Agama, Perbedaan dan Kekerasan
Ditulis pada 13/08/2012 oleh Saratri
Wilonoyudho
Ada sebuah anekdot. Syahdan dua
orang sahabat karib, yakni yang satu seorang pendeta, satunya lagi ustadz.
Karena saking asyiknya bekerjasama dalam urusan kebaikan dunia, mereka tidak
sempat memahami ritual agama masing-masing. Pada suatu hari keduanya naik
pesawat. Ketika di dalam pesawat di atas langit ada petir menyambar, pak
pendeta kaget dan berucap :”haleluyah”. Pak ustadz di sebelahnya dengan
lugunya “membetulkan” ucapan pak pendeta. Bukan, itu halilintar, bukan haleluyah.
Pak pendeta senyum menanggapi sahabatnya.
Ketika pesawat turun, keduanya
dijemput bus bandara. Sebelum kaki melangkah naik bus, pak ustadz berujar :”bismilllah”.
Pak pendeta dengan lugunya juga “membetulkan” ucapan sahabatnya. Bukan pak
ustadz, ini bukan bismillah, namun Bis DAMRI. Pak ustadz
juga tersenyum. Keduanya tidak sadar dengan kesalahpahaman memahami ritual
agama masing-masing, dan mereka tetap bersahabat.
Karena bagi Islam “Bagiku agamaku
dan bagimu agamamu”, dan bagi pak pendeta, hidup adalah melayani sesama dengan
cinta kasih. Singkatnya nggak ada masalah. Toleransi itu ialah ketika seekor
kucing masuk kandang kambing tidak harus memaksakan diri mengembik dan
sebaliknya. Pokoknya urusan agama adalah urusan pribadi dengan Tuhannya. Agama
ibarat “isteri” yang tidak dapat dibandingkan satu dengan yang lainnya,
demikian kata Cak Nun.
Orang beragama kata Freud bapak
psikoanalisis, sering berada dalam suasana “perasaan ketergantungan” (the
feeling of powerlessness) yang membuat orang beragama sulit mencapai
kedewasaan beragama karena gagal membangun otonomi dalam dirinya sebagai
manusia. Perasaan tersebut berlainan dengan orang yang berhasil membangun “religius
feeling” yang mampu mengembangkan ritual keberagamaan menjadi konkret dan
mencapai “peragian rohani” dengan mengembangkan dirinya menjadi khalifah
di muka bumi. Keadilan, kebenaran, cinta kasih, persaudaraan, dst terus
dikembangkan.
Agama atau sistem kepercayaan pada
dasarnya adalah pengalaman batin seseorang yang sifatnya subyektif karena penuh
tafsiran (inner state or subjective experience). Permasalahannya
daya dorong atau daya himbau ajaran agama yang sudah ditafsirkan tersebut
selalu saja menumbuhkan fanatisme sehingga para pengikutnya akan berusaha
“mati-matian” untuk mengobyektifkannya di dunia nyata.
Karenanya Joachim Wach pernah bilang
bahwa setiap kemunculan sistem kepercayaan baru, atau tafsir baru, pastilah
akan diikuti oleh penciptaan dunia baru dimana konsep-konsep dan kelembagaan
lama akan kehilangan makna dan alasan dasar kehadirannya (Ali,1988).
Dari titik inilah agama atau
kepercayaan membangun basis perkauman dan memberikan struktur rohani,
intelektual serta kebudayaan. Kesemuanya elemen ini akan mengintegrasikan
setiap kelompok masyarakat yang saling berbeda dan memiliki pandangan dan sistem
kepercayaan yang sama.
Pengelompokan dan daya himbau
berdasarkan tafsir dan “klaim kebenaran” inilah yang sering menimbulkan krisis
dan bentrokan antar pengikut agama atau kepercayaan. Fakta ini sudah lama
diamati oleh Geertz yang mengatakan bahwa agama itu bukanlah kesimpulan dari
realitas, namun mendahului realitas itu sendiri. Karenanya unsur determinasi
mutlak dan tidak mau berdamai dengan realitas, merupakan karakter dasar dari
agama.
Kekerasan atas nama agama akan
selalu berulang. Pada tahun 2009 Setara Institute mencatat 200 peristiwa
pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan yang mengandung 291 jenis
tindakan. Terdapat 10 wilayah dengan tingkat pelanggaran tertinggi yaitu, Jawa
Barat (57 peristiwa), Jakarta (38 peristiwa), Jawa Timur (23 peristiwa), Banten
(10 peristiwa), Nusa Tenggara Barat (9 peristiwa), Sumatera Selatan, Jawa
Tengah, dan Bali masing-masing (8 peristiwa), dan berikutnya Sulawesi Selatan
dan Nusa Tenggara Timur masing-masing (7 peristiwa).
Dari 291 tindakan pelanggaran kebebasan
beragama/ berkeyakinan, terdapat 139 pelanggaran yang melibatkan negara sebagai
aktornya, baik melalui 101 tindakan aktif negara (by commission), maupun
38 tindakan pembiaran yang dilakukan oleh negara (by omission).
Tindakan pembiaran berupa 23 pembiaran aparat negara atas terjadinya kekerasan
dan tindakan kriminal warga negara dan 15 pembiaran karena aparat negara tidak
memproses secara hukum atas warga negara yang melakukan tindak pidana.
Bangsa ini sudah harus sadar bahwa
penyempurnaan diri melalui transedensi terus menerus harus dilakukan, tidak
dalam retorika atau sosialisasi palsu, namun benar-benar melepaskan diri
dari kotak primordialisme. Bentuk-bentuk primordialisme seperti partai, aliran,
atau golongan, hanya boleh berhenti pada level metoda, dan bukan
tujuan hidup. Indonesia sudah harus lebih bergerak cepat menjadi manusia
pasca-partai, pasca-golongan, pasca-etnik, dan berbagai formalisme agama yang
jauh dari nilai-nilai spiritual etik.
Masyarakat saat ini tengah berada
dalam tingkat sensitivisme yang tinggi. Merebaknya kasus mafia hukum dan
korupsi yang tak pernah tuntas, kesulitan hidup, kelangkaan kesempatan kerja,
dan aneka kerusakan lingkungan lainnya menambah frustrasi masyarakat
luas.Kegagalan negara dalam menegakkan hukum dalam berbagai bidang kehidupan
akan semakin membuat frustrasi masyarakat, dan rasa frustrasi akan berubah
menjadi agresivitas jika mendapatkan pemicunya. Karenanya pencegahan kekerasan
harus simultan antara perbaikan kesejahteraan masyarakat, keadilan sosial, dan penegakkan
hukum di segala bidang kehidupan. Jika satu diantaranya alpa, maka jangan harap
kekerasan akan mudah dicegah.
http://www.caknun.com/2012/agama-perbedaan-dan-kekerasan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar