kelompok dominan sedangkan negara melakukan
dominasi langsung kepada masyarakat sipil melalui hukum dan masyarakat
politik. Gramsci sendiri mengakui bahwa senyatanya masyarakat sipil
telah terhegomi. Pengakuannya itu diungkapkan dengan mengatakan bahwa
masyarakat sipil adalah etika atau moral.
Gramsci
membedakan masyarakat sipil dengan masyarakat politik. Masyarakat
politik adalah aparat negara yang melaksanakan fungsi monopoli negara
dengan koersi, yang di dalamnya meliputi tentara, polisi, lembaga hukum,
penjara, semua departemen administrasi yang mengurusi pajak, keuangan,
perdagangan dan sebagainya. Masyarakat sipil adalah wilayah dimana
relasi antara kelompok tidak dilakukan dengan koersi. Maka Gramsci
mengatakan bahwa masyarakat sipil mencakup organisasi-organisasi privat
seperti gereja, serikat dagang, sekolah, dan termasuk juga keluarga.[29]
Gramsci juga mengatakan bahwa organisasi-organisasi dalam masyarakat
sipil mempunyai tujuan yang berbeda-beda seperti politik, ekonomi, olah
raga, seni dan sebagainya namun mereka memiliki asumsi-asumsi dan
nilai-nilai yang diterima oleh masyarakat meskipun sering tidak kentara.[30]
Masyarakat
sipil merupakan salah satu bagian dari masyarakat kapitalis. Gramsci
mengatakan masyarakat kapitalis terdiri dari tiga jenis hubungan yaitu
hubungan dasar antara pekerja dan pemodal, hubungan koersif yang menjadi
watak negara, dan hubungan sosial lainnya yang membentuk masyarakat
sipil. Maka bagi Gramsci, masyarakat sipil bukan negara karena negara
bersifat koersif dan bukan produksi karena dalam produksi terjadi
tindakan koersif pemilik modal kepada buruh. Ronnie D. Lipschutz
merumuskannya dengan mengatakan “Gramsci placed civil society between
state and market and outside of the private sphere of family and
friendship.”[31]
Masyarakat
sipil merupakan medan perjuangan politik. Oleh karena itu, dalam rangka
pembentukan negara sosialis, Gramsci mengatakan perlunya kelompok buruh
membangun hegemoni atas kelompok-kelompok lain dalam masyarakat sipil
dengan sebuah ideologi baru yang mampu mewadahi kepentingan-kepentingan
kelompok-kelompok lain dalam masyarakat sipil dan sekaligus mampu
mewadahi kepentingan kelompok buruh. Dalam hal ini, kelompok buruh harus
mampu mentransformasi ideologi-ideologi yang ada dengan tetap
mempertahankan unsur-unsur penting dari masing-masing ideologi itu dan
menyusunnya menjadi sebuah ideologi baru yang mencakup semua termasuk
kepentingan kelompok buruh sendiri.
Karena
masyarakat sipil telah terhegemoni, maka kelompok buruh perlu melakukan
kontra hegemoni. Dalam hal ini, kelompok buruh membangun hegemoni
dengan melakukan “perang posisi” melawan hegemoni negara yang telah
menjadi blok historis.[32]
Pada saatnya nanti ketika negara sosialis telah terbentuk, kelompok
buruh harus tetap membangun hegemoni agar menjadi blok historis.[33]
Ketika
kelompok buruh memperoleh kekuasaan negara, masyarakat sipil harus
sudah maju. Kemajuan masyarakat sipil diukur dari kemampuan membangun
hubungan secara otonom, kemampuan mengatur dirinya sendiri (self-governing)
dan adanya disiplin diri masyarakat. Tanpa disertai dengan kemajuan
masyarakat sipil, maka kelompok buruh akan tetap memiliki ketergantungan
yang kuat terhadap negara atau tetap berada dalam periode statolatry. Oleh karena itu, periode statolatry harus terus menerus dikritik agar masyarakat sipil menjadi maju dimana terjadi perkembangan inisiatif individu dan kelompok.
C. Pemikiran Gramsci : Negara.
Bagi
Gramsci, negara adalah masyarakat politik dan masyarakat sipil. Negara
memiliki alat-alat koersif yaitu lembaga-lembaga yang disebutnya sebagai
masyarakat politik. Tetapi negara tidak semata-mata melakukan koersif
saja tetapi negara juga melakukan apa yang ia sebut sebagai ‘peran
edukatif dan formatif negara’ yaitu melakukan hegemoni. Masyarakat sipil
merupakan masyarakat yang telah terhegemoni oleh negara sehingga
memampukan negara menjadi blok historis berkat dukungan dari masyarakat
sipil. Itulah sebabnya, ia mengatakan bahwa negara merupakan masyarakat
politik dan masyarakat sipil.
Pemikirannya
mengenai negara sebagai masyarakat politik dan masyarakan sipil
melahirkan gagasan mengenai negara integral. Pemahaman mengenai negara
integral tidak bisa dilepaskan dari gagasannya mengenai sifat kekuasaan.
Kekuasaan dipahami oleh Gramsci sebagai hubungan sosial. Hubungan
sosial negara terjadi terhadap masyarakat politik dan juga terhadap
masyarakat sipil. Jadi, di dalam masyarakat sipil disamping terdapat
hubungan sosial di antara kelompok-kelompoknya sendiri juga terdapat
hubungan sosial dengan negara.
Gramsci
memikirkan negara yang dicita-citakannya dalam gambaran Dewan Pabrik.
Dewan pabrik ini merupakan hasil cetusan gagasannya mengenai perlunya
transformasi komisi internal yang ia lontarkan saat ia duduk dalam
kepengurusan komisi internal di Turin. Inti gagasannya mengenai
transformasi itu adalah agar komisi internal sebagai organ kekuasaan
proletarian menggantikan kelompok pemodal dalam menjalankan
fungsi-fungsi manajemen dan administrasi sehingga komisi internal bisa
menjadi sekolah politik dan administrasi bagi kaum pekerja. Gagasan itu
diterima dengan cepat sehingga komisi internal berkembang menjadi dewan
pabrik. Dalam dewan pabrik ini, pekerja dapat melakukan kontrol atas
proses produksi, mengambil alih fungsi manajemen dan administrasi.
Dengan demikian, bagi Gramsci, dewan pabrik membangun kesadaran politik
akan negara demokrasi langsung yang dibangun atas partisipasi rakyatnya.
Dengan menggambarkan dewan pabrik sebagai embrio negara, Gramsci
mencita-citakan sebuah negara demokrasi langsung dimana kendali atas
proses produksi berada di tangan kelompok buruh.[34]
KESIMPULAN
Dari uraian di atas bisa disimpulkan
bahwa pemikiran mengenai negara dan masyarakat sipil mengalami pasang
surut dalam perjalanan sejarah. Dalam pemikiran Hegel, masyarakat sipil
adalah masyarakat yang hidupnya tidak dicampuri urusannya oleh negara.
Hegel belum memaksudkan masyarakat sipil seperti yang dikemukakan oleh
Larry Diamond. Hegel masih mengartikan sebagai sebuah masyarakat biasa,
komunitas yang terdiri dari individu-individu, yang kehidupannya tidak
dicampuri oleh negara. Dalam kaitan ini, negara dipandang Hegel sebagai
pengatur dan pemersatu dari masyarakat sipil melalui hukum,
lembaga-lembaga peradilan dan lembaga kepolisian. Pemikiran Hegel ini
diinterpretasikan oleh Marx dalam kerangka perjuangan kaum buruh.
Masyarakat sipil dipandang sebagai kelompok yang teralieanasi sehingga
masyarakat membutuhkan negara. Masyarakat sipil adalah masyarakat dimana
terjadi penghisapan buruh oleh majikan. Negara juga dipandang sebagai
alat di tangan kaum borjuis untuk mempertahankan kedudukannya. Maka Marx
mencita-citakan sebuah masyarakat tanpa kelas sehingga
individu-individu mendapatkan kebebasan dan bekerja seturut kodratnya
sebagai manusia. Dalam kondisi seperti ini, negara mati dengan
sendirinya. Perwujudan utopi itu dilakukan melalui revolusi yang akan
menghapus kepemilikan alat produksi dari kaum borjuis. Gramsci menentang
teori ekonomistis Marx ini dan mengatakan bahwa perubahan masyarakat
sosialis harus bertolak dari kondisi yang ada. Perubahan harus dilakukan
oleh kelompok buruh melalui hegemoni dalam masyarakat sipil. Masyarakat
sipil dalam pemikiran Gramsci sudah mulai dipikirkan adanya
organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok yang otonom. Meskipun
organisasi-organisasi itu saling membangun hegemoni sendiri, negara juga
tidak ketinggalan membangun hegemoni di antara kelompok-kelompok itu.
Negara disamping memiliki kekuatan untuk membangun hegemoni masyarakat
sipil, juga memiliki masyarakat politik sebagai alat koersif negara.
Sumbangan pemikiran yang penting bagi
perkembangan demokrasi dari ketiga pemikiran itu adalah bahwa kehidupan
masyarakat sipil harus menjadi wilayah kebebasan (Hegel) sehingga akan
menjadi medan kehidupan yang manusiawi (Marx). Dengan kebebasan itu,
organisasi-organisasi kemasyarakatan akan tumbuh memperkuat demokrasi
(Gramsci). Mereka mampu bersikap kritis terhadap negara (Gramsci)
sehingga memungkinkan terciptanya kehidupan yang lebih baik dengan
dilandasi pada rationalitas dan kebebasan manusia (Hegel). Negara dalam
hal ini harus terus menerus menyandarkan diri dalam rasionalitasnya
(Hegel) agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan berupa
penyalahgunaan lembaga-lembaga koersifnya (Hegel, Marx, Gramsci) maupun
penyalahgunaan kemampuan hegemoniknya melalui struktur hukum, ideologi
atau pendidikan (Hegel, Marx, Gramsci).
Demikianlah
pemaparan atas pemikiran Hegel, Marx dan Gramsci. Semoga bermanfaat bagi
wacana kita dalam memperkembangkan demokrasi di Indonesia.
Daftar Pustaka
Anafansyev, V. Marxist Philosophy A Popular Outline. trans. by Leo Lempert. Rev.Ed. Moscow : Progress Publishers, 1965
Calabrese, Andrew. “The Promise of Civil Society : A Global Movement for Communication Rights.” Continuum : Journal of Media and Cultures Studies 3 (September 2005), 317-329.
Hegel’s Philosophy of Right. Transl. T.M. Knox. Reprint. London : Oxford University Press, 1981.
Iskandar, Deddy. “Mengenal dan Mengritik Gramsci.” Pemikiran-pemikiran Revolusioner. Ed. Saiful Arif. Malang : Averroes Press, 2001
Lipschutz, Ronnie D. “Power, Politics and Global Civil Society.” Millenium: Journal of International Studies 33 (3:2005)
McLellan, David. “Marx, Engels and Lenin on Party and State.” The Withering Away of State?Party State under Communism, ed. Leslie Holmes. London : SAGE Publications Ltd, 1981.
McClelland, J.S. History of Western Political Thought. London : Routledge, 1996.
Muukkonen, Martti. “Civil Society.” Makalah dalam Annual Meeting of Finish Sociologist, Turku, 24 – 25 Maret 2000.
Nina, Daniel. “Beyond The Frontier : Civil Society Revisited.” Transformation 17 (1992), 61-73.
Suseno, Franz Magnis. Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta:Gramedia, 1991
Suseno, Franz Magnis. Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta : Gramedia, 1999.
Shils, Edward. “The Virtue of Civility,” Selected Essay on Liberalism, Tradition and Civil Society. Ed. Steven Grosby. Indiana Polis : Liberty Fund, 1997.
Simon, Roger. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. terj. Kamdani et al. Yogyakarta : Insist, 2000.
Stumpf, Samuel Enoch. Philosophy History and Problems. Fifth edition. New York : McGraw Hill Inc, 1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar