BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya, manusia senatiasa terkagum
atas apa yang dilihatnya. Manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh
panca-inderanya, dan mulai menyadari keterbatasannya. Dalam situasi itu
banyak yang berpaling kepada agama atau kepercayaan Ilahiah.
Tetapi
sudah sejak awal sejarah, ternyata sikap iman penuh taqwa itu tidak
menahan manusia menggunakan akal budi dan fikirannya untuk mencari tahu
apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas) itu. Proses
itu mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut pencerahan.
Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis, sistematis dan koheren, dan
cara mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu
pengetahuan.
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang;
(1) disusun metodis, sistematis dan koheren (“bertalian”) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan (realitas), dan yang
(2) dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut.
Makin
ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang khusus dari
kenyataan (realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu tentang
seluruh kenyataan (realitas).
Jauh
sebelum manusia menemukan dan menetapkan apa yang sekarang kita sebut
sesuatu sebagai suatu disiplin ilmu sebagaimana kita mengenal ilmu
kedokteran, fisika, matematika, dan lain sebagainya, umat manusia lebih
dulu memfikirkan dengan bertanya tentang berbagai hakikat apa yang
mereka lihat. Dan jawaban mereka itulah yang nanti akan kita sebut
sebagai sebuah jawaban filsafati.
Kegiatan
manusia yang memiliki tingkat tertinggi adalah filsafat yang merupakan
pengetahuan benar mengenai hakikat segala yang ada sejauh mungkin bagi
manusia . Bagian filsafat yang paling mulia adalah filsafat pertama,
yaitu pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan sebab dari segala
kebenaran (Al-Kindi, 801 - 873 M).
Metode filsafat adalah metode bertanya. Objek formal filsafat adalah ratio
yang bertanya. Obyek materinya semua yang ada. Maka menjadi tugas
filsafat mempersoalkan segala sesuatu yang ada sampai akhirnya menemukan
kebijaksanaan universal.
Sonny
Keraf dan Mikhael Dua mengartikan ilmu filsafat sebagai ilmu tentag
bertanya atau berpikir tentang segala sesuatu (apa saja dan bahkan
tentang pemikiran itu sendiri) dari segala sudut pandang. Thinking about thinking.
Meski
bagaimanapun banyaknya gambaran yang kita dapatkan tentang filsafat,
sebenarnya masih sulit untuk mendefinisikan secara konkret apa itu
filsafat dan apa kriteria suatu pemikiran hingga kita bisa memvonisnya,
karena filsafat bukanlah sebuah disiplin ilmu. Sebagaimana definisinya,
sejarah dan perkembangan filsafat pun takkan pernah habis untuk dikupas.
Tapi justru karena itulah mengapa fisafat begitu layak untuk dikaji
demi mencari serta memaknai segala esensi kehidupan.
B. Klasifikasi Filsafat
Dalam
membangun tradisi filsafat banyak orang mengajukan pertanyaan yang
sama, menanggapi, dan meneruskan karya-karya pendahulunya sesuai dengan
latar belakang budaya, bahasa, bahkan agama tempat tradisi filsafat itu
dibangun. Oleh karena itu, filsafat biasa diklasifikasikan menurut
daerah geografis dan latar belakang budayanya. Dewasa ini filsafat biasa
dibagi menjadi dua kategori besar menurut wilayah dan menurut latar
belakang agama. Menurut wilayah bisa dibagi menjadi: “Filsafat Barat”,
“Filsafat Timur”, dan “Filsafat Timur Tengah”. Sementara latar belakang
agama dibagi menjadi: “Filsafat Islam”, “Filsafat Budha”, “Filsafat
Hindu”, dan “Filsafat Kristen”.
1.) Klasifikasi Filsafat Menurut Wilayah
Filsafat Barat
‘‘‘Filsafat
Barat’’’ adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di
universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka.
Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno. Namun
pada hakikatnya, tradisi falsafi Yunani sebenarnya sempat mengalami
pemutusan rantai ketika salinan buku filsafat Aristoteles seperti
Isagoge, Categories dan Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah
Romawi bersamaan dengan eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap
telah menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara. Selanjutnya
dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi
sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropah, maka John
Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris, tidak akan
menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari
terjemahan-terjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof
Islam pada dinasti Abbasyah.
Tokoh
utama filsafat Barat antara lain Plato, Thomas Aquinas, Réne Descartes,
Immanuel Kant, George Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx,
Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre.
Dalam tradisi filsafat Barat di Indonesia
sendiri yang notabene-nya adalah bekas jajahan bangsa Eropa-Belanda,
dikenal adanya pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu.
Tema-tema tersebut adalah: ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Tema
pertama adalah ontologi. Ontologi membahas tentang masalah “keberadaan”
sesuatu yang dapat dilihat dan dibedakan secara empiris (kasat mata),
misalnya tentang keberadaan alam semesta, makhluk hidup, atau tata
surya.
Tema
kedua adalah epistemologi. Epistemologi adalah tema yang mengkaji
tentang pengetahuan (episteme secara harafiah berarti “pengetahuan”).
Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas,
sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan.
Tema
ketiga adalah aksiolgi. Aksiologi yaitu tema yang membahas tentang
masalah nilai atau norma sosial yang berlaku pada kehidupan manusia.
Nilai sosial .
Filsafat Timur
‘‘‘Filsafat
Timur’’’ adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia,
khususnya di India, Tiongkok dan daerah-daerah lain yang pernah
dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas Filsafat Timur ialah
dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih
juga bisa dikatakan untuk Filsafat Barat, terutama di Abad Pertengahan,
tetapi di Dunia Barat filsafat ’an sich’ masih lebih menonjol daripada
agama. Nama-nama beberapa filsuf Timur, antara lain Siddharta
Gautama/Buddha, Bodhidharma, Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi dan juga Mao
Zedong.
‘‘‘Filsafat
Timur Tengah’’’ ini sebenarnya mengambil tempat yang istimewa. Sebab
dilihat dari sejarah, para filsuf dari tradisi ini sebenarnya bisa
dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi Filsafat Yunani. Sebab para
filsuf Timur Tengah yang pertama-tama adalah orang-orang Arab atau
orang-orang Islam dan juga beberapa orang Yahudi, yang menaklukkan
daerah-daerah di sekitar Laut Tengah dan menjumpai kebudayaan Yunani
dengan tradisi falsafi mereka. Lalu mereka menterjemahkan dan memberikan
komentar terhadap karya-karya Yunani.
Bahkan
ketika Eropa setalah runtuhnya Kekaisaran Romawi masuk ke Abad
Pertengahan dan melupakan karya-karya klasik Yunani, para filsuf Timur
Tengah ini mempelajari karya-karya yang sama dan bahkan terjemahan
mereka dipelajari lagi oleh orang-orang Eropa. Nama-nama beberapa filsuf
Timur Tengah: Avicenna(Ibnu Sina), Ibnu Tufail, Kahlil Gibran (aliran
romantisme; kalau boleh disebut bergitu)dan Averroes.
2.) Klasifikasi Filsafat Menurut Latar Belakang Agama
a. Filsafat Islam
‘‘‘Filsafat
Islam’’’ bukanlah filsafat Timur Tengah. Bila memang disebut ada
beberapa nama Yahudi dan Nasrani dalam filsafat Timur Tengah, dalam
filsafat Islam tentu seluruhnya adalah muslim. Ada
sejumlah perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain.
Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya
filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian
menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid.
Maka, bila dalam filsafat lain masih ‘mencari Tuhan’, dalam filsafat
Islam justru Tuhan ’sudah ditemukan.’
Pada
mulanya filsafat berkembang di pesisir samudera Mediterania bagian
Timur pada abad ke-6 M yang ditandai dengan pertanyaan-pertanyaan untuk
menjawab persoalan seputar alam, manusia, dan Tuhan. Dari sinilah
lahirlah sains-sains besar, seperti fisika, etika, matematika, dan
metafisika yang menjadi batubara kebudayaan dunia.
Dari
Asia Minor (Mediterania) bergerak menuju Athena yang menjadi tanah air
filsafat. Ketika Iskandariah didirikan oleh Iskandar Agung pada 332 SM,
filsafat mulai merambah dunia timur, dan berpuncak pada 529 M.
b. Filsafat Kristen
‘‘‘Filsafat
Kristen’’’ mulanya disusun oleh para bapa gereja untuk menghadapi
tantangan zaman di abad pertengahan. Saat itu dunia barat yang Kristen
tengah berada dalam zaman kegelapan (dark age). Masyarakat mulai
mempertanyakan kembali kepercayaan agamanya. Tak heran, filsafat Kristen
banyak berkutat pada masalah ontologis dan filsafat ketuhanan. Hampir
semua filsuf Kristen adalah teologian atau ahli masalah agama. Sebagai
contoh: Santo Thomas Aquinas, Santo Bonaventura, dan lain sebagainya.
Selain
dua agama terbesar diatas, masih ada beberapa agama lainya yang
melahirkan pemahaman falsafi yang sampai sekarang masih eksis. Misalnya
Budha, Taoisme, dan lain sebagainya.
Buddha
dalam bahasa Sansekerta berarti mereka yang sadar, atau yang mencapai
pencerahan sejati (Dari perkataan Sansekerta: untuk mengetahui). Budha
merupakan gelar kepada individu yang menyadari potensi penuh mereka
untuk memajukan diri dan yang berkembang kesadarannya. Dalam penggunaan
kontemporer, ia sering digunakan untuk merujuk Siddharta Gautama yang
dilahirkan pada tahun 623 SM di Taman Lumbini.
Sidharta adalah guru agama dan pendiri Agama Buddha (dianggap “Buddha bagi waktu ini”). Dalam pandangan lainnya, ia merupakan tarikan dan contoh bagi manusia yang telah sadar.
Penganut
Buddha tidak menganggap Siddharta Gautama sebagai sang hyang Buddha
pertama atau terakhir. Secara teknis, Buddha, seseorang yang menemukan
Dharma atau Dhamma (yang bermaksud: Kebenaran; perkara yang sebenarnya,
akal budi, kesulitan keadaan manusia, dan jalan benar kepada kebebasan
melalui Kesadaran, datang selepas karma yang bagus (tujuan) dikekalkan
seimbang dan semua tindakan buruk tidak mahir ditinggalkan. Pencapaian
nirwana (nibbana) di antara ketiga jenis Buddha adalah serupa, tetapi
Samma-Sambuddha menekankan lebih kepada kualitas dan usaha dibandingkan
dengan dua lainnya.
Taoisme
merupakan filsafat Laozi dan Zhuangzi (570 SM ~470 SM) tetapi bukan
agama. Taoisme berasalkan dari kata “Dao” yang berarti tidak berbentuk,
tidak terlihat tetapi merupakan asas atau jalan atau cara kejadian
kesemua benda hidup dan benda-benda alam semesta dunia. Dao yang wujud
dalam kesemua benda hidup dan kebendaan adalah “De”. Gabungan Dao dengan De diperkenalkan sebagai Taoisme merupakan asasi alamiah. Taoisme
bersifat tenang, tidak berbalah, bersifat lembut seperti air, dan
berabadi. Keabadian manusia adalah apabila seseorang mencapai “Kesedaran
Dao”. Penganut-penganut Taoisme mempraktekan Dao untuk mencapai
“Kesedaran Dao” dan juga mendewakan.
Taoisme juga memperkenalkan teori Yinyang.
Yin dan Yang dengan saintifiknya diterjemahkan sebagai negatif dan
positif. Setiap benda adalah dualisme, terdapat positif mesti adanya
negatif; tidak bernegatif dan tidak berpositif jadinya kosong, tidak ada
apa-apa. Bahkan magnet, magnet memiliki kutub positif dan negatif,
kedua-dua sifat tidak bisa diasingkan; tanpa positif, tidak akan wujud
negatif, magnet tidak akan terjadi.
BAB II
PEMBAHASAN
Kajian Filsafat
Definisi
kata filsafat bisa dikatakan sebagai sebuah problem falsafi pula.
Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa “filsafat” adalah studi yang
mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara
kritis dan mendasar (radikal).
Kerapkali
ilmu filsafat dipandang sebagai ilmu yang abstrak dan berada di
awang-awang (tidak mendarat) saja, padahal ilmu filsafat itu dekat dan
berada dalam kehidupan kita sehari-hari. Benar, filsafat bersifat tidak
konkrit (atau lebih bisa dikatakan tidak tunggal), karena menggunakan
metode berpikir sebagai cara pergulatannya dengan realitas hidup kita.
Ini
didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan
percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis,
mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat
untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke
dalam sebuah proses dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa
dikatakan merupakan sebuah bentuk dialog. Untuk studi falsafi, mutlak
diperlukan logika berpikir dan logika bahasa
Banyak
pengertian-pengertian atau definisi-definisi tentang filsafat yang
telah dikemukakan oleh para filsuf. Menurut Merriam-Webster (dalam
Soeparmo, 1984), filsafat merupakan pengetahuan tentang
kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta
hakekat manusia dalam segala aspek perilakunya seperti: logika, etika,
estetika dan teori pengetahuan.
Beberapa
filsuf mengajukan beberapa definitif pokok filsafat seperti: Upaya
spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap
tentang seluruh realitas. Upaya untuk melukiskan hakekat realitas akhir
dan dasar serta nyata, Upaya untuk menentukan batas-batas jangkauan
pengetahuan: sumbernya, hakekatnya, keabsahannya, dan nilainya.
Penyelidikan kritis dan radikal atas pengandaian-pengandaian dan
pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan.
Sesuatu yang berupaya untuk membantu kita melihat apa yang kita katakan
dan untuk mengatakan apa yang kita lihat.
Kalau
menurut tradisi filsafati yang diambil dari zaman Yunani Kuno, orang
yang pertama memakai istilah philosophia dan philosophos ialah Pytagoras
(592-497 S.M.), setelah dia membaca tulisan Herakleides Pontikos
(penganut ajaran Aristoteles) yang memakai kata sophia.
Pytagoras menganggap dirinya “philosophos” (pencinta kearifan). Baginya
kearifan yang sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan.
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسة, yang juga diambil dari bahasa Yunani; philosophia (Φιλοσοφία)
Dalam bahasa ini, kata tersebut merupakan kata majemuk dan berasal dari
kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia =
“kebijaksanaan”). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta
kebijaksanaan” atau “ilmu”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa
Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip
dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang
falsafah disebut “filsuf”.
Dalam istilah Inggris, philosophy, yang berarti filsafat, juga berasal dari kata Yunani “philosophia” yang lazim diterjemahkan ke dalam bahasa tersebut sebagai cinta kearifan. Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu, filsafat berarti cinta kearifan. Namun,
cakupan pengertian sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu
sophia tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula
kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan
sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam
memutuskan soal-soal praktis (The Liang Gie, 1999).
Filsafat
adalah usaha untuk memahami atau mengerti semesta dalam hal makna
(hakikat) dan nilai-nilainya (esensi) yang tidak cukup dijangkau hanya
dengan panca indera manusia sekalipun.Bidang filsafat sangatlah luas dan
mencakup secara keseluruhan sejauh dapat dijangkau oleh pikiran.
Filsafat berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang asal mula
dan sifat dasar alam semesta tempat manusia hidup serta apa yang
merupakan tujuan hidupnya. Filsafat menggunakan bahan-bahan dasar
deskriptif yang disajikan bidang-bidang studi khusus dan melampaui
deskripsi tersebut dengan menyelidiki atau menanyakan sifat dasarnya,
nila-nilainya dan kemungkinannya.Tujuannya adalah pemahaman dan
kebijaksanaan. Karena itulah filsafat merupakan pendekatan yang
menyeluruh terhadap kehidupan dan dunia. Suatu bidang yang berhubungan
erat dengan bidang-bidang pokok pengalaman manusia.
Munculnya Filsafat
Akibat
dari berkembangnya kesusasteraan Yunani dan masuknya ilmu pengetahuan
serta semakin hilangnya kepercayaan akan kebenaran yang diberikan oleh
pemikiran keagamaan, peran mitologi yang sebelumnya mengikat segala
aspek pemikiran kemudian secara perlahan-lahan digantikan oleh logos
(rasio/ ilmu).
Pada
saat inilah, para filsofof kemudian mencoba memandang dunia dengan cara
yang lain yang belum pernah dipraktekkan sebelumnya, yaitu berpikir
secara ilmiah. Dalam mencari keterangan tentang alam semesta, mereka
melepaskan diri dari hal-hal mistis yang secara turun-temurun diwariskan
oleh tradisi. Dan selanjutnya mereka mulai berpikir sendiri. Di balik
aneka kejadian yang diamati secara umum, mereka mulai mencari suatu
keterangan yang memungkinkan mereka mampu mengerti kejadian-kejadian
itu. Dalam artian inilah, mulai ada kesadaran untuk mendekati problem
dan kejadian alam semesta secara logis dan rasional.
Sebab
hanya dengan cara semacam ini, terbukalah kemungkinan bagi
pertanyaan-pertanyaan lain dan penilaian serta kritik dalam memahami
alam semesta. Semangat inilah yang memunculkan filosof-filosof pada
jaman Yunani. Filsafat dan ilmu menjadi satu.
Filsafat,
terutama Filsafat Barat, muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke 7
S.M.. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai berfikir-fikir dan
berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka
dan tidak menggantungkan diri kepada agama pada saat itu yang dianggap
sebagai “tirai besi keilmuan” lagi untuk mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan ini.
Banyak
yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di
daerah yang berberadaban lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel)
atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah
lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang
lebih bebas.
Sejarah Perkembangan Awal Filsafat Dunia
Meski
istilah philosophia (Φιλοσοφία) pertama kali dimunculkan oleh
Pythagoras, namun orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filsuf
ialah Thales (640-546 S.M.) dari Mileta (sekarang di pesisir barat
Turki). Ia merupakan seorang Filsuf yang mendirikan aliran filsafat alam
semesta atau kosmos dalam perkataan Yunani. Menurut aliran filsafat
kosmos, filsafat adalah suatu penelaahan terhadap alam semesta untuk
mengetahui asal mulanya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya (The Liang
Gie, 1999).
Dalam
buku History and Philosophy of Science karangan L.W.H. Hull (1950),
menulis setidaknya sejarah filsafat dan ilmu dapat dibagi dalam beberapa
periode, termasuk di dalamnya tokoh-tokoh yang terkenal pada periode
itu.
Periode pertama, filsafat Yunani abad 6 SM
Pada
masa ini ahli filsafatnya adalah Thales, Anaximandros, dan Anaximenes
yang dianggap sebagai bapak-bapak fisafat dari Mileta. Thales
berpendapat bahwa sumber kehidupan adalah air. Makhluk yang pertama kali
hidup adalah ikan dan menusia yang pertama kali terlahir dari perut
ikan. Thales juga berpendapat bahwa bumi terletak di atas air. Tentang
bumi, Anaximandros mengatakan bahwa bumi persis berada di pusat jagat
raya dengan jarak yang sama terhadap semua badan yang lain. Sementara
Anaximenes dapat dikatakan sebagai pemikir pertama yang mengemukakan
persamaan antara tubuh manusia dan jagat raya. Udara di alam semesta ibarat jiwa yang dipupuk dengan pernapasan di dalam tubuh manusia.
Setelah
mereka bertiga, Yunani kemudian memiliki pemikir-pemikir terkenal yang
lebih berpengaruh lagi terhadap perkembangan fisafat, seperti Socrates,
Plato, Aristoteles, Phythagoras, Hypocrates, dan lain sebagainya.
Periode Kedua, Periode setelah kelahiran Al Masih (Abad 0-6 M)
Pada
masa ini pertentangan antara gereja yang diwakili oleh para pastur dan
para raja yang pro kepada gereja, dengan para ulama filsafat. Sehingga
pada masa ini filsafat mengalami kemunduran. Para raja membatasi
kebebasan berfikir sehingga filsafat seolah-olah telah mati suri. Ilmu
menjadi beku, kebenaran hanya menjadi otoritas gereja, gereja dan para
raja yang berhak mengatakan dan menjadi sumber kebenaran.
Periode Ketiga, Periode kejayaan Islam (Abad 6-13 M)
Pada
masa ini dunia Kristen Eropa mengalami abad kegelapan, ada juga yang
menyatakan periode ini sebagai periode pertengahan. Masa keemasan atau
kebangkitan Islam ditandai dengan banyaknya ilmuan-ilmuan Islam yang
ahli dibidang masing-masing, berbagai buku inilah diterbitkan dan
ditulis. Di antara tokoh-tokoh tersebut adalah Hanafi, Maliki, Syafii,
dan Hanbali yang ahli dalam hokum Islam, Al-farabi ahli astronomi dan
matematika, Ibnu Sina ahli kedokteran dengan buku terkenalnya yaitu The
Canon of Medicine. Al-kindi ahli filsafat, Al-ghazali intelek yang
meramu berbagai ilmu sehingga menjadi kesatuan dan kesinambungan dan
mensintesis antara agama, filsafat, mistik dan sufisme . Ibnu Khaldun
ahali sosiologi, filsafat sejarah, politik, ekonomi, social dan
kenegaraan. Anzahel ahli dan penemu teori peredaran planet. Tetapi
setelah perang salib terjadi umat Islam mengalami kemundurran, umat
Islam dalam keadaan porak-poranda oleh berbagai peperangan.
Terdapat
2 pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam terhadap filsafat dan
ilmu pengetahuan, yang terus berkembang hingga saat ini. Pendapat
pertama mengatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat dari filosof
Yunani seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab yang disalin oleh St.
Agustine (354 – 430 M), yang kemudian diteruskan oleh Anicius Manlius
Boethius (480 – 524 M) dan John Scotus. Pendapat kedua menyatakan bahwa
orang Eropah belajar filsafat orang-orang Yunani dari buku-buku
filasafat Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh
filosof Islam seperti Al-Kindi dan Al-Farabi. Terhadap pendapat pertama
Hoesin (1961) dengan tegas menolaknya, karena menurutnya salinan buku
filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories dan Porphyry telah
dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi mati
terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang
oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab
terjemahan Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu
pengetahuan di Eropa, maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat
di Universitas Paris, tidak akan menyalin kembali buku Organon karangan
Aristoteles dari terjemahan-terjemahan berbahasa Arab, yang telah
dikerjakan oleh filosof Islam.
Sebagaimana
telah diketahui, orang yang pertama kali belajar dan mengajarkan
filsafat dari orang-orang sophia atau sophists (500 – 400 SM) adalah
Socrates (469 – 399 SM), kemudian diteruskan oleh Plato (427 – 457 SM).
Setelah itu diteruskan oleh muridnya yang bernama Aristoteles (384 – 322
SM). Setelah zaman Aristoteles, sejarah tidak mencatat lagi generasi
penerus hingga munculnya Al-Kindi pada tahun 801 M. Al-Kindi banyak
belajar dari kitab-kitab filsafat karangan Plato dan Aristoteles. Oleh
Raja Al-Makmun dan Raja Harun Al-Rasyid pada Zaman Abbasiyah, Al-Kindi
diperintahkan untuk menyalin karya Plato dan Aristoteles tersebut ke
dalam Bahasa Arab.
Sepeninggal
Al-Kindi, muncul filosof-filosof Islam kenamaan yang terus
mengembangkan filsafat. Filosof-filosof itu diantaranya adalah :
Al-Farabi, Ibnu Sina, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhamad
Iqbal, dan
Ibnu Rushd.
Berbeda
dengan filosof-filosof Islam pendahulunya yang lahir dan besar di
Timur, Ibnu Rushd dilahirkan di Barat (Spanyol). Filosof Islam lainnya
yang lahir di barat adalah Ibnu Baja (Avempace) dan Ibnu Tufail
(Abubacer).
Ibnu baja dan Ibnu Tufail merupakan pendukung rasionalisme Aris-toteles. Akhirnya kedua orang ini bisa menjadi sahabat.
Sedangkan
Ibnu Rushd yang lahir dan dibesarkan di Cordova, Spanyol meskipun
seorang dokter dan telah mengarang Buku Ilmu Kedokteran berjudul
Colliget, yang dianggap setara dengan kitab Canon karangan Ibnu Sina,
lebih dikenal sebagai seorang filosof.
Pandangan
Ibnu Rushd yang menyatakan bahwa jalan filsafat merupakan jalan terbaik
untuk mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli
agama, telah memancing kemarahan pemuka-pemuka agama, sehingga mereka
meminta kepada khalifah yang memerintah di Spanyol untuk menyatakan Ibnu
Rushd sebagai atheis. Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Ibnu Rushd
sudah dikemukakan pula oleh Al-Kindi dalam bukunya Falsafah El-Ula
(First Philosophy). Al-Kindi menyatakan bahwa kaum fakih tidak dapat
menjelaskan kebenaran dengan sempurna, oleh karena pengetahuan mereka
yang tipis dan kurang bernilai.
Pertentangan
antara filosof yang diwakili oleh Ibnu Rushd dan kaum ulama yang
diwakili oleh Al-Ghazali semakin memanas dengan terbitnya karangan
Al-Ghazali yang berjudul Tahafut-El-Falasifah, yang kemudian digunakan
pula oleh pihak gereja untuk menghambat berkembangnya pikiran bebas di
Eropah pada Zaman Renaisance. Al-Ghazali berpendapat bahwa mempelajari
filsafat dapat menyebabkan seseorang menjadi atheis. Untuk mencapai
kebenaran sejati menurut Al-Ghazali hanya ada satu cara yaitu melalui
tasawuf (mistisisme). Buku karangan Al-Ghazali ini kemudian ditanggapi
oleh Ibnu Rushd dalam karyanya Tahafut-et-Tahafut (The Incohenrence of
the Incoherence).
Kemenangan
pandangan Al-Ghazali atas pandangan Ibnu Rushd telah menyebabkan
dilarangnya pengajaran ilmu filsafat di berbagai perguruan-perguruan
Islam. Hoesin (1961) menyatakan bahwa pelarangan penyebaran filsafat
Ibnu Rushd merupakan titik awal keruntuhan peradaban Islam yang didukung
oleh maraknya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini
sejalan dengan pendapat Suriasumantri (2002) yang menyatakan bahwa
perkembangan ilmu dalam peradaban Islam bermula dengan berkembangnya
filsafat dan mengalami kemunduran dengan kematian filsafat.
Pada
pertengahan abad 12 kalangan gereja melakukan sensor terhadap karangan
Ibnu Rushd, sehingga saat itu berkembang 2 paham yaitu paham pembela
Ibnu Rushd (Averroisme) dan paham yang menentangnya. Kalangan yang
menentang ajaran filsafat Ibnu Rushd ini antara lain pendeta Thomas
Aquinas, Ernest Renan dan Roger Bacon. Mereka yang menentang Averroisme
umumnya banyak menggunakan argumentasi yang dikemukakan oleh Al-Ghazali
dalam kitabnya Tahafut-el-Falasifah. Dari hal ini dapat dikatakan bahwa
apa yang diperdebatkan oleh kalangan filosof di Eropah Barat pada abad
12 dan 13, tidak lain adalah masalah yang diperdebatkan oleh filosof
Islam.
Periode Keempat, Periode kebangkitan Eropa (Abad 12-17)
Bersamaannya
dengan mundurnya kebudayaan Islam, Eropah mengalami kebangkitan. Pada
masa ini, buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan karangan dan
terjemahan filosof Islam seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu
Rushd diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin. Pada
zaman itu Bahasa Latin menjadi bahasa kebudayaan bangsa-bangsa Eropah.
Penterjemahan karya-karya kaum muslimin antara lain dilakukan di Toledo,
ketika Raymund menjadi uskup Besar Kristen di Toledo pada Tahun 1130 –
1150 M. Hasil terjemahan dari Toledo ini menyebar sampai ke Italia.
Dante menulis Divina Comedia setelah terinspirasi oleh hikayat Isra dan
Mikraj Nabi Muhammad SAW. Universitas Paris menggunakan buku teks
Organon karya Aristoteles yang disalin dari Bahasa Arab ke dalam Bahasa
Latin oleh John Salisbury pada tahun 1182.
Seperti
halnya yang dilakukan oleh pemuka agama Islam, berkembangnya filsafat
ajaran Ibnu Rushd dianggap dapat membahayakan iman kristiani oleh para
pemuka agama Kristen, sehingga sinode gereja mengeluarkan dekrit pada
Tahun 1209, lalu disusul dengan putusan Papal Legate pada tahun 1215 yang melarang pengajaran dan penyebaran filsafat ajaran Ibnu Rushd.
Pada
Tahun 1215 saat Frederick II menjadi Kaisar Sicilia, ajaran filsafat
Islam mulai berkembang lagi. Pada Tahun 1214, Frederick mendirikan
Universitas Naples, yang kemudian memiliki akademi yang bertugas
menterjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam Bahasa latin. Pada
tahun 1217 Frederick II mengutus Michael Scot ke Toledo untuk
mengumpulkan terjemahan-terjemahan filsafat berbahasa latin karangan
kaum muslimin. Berkembangnya ajaran filsafat Ibnu Rushd di Eropah Barat
tidak lepas dari hasil terjemahan Michael Scot. Banyak orientalis
menyatakan bahwa Michael Scot telah berhasil menterjemahkan Komentar
Ibnu Rushd dengan judul de coelo et de mundo dan bagian pertama dari
Kitab Anima.
Pekerjaan
yang dilakukan oleh Kaisar Frederick II untuk menterje-mahkan
karya-karya filsafat Islam ke dalam Bahasa Latin, guna mendorong
pengembangan ilmu pengetahuan di Eropah Barat, serupa dengan pekerjaan
yang pernah dilakukan oleh Raja Al-Makmun dan Harun Al-Rashid dari
Dinasti Abbasiyah, untuk mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di
Jazirah Arab.
Setelah
Kaisar Frederick II wafat, usahanya untuk mengembangkan pengetahuan
diteruskan oleh putranya. Untuk tujuan ini putranya mengutus orang
Jerman bernama Hermann untuk kembali ke Toledo
pada tahun 1256. Hermann kemudian menterjemahkan Ichtisar Manthiq
karangan Al-Farabi dan Ichtisar Syair karangan Ibnu Rushd. Pada
pertengahan abad 13 hampir seluruh karya Ibnu Rushd telah diterjemahkan
ke dalam Bahasa Latin, termasuk kitab tahafut-et-tahafut, yang
diterjemahkan oleh Colonymus pada Tahun 1328.
Periode Filsafat Modern (Abad 17-20 M)
Dikenal Juga sebagai abad Äufklarung. Pada masa ini Kristen yang berkuasa dan menjadi sumber otoritas kebenaran mengalami kehancuran, dan juga awal abad kemunduran bagi umat Islam. Berbagai pemikiran Yunani muncul, alur pemikiran yang mereka anut adalah rasionalitas, empirisrme, dan Kritisme.
Peradaban Eropa bangkit melampaui dunia islam. Masa ini juga
memunculkan intelektual Gerard Van Cromona yang menyalin buku Ibnu Sina,
”The canon of medicine”, Fransiscan Roger Bacon, yang menganut aliran
pemikiran empirisme dan realisme berusaha menentang berbagai kebijakan
gereja dan penguasa pada waktu itu. Dalam hal
ini Galileo dan Copernicus juga mengalami penindasan dari penguasa. Masa
ini juga menyebabkan perpecahan dalam agama Kristen, yaitu Kristen
Katolik dan Protestan. Perlawanan terhadap gereja dan raja yang
menindas terus berlangsung Revolusi ilmu pengetahuan makin gencar dan
meningkat. Pada masa ini banyak muncul para ilmuwan seperti Newton
dengan teori gravitasinya, John Locke yang menghembuskan perlawanan
kepada pihak gereja dengan mengemukakan bahwa manusia bebas untuk
berbicara, bebas mengeluarkan pendapat, hak untuk hidup, hak untuk
merdeka, serta hak berfikir. Hal serupa juga dilakuklan ole J.J
.Rousseau mengecam penguasa dalam bukunya yang berjudul Social Contak.
Hal
berbeda terjadi didunai Islam, pada masa ini umat Islam tertatih untuk
bangkit dari keterpurukan spiritual. Intelektual Islam yang gigih
menyeru umat Islam untuk kembali pada ajaran al-Quran dan Hadis. Pada
masa krisis moral dan peradaban muncul ilmuwan lainnya yaitu Muhammad
Abduh. Muhammad Abduh berusaha membangkitkan umat Islam untuk
menggunakan akalnya. Ia berusaha mengikis habis taklid. Hal tersebut
dilakukan oleh Muhammad Abduh agara umat Islam menemukan ilmu yang
berasal dari al-Quran dan hadis.
Para
filsuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari
kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari
diri manusia sendiri. Namun tentang aspek mana yang berperan ada beda
pendapat. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan
adalah rasio: kebenaran pasti berasal dari rasio (akal). Aliran
empirisme, sebaliknya, meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu,
baik yang batin, maupun yang inderawi. Lalu muncul aliran kritisisme, yang mencoba memadukan kedua pendapat berbeda itu.
Aliran
rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650 M). Dalam buku
Discourse de la Methode tahun 1637 ia menegaskan perlunya ada metode
yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua pengetahuan, yaitu dengan
menyangsikan segalanya, secara metodis. Kalau suatu kebenaran tahan
terhadap ujian kesangsian yang radikal ini, maka kebenaran itu 100%
pasti dan menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan.
Tetapi
dalam rangka kesangsian yang metodis ini ternyata hanya ada satu hal
yang tidak dapat diragukan, yaitu “saya ragu-ragu”. Ini bukan khayalan,
tetapi kenyataan, bahwa “aku ragu-ragu”. Jika aku menyangsikan sesuatu,
aku menyadari bahwa aku menyangsikan adanya. Dengan lain kata kesangsian
itu langsung menyatakan adanya aku. Itulah “cogito ergo sum”, aku
berpikir ( menyadari) maka aku ada. Itulah kebenaran yang tidak dapat
disangkal lagi. — Mengapa kebenaran itu pasti? Sebab aku mengerti
itu dengan “jelas, dan terpilah-pilah” — “clearly and distinctly”,
“clara et distincta”. Artinya, yang jelas dan terpilah-pilah itulah yang
harus diterima sebagai benar. Dan itu menjadi norma Descartes dalam
menentukan kebenaran.
Descartes adalah pelopor kaum rasionalis, yaitu mereka yang percaya bahwa dasar semua pengetahuan ada dalam pikiran.
Aliran
empririsme nyata dalam pemikiran David Hume (1711-1776), yang memilih
pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan. Pengalaman itu dapat yang
bersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun yang batiniah (yang
menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi
merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Hume
merupakan pelopor para empirisis, yang percaya bahwa seluruh
pengetahuan tentang dunia berasal dari indera. Menurut Hume ada
batasan-batasan yang tegas tentang bagaimana kesimpulan dapat diambil
melalui persepsi indera kita.
Adapun Kritisisme oleh
Imanuel Kant (1724-1804) mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua
pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing
pendekatan benar separuh, dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan
kita tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada
faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar
kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam
manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia. Kant setuju
dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia
“itu sendiri” (”das Ding an sich”), namun hanya dunia itu seperti tampak
“bagiku”, atau “bagi semua orang”. Namun, menurut Kant, ada dua unsur
yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang
pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah ruang dan waktu yang tidak
dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera kita. Ruang
dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik. Itu
materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam
manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang
tak terpatahkan. Ini bentuk pengetahuan. Demikian Kant membuat kritik
atas seluruh pemikiran filsafat, membuat suatu sintesis, dan meletakkan
dasar bagi aneka aliran filsafat masa kini.
Begitulah
pergulatan antar aliran filsafat Modern. Rasionalist diwakili
Descartes, Empirist diwakili Hume, dan Kritisme oleh Kant saling
menkritik satu sama lain.
BAB III
PENUTUP
Jauh
sebelum manusia menemukan dan menetapkan apa yang sekarang kita sebut
sesuatu sebagai suatu disiplin ilmu sebagaimana kita mengenal ilmu
kedokteran, fisika, matematika, dan lain sebagainya, umat manusia lebih
dulu memfikirkan dengan bertanya tentang berbagai hakikat apa yang
mereka lihat. Dan jawaban mereka itulah yang nanti akan kita sebut
sebagai sebuah jawaban filsafati. Kalau ilmu diibiratkan
sebagai sebuah pohon yang memiliki berbagai cabang pemikiran, ranting
pemahaman, serta buah solusi, maka filsafat adalah tanah dasar tempat
pohon tersebut berpijak dan tumbuh.
Metode filsafat adalah metode bertanya. Objek formal filsafat adalah ratio
yang bertanya. Sedang objek materinya ialah semua yang ada yang bagi
manusia perlu dipertanyakan hakikatnya. Maka menjadi tugas filsafat
mempersoalkan segala sesuatu yang ada sampai akhirnya menemukan
kebijaksanaan universal.
Banyak
yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di
daerah yang berberadaban lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel)
atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah
lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang
lebih bebas.
Dalam
perkembanganya, filsafat Yunani sempat mengalami masa pasang surut.
Ketika peradaban Eropa harus berhadapan dengan otoritas Gereja dan
imperium Romawi yang bertindak tegas terhadap keberadaan filsafat di
mana dianggap mengancam kedudukannya sebagai penguasa ketika itu.
Filsafat
Yunani kembali muncul pada masa kejayaan Islam dinasti Abbasiyah
sekitar awal abad 9 M. Tetapi di puncak kejayaannya, dunia filsafat
Islam mulai mengalami kemunduran ketika antara para kaum filsuf yang
diwakili oleh Ibnu Rusd dengan para kaum ulama oleh Al-Ghazali yang
menganggap filsafat dapat menjerumuskan manusia ke dalam Atheisme
bergolak. Hal ini setelah Ibnu Rusd sendiri menyatakan bahwa jalan
filsafat merupakan jalan terbaik untuk mencapai kebenaran sejati
dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli atau mistikus agama.
Setelah
abad ke-13, peradaban filsafat islam benar-benar mengalami kejumudan
setelah kaum ulama berhasil memenangkan perdebatan panjang dengan kaum
filosof. Kajian filsafat dilarang masuk kurikulum pendidikan.
Pemerintahan mempercayakan semua konsep berfikir kepada para ulama dan
ahli tafsir agama. Beriringan dengan itu, di Eropa, demam filsafat
sedang menjamur. Banyak buku-buku karangan filosof muslim yang
diterjemahkan kedalam bahasa latin. Ini sekaligus menunjukkan bahwa
setelah pihak gereja berkuasa pada masanya dan sebelum peradaban Islam
mulai menerjemahkan teks-teks aristoteles dan lain sebagainya oleh Al
Kindhi, di Eropa benar-benar tidak ditemukan lagi buku-buku filsafat
hasil peradaban Yunani.
Entah
kebetulan atau tidak, ketika filsafat di dunia islam bisa dikatakan
telah usai dan berpindah ke eropa, peradaban islam pun mengalami
kemunduran sementara di eropa sendiri mengalami masa yang disebut
sebagai abad Renaissance atau abad pencerahan, pada sekitar abad ke-15
M.
Tapi tidak demikian halnya dalam komunitas gereja. Periode
ini juga menghantarkan dunia kristen menjadi terbelah. Doktrin para
pendeta katolik terus mendapatkan protes dari kaum Protestan.
Adapun
para filsuf zaman modern setelah masa aufklarung, abad ke-17 M,
menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran
agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri.
Para filsuf modern yang tercatat dalam sejarah ialah Descartes, Karl
Marx, Nietsche, JJ Rosseau, Dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
è www.muslimphilosophy.com
è id.wikipedia.org
è www.cidcm.umd.edu
è blog.wordpress.com
è philosopi Mingguan Indonesia
è Harian KOMPAS Rabu, 02 Mar 2005 Halaman: 46
è kognItar.wordpres.org
[1] Ontologi
adalah cabang pemikiran yang membahas tentang masalah “keberadaan”
sesuatu yang dapat dilihat dan dibedakan secara empiris (kasat mata),
misalnya tentang keberadaan alam semesta, makhluk hidup, atau tata
surya.
[2] Tiga jenis golongan Buddha adalah:
Samma-Sambuddha yang mendapat Kesadaran penuh tanpa guru, hanya dengan usaha sendiri
Pacceka-Buddha
atau Pratyeka-Buddha yang menyerupai Samma-Sambuddha, tetapi senantiasa
diam dan menyimpan pencapaian Dharma pada diri sendiri.
Savaka-Buddha yang merupakan Arahat (pengikut kesadaran), tetapi mencapai tahap Kesadaran dengan mendengar Dhamma
[3]
Pada waktu keruntuhan Dinasti Zhou, Laozi meletak jawatan dan
meninggalkan negerinya dengan koaknya. Ketika beliau tiba di Kastam
Hangu (函谷关), Guan Yixi (关尹喜)
meminta beliau meninggalkan filsafat dalam bentuk tulisan. Atas
permintaan Guan Yixi, Laozi meninggalkan dua karya yang berjudul De dan
Dao (Judul pertama adalah “De” dan kedua adalah “Dao” ) sebelum
meninggalkan Chuguo. Kedua-dua kitab digabungkan dan diperkenalan
sebagai Daode Jing yang kepunyaan 5000 huruf Tionghua dalam 81 bab.
[4] Logika
merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan
filsafat. Hal itu membuat filsafat menjadi sebuah ilmu yang pada
sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu
spekulasi, keraguan, dan couriousity ‘ketertarikan’.
[5] Pythagoras ialah seorang ahli matematika yang kini lebih terkenal dengan dalilnya dalam geometri yang menetapkan a2 + b2 = c2.
[6]
Menurut Ibnu Tufail, manusia dapat mencapai kebenaran sejati dengan
menggunakan petunjuk akal dan petunjuk wahyu. Pendapat ini dituangkan
dengan baik dalam cerita Hayy-Ibnu Yakdzhan, yang menceritakan bagaimana
Hayy yang tinggal pada suatu pulau terpencil sendirian tanpa manusia
lain dapat menemukan kebenaran sejati melalui petunjuk akal, kemudian
bertemu dengan Absal yang memperoleh kebenaran sejati dengan petunjuk
wahyu.
[7]
Ibnu Rushd telah menyusun 3 komentar mengenai Aristoteles, yaitu :
komentar besar, komentar menengah dan komentar kecil. Ketiga komentar
tersebut dapat dijumpai dalam tiga bahasa : Arab, Latin dan Yahudi.
Dalam komentar besar, Ibnu Rushd menuliskan setiap kata dalam Stagirite
karya Aristoteles dengan Bahasa Arab dan memberikan komentar pada bagian
akhir. Dalam komentar menengah ia masih menyebut-nyebut Aritoteles
sebagai Magister Digit, sedang pada komentar kecil filsafat yang diulas
murni pandangan Ibnu Rushd.
http://yunadi.blogspot.com/2008/08/sejarah-dan-perkembangan-filsafat.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar