Cari Blog Ini
Jumat, 24 Agustus 2012
agama dan kekerasan
Agama, Perbedaan dan Kekerasan
Ditulis pada 13/08/2012 oleh Saratri
Wilonoyudho
Ada sebuah anekdot. Syahdan dua
orang sahabat karib, yakni yang satu seorang pendeta, satunya lagi ustadz.
Karena saking asyiknya bekerjasama dalam urusan kebaikan dunia, mereka tidak
sempat memahami ritual agama masing-masing. Pada suatu hari keduanya naik
pesawat. Ketika di dalam pesawat di atas langit ada petir menyambar, pak
pendeta kaget dan berucap :”haleluyah”. Pak ustadz di sebelahnya dengan
lugunya “membetulkan” ucapan pak pendeta. Bukan, itu halilintar, bukan haleluyah.
Pak pendeta senyum menanggapi sahabatnya.
Ketika pesawat turun, keduanya
dijemput bus bandara. Sebelum kaki melangkah naik bus, pak ustadz berujar :”bismilllah”.
Pak pendeta dengan lugunya juga “membetulkan” ucapan sahabatnya. Bukan pak
ustadz, ini bukan bismillah, namun Bis DAMRI. Pak ustadz
juga tersenyum. Keduanya tidak sadar dengan kesalahpahaman memahami ritual
agama masing-masing, dan mereka tetap bersahabat.
Karena bagi Islam “Bagiku agamaku
dan bagimu agamamu”, dan bagi pak pendeta, hidup adalah melayani sesama dengan
cinta kasih. Singkatnya nggak ada masalah. Toleransi itu ialah ketika seekor
kucing masuk kandang kambing tidak harus memaksakan diri mengembik dan
sebaliknya. Pokoknya urusan agama adalah urusan pribadi dengan Tuhannya. Agama
ibarat “isteri” yang tidak dapat dibandingkan satu dengan yang lainnya,
demikian kata Cak Nun.
Orang beragama kata Freud bapak
psikoanalisis, sering berada dalam suasana “perasaan ketergantungan” (the
feeling of powerlessness) yang membuat orang beragama sulit mencapai
kedewasaan beragama karena gagal membangun otonomi dalam dirinya sebagai
manusia. Perasaan tersebut berlainan dengan orang yang berhasil membangun “religius
feeling” yang mampu mengembangkan ritual keberagamaan menjadi konkret dan
mencapai “peragian rohani” dengan mengembangkan dirinya menjadi khalifah
di muka bumi. Keadilan, kebenaran, cinta kasih, persaudaraan, dst terus
dikembangkan.
Agama atau sistem kepercayaan pada
dasarnya adalah pengalaman batin seseorang yang sifatnya subyektif karena penuh
tafsiran (inner state or subjective experience). Permasalahannya
daya dorong atau daya himbau ajaran agama yang sudah ditafsirkan tersebut
selalu saja menumbuhkan fanatisme sehingga para pengikutnya akan berusaha
“mati-matian” untuk mengobyektifkannya di dunia nyata.
Karenanya Joachim Wach pernah bilang
bahwa setiap kemunculan sistem kepercayaan baru, atau tafsir baru, pastilah
akan diikuti oleh penciptaan dunia baru dimana konsep-konsep dan kelembagaan
lama akan kehilangan makna dan alasan dasar kehadirannya (Ali,1988).
Dari titik inilah agama atau
kepercayaan membangun basis perkauman dan memberikan struktur rohani,
intelektual serta kebudayaan. Kesemuanya elemen ini akan mengintegrasikan
setiap kelompok masyarakat yang saling berbeda dan memiliki pandangan dan sistem
kepercayaan yang sama.
Pengelompokan dan daya himbau
berdasarkan tafsir dan “klaim kebenaran” inilah yang sering menimbulkan krisis
dan bentrokan antar pengikut agama atau kepercayaan. Fakta ini sudah lama
diamati oleh Geertz yang mengatakan bahwa agama itu bukanlah kesimpulan dari
realitas, namun mendahului realitas itu sendiri. Karenanya unsur determinasi
mutlak dan tidak mau berdamai dengan realitas, merupakan karakter dasar dari
agama.
Kekerasan atas nama agama akan
selalu berulang. Pada tahun 2009 Setara Institute mencatat 200 peristiwa
pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan yang mengandung 291 jenis
tindakan. Terdapat 10 wilayah dengan tingkat pelanggaran tertinggi yaitu, Jawa
Barat (57 peristiwa), Jakarta (38 peristiwa), Jawa Timur (23 peristiwa), Banten
(10 peristiwa), Nusa Tenggara Barat (9 peristiwa), Sumatera Selatan, Jawa
Tengah, dan Bali masing-masing (8 peristiwa), dan berikutnya Sulawesi Selatan
dan Nusa Tenggara Timur masing-masing (7 peristiwa).
Dari 291 tindakan pelanggaran kebebasan
beragama/ berkeyakinan, terdapat 139 pelanggaran yang melibatkan negara sebagai
aktornya, baik melalui 101 tindakan aktif negara (by commission), maupun
38 tindakan pembiaran yang dilakukan oleh negara (by omission).
Tindakan pembiaran berupa 23 pembiaran aparat negara atas terjadinya kekerasan
dan tindakan kriminal warga negara dan 15 pembiaran karena aparat negara tidak
memproses secara hukum atas warga negara yang melakukan tindak pidana.
Bangsa ini sudah harus sadar bahwa
penyempurnaan diri melalui transedensi terus menerus harus dilakukan, tidak
dalam retorika atau sosialisasi palsu, namun benar-benar melepaskan diri
dari kotak primordialisme. Bentuk-bentuk primordialisme seperti partai, aliran,
atau golongan, hanya boleh berhenti pada level metoda, dan bukan
tujuan hidup. Indonesia sudah harus lebih bergerak cepat menjadi manusia
pasca-partai, pasca-golongan, pasca-etnik, dan berbagai formalisme agama yang
jauh dari nilai-nilai spiritual etik.
Masyarakat saat ini tengah berada
dalam tingkat sensitivisme yang tinggi. Merebaknya kasus mafia hukum dan
korupsi yang tak pernah tuntas, kesulitan hidup, kelangkaan kesempatan kerja,
dan aneka kerusakan lingkungan lainnya menambah frustrasi masyarakat
luas.Kegagalan negara dalam menegakkan hukum dalam berbagai bidang kehidupan
akan semakin membuat frustrasi masyarakat, dan rasa frustrasi akan berubah
menjadi agresivitas jika mendapatkan pemicunya. Karenanya pencegahan kekerasan
harus simultan antara perbaikan kesejahteraan masyarakat, keadilan sosial, dan penegakkan
hukum di segala bidang kehidupan. Jika satu diantaranya alpa, maka jangan harap
kekerasan akan mudah dicegah.
http://www.caknun.com/2012/agama-perbedaan-dan-kekerasan/
Minggu, 19 Agustus 2012
cak nun
Kotbah Cak Nun:
Seandainya… kita sempat diberi peluang oleh Allah dikasih biaya untuk keliling dunia menyusur benua-benua, lautan dan semua dataran maupun gunung di seluruh permukaan bumi.
Atau paling tidak, kalau pada suatu hari kita bertemu dengan saudara-saudara kita sesama manusia yang berasal dari daerah-daerah yang bermacam-macam. Tanyakan kepadanya: Apakah di negerinya ada tanah sesubur tanah negeri kita? Apakah ada bumi yang bagaikan ibu hamil yang subur sebagaimana bumi nusantara kita? Tanyakan kepada mereka: apakah ada matahari yang se-sumringah matahari republik Indonesia? Tanyakan kepada mereka: apakah ada rerumputan yang riang gembira sebagaimana rerumputan di padang-padang kita? Tanyakan kepada mereka tentang kembang-kembang, bunga-bunga, pepohonan, angin, dan apa saja, apakah ada yang seindah Indonesia? Apakah ada yang sesubur Indonesia? Apakah ada yang.. sedahsyat Indonesia didalam memantulkan rahmat dan baroqah Allah SWT?
Betapa cintanya Allah kepada kita. Betapa sayangnya Allah kepada bangsa kita. Betapa beruntungnya kita dilahirkan di bumi pertiwi. Jadi kenapa sampai krisis seperti ini? Kenapa sampai kacau begini negeri kita? Mengapa kita berebut makanan, berebut kekuasaan, berebut apa saja seolah-olah kita adalah bangsa yang sangat miskin padahal kita bangsa yang sangat kaya raya?
Atau mungkin kita menjadi sangat malas.. karena sudah tersedia apapun saja di negeri ini? Dan tiba-tiba, kita menjumpai diri kita bertengkar satu sama lain. Bahkan berbunuhan satu sama lain. Memusnahkan satu sama lain. Me-nidak-kan satu sama lain. Membenci satu sama lain. Kenapa?
Apa yang salah dengan sistem budaya kita? Apa yang salah dengan sistem akal fikiran kita? Sistem politik kita, demokrasi kita, dan lain sebagainya, apa yang salah? Apakah kita bersedia untuk… melihat bahwa memang ada kesalahan-kesalahan yang sedang kita lakukan?
Saya yakin, sebagaimana suburnya tanah dan tanaman-tanaman di negeri ini, Allah juga memberi rahmat berupa kesuburan dan kecerdasan di akal kita, dan kesuburan cinta di dalam hati kita. Akan tetapi masalahnya.. kita bukan nggak punya ilmu untuk menyelesaikan masalah. Kita bukan tidak punya metode untuk mengurangi bentrokan-bentrokan. Kita bukan tidak punya solusi untuk mengakhiri kerusuhan-kerusuhan dan pembunuhan-pembunuhan.
Masalahnya adalah: kita mau atau tidak? Kita bersedia atau tidak? Untuk mengubah diri kita agar supaya tidak terus-menerus di atas udara negeri ini terLantunkan secara batiniah tembang-tembang kematian, kematian
saron
Saron
Saron Demung
Saron Barung
Saron Panerus
Each type of Saron is tuned to two different tuning system: pelog and slendro. Pelog system has a seven-note scale while Slendro system has a five-note scale. The Saron family usually have seven bars, whether in pelog or slendro. In this case, Pelog Demung, Pelog Barung, and Pelog Panerus have all seven notes present, each bar is tuned to a different pitch. While in Slendro Demung, Slendro Barung, and Slendro Panerus, there are still seven bars, in which two of the five slendro notes are duplicated at the octave.
All metal bars are placed on a wooden case which acted as a resonator. At each end of the metal bar, a hole is drilled so that a pin can insert through the hole into the wooden case. Between the metal bars and the wooden case, there are small squares of plaited rattan. There is a hole in each plaited rattan so that the pins, which pass through the metal bars, can pass through these plaited rattans too. The metal bars rest on these plaited rattan. The purpose of these plaited rattan is to lift the metal bars above from the wooden case to avoid damping sound. All bars are secured loosely onto the wooden case in this method.
The Saron's mallets are the only one in Javanese gamelan which are solely made of wood. The wood head is in direct contact with the metal during playing. Each saron need only one mallet. The player's right hand holds the mallet, while the other hand damps the metal bar.
http://www.seasite.niu.edu/indonesian/budaya_bangsa/gamelan/javanese_gamelan/metallophones/saron.htm
Jumat, 17 Agustus 2012
sudahkah kita merdeka
sudahkah kita merdeka di usia indonesia yang ke 67 ini...........
kemerdekaan merupakan cita2 bangsa
cita-cita rakyat , cita bersama untuk kejayaan negeri
cita keadilan, kemakmuran, kesejahteraan, bebas dari rasa takut, bebas dari kebodohan dan bebas dari belenggu2 yang mengekang dan mengungkung
pendiri bangsa ini menginginkan kemerdekaan yang dapat dinikmati semua rakyat indonesia bukan oleh segelintir orang.
cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa haruslah dilanjutkan dan diupayakan untuk tercapainya kehidupan yang makmur
negara merupakan wadah dan cerminan sikap politik untuk tercapainya masyarakat yang sejahtera material dan spirituil
pemimpin dan lembaga negara juga seharusnya menjadi bagian untuk menjadi contoh yang baik dan bijaksana
namun
apakah sudah demikian bijaksana pemimpin2 kita
ada banyak pertanyaan apa, mengapa, bagaimana, kapan , dan seterusnya
mengapa demikian perilaku politik, pemimpin, moralitas dsb
apakah ukuran dari perilaku mereka merupakan tolak ukur moralitas, keserakahan, matrialisme historis dll
terlalu rumit menyatakan semuanya yang jelas
moral terlalu bobrok, perilaku korupsi yang kelewatan, kaburnya hitam dan putih tidak tegaknya hukum yang adil dsb
kemerdekaan merupakan cita2 bangsa
cita-cita rakyat , cita bersama untuk kejayaan negeri
cita keadilan, kemakmuran, kesejahteraan, bebas dari rasa takut, bebas dari kebodohan dan bebas dari belenggu2 yang mengekang dan mengungkung
pendiri bangsa ini menginginkan kemerdekaan yang dapat dinikmati semua rakyat indonesia bukan oleh segelintir orang.
cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa haruslah dilanjutkan dan diupayakan untuk tercapainya kehidupan yang makmur
negara merupakan wadah dan cerminan sikap politik untuk tercapainya masyarakat yang sejahtera material dan spirituil
pemimpin dan lembaga negara juga seharusnya menjadi bagian untuk menjadi contoh yang baik dan bijaksana
namun
apakah sudah demikian bijaksana pemimpin2 kita
ada banyak pertanyaan apa, mengapa, bagaimana, kapan , dan seterusnya
mengapa demikian perilaku politik, pemimpin, moralitas dsb
apakah ukuran dari perilaku mereka merupakan tolak ukur moralitas, keserakahan, matrialisme historis dll
terlalu rumit menyatakan semuanya yang jelas
moral terlalu bobrok, perilaku korupsi yang kelewatan, kaburnya hitam dan putih tidak tegaknya hukum yang adil dsb
Jumat, 10 Agustus 2012
Hegel negara dan masyarakat
istilah
masyarakat sipil bagi sebagian besar masyarakat Indonesia merupakan
istilah baru. Tidak mengherankan bila banyak yang bertanya-tanya
mengenai arti dari kata itu. Kenyataan ini bisa dimengerti mengingat
demokrasi baru menjadi kenyataan setelah Orde Baru berhasil
ditumbangkan.
Dalam
rangka memahami makna masyarakat sipil (civil society) itu perlu
ditelusuri pemaknaannya dari sejarah pemikiran terdahulu. Penelusuran
pengartian civil society tidak bisa dilepaskan dari pemikiran negara
karena keberadaan civil society erat terkait dengan konsep negara itu
sendiri. Oleh karena itu pembicaraan mengenai civil society selalu
dibarengi dengan pembicaraan mengenai negara.
Penelusuran
pemikiran ini membatasi diri pada pemikiran Hegel, Karl Marx dan
Antonio Gramsci. Pembahasan akan dimulai dari Hegel kemudian Marx dan
terakhir Gramsci. Pengurutan pembahasan berdasarkan kronologi sejarah
itu sendiri. Dalam pembahasan ini akan dicoba diperlihatkan pemikiran
mana yang disangkal oleh pemikiran selanjutnya, pemikiran mana yang
diterima atau dirumuskan kembali dengan pemikiran baru. Pada bagian
akhir tulisan ini, diberikan kesimpulan yang berisi garis besar
pembahasan tulisan dan kontribusi pemikiran-pemikiran tokoh ini bagi
pemaknaan demokrasi.
HEGEL: NEGARA DAN MASYARAKAT SIPIL
A. Teori Dialektika Hegel
Pemikiran Hegel tidak bisa dilepaskan dalam dialektika antara tesis, antitesis dan sintesis. Dalam bukunya Philosphy of Right,
negara dan masyarakat sipil ditempatkan dalam kerangka dialektika itu
yaitu keluarga sebagai tesis, masyarakat sipil sebagai antitesis dan
negara sebagai sintesis.[1]
Dialektika
itu bertolak dari pemikiran Hegel bahwa keluarga merupakan tahap
pertama akan adanya kehendak obyektif. Kehendak obyektif dalam keluarga
itu terjadi karena cinta berhasil mempersatukan kehendak.
Konsekuensinya, barang atau harta benda yang semula milik dari
masing-masing individu menjadi milik bersama. Akan tetapi, keluarga
mengandung antitesis yaitu ketika individu-individu (anak-anak) dalam
keluarga telah tumbuh dewasa, mereka mulai meninggalkan keluarga dan
masuk dalam kelompok individu-individu yang lebih luas yang disebut
dengan masyarakat sipil (Civil Society). Individu-individu
dalam masyarakat sipil ini mencari penghidupannya sendiri-sendiri dan
mengejar tujuan hidupnya sendiri-sendiri. Negara sebagai institusi
tertinggi mempersatukan keluarga yang bersifat obyektif dan masyarakat
sipil yang bersifat subyektif atau partikular.[2]
Meskipun
logika pemikiran Hegel nampak bersifat linear, namun Hegel tidak
memaksudkannya demikian. Hegel memaksudkannya dalam kerangka dialektika
antara tesis, antitesis dan sintesis.[3]
Dalam kerangka teori dialektikanya ini, Hegel menempatkan masyarakat
sipil di antara keluarga dan negara. Dengan kata lain, masyarakat sipil
terpisah dari keluarga dan dari negara.
B. Masyarakat Sipil (Civil Society)
Masyarakat
sipil bagi Hegel digambarkan sebagai masyarakat pasca Revolusi Perancis
yaitu masyarakat yang telah diwarnai dengan kebebasan, terbebas dari
belenggu feodalisme.[4]
Dalam penggambaran Hegel ini, Civil Society adalah sebuah bentuk
masyarakat dimana orang-orang di dalamnya bisa memilih hidup apa saja
yang mereka suka dan memenuhi keinginan mereka sejauh mereka mampu.
Negara tidak memaksakan jenis kehidupan tertentu kepada anggota Civil
Society seperti yang terjadi dalam masyarakat feodal karena negara dan
civil society terpisahkan.
Masyarakat sipil terdiri dari individu-individu yang masing-masing berdiri sendiri atau dengan istilah Hegel bersifat atomis.[5]
Akibatnya, anggota dalam masyarakat sipil (civil society) tidak mampu
mengobyektifkan kehendak dan kebebasan mereka. Kehendak dan kebebasan
mereka bersifat subyektif-partikular. Meskipun demikian, masing-masing
anggota dalam mengejar pemenuhan kebutuhannya saling berhubungan satu
sama lain.[6]
Civil society menjadi tempat pergulatan pemenuhan aneka kebutuhan dan
kepentingan manusia yang menjadi anggotanya. Dalam kerangka penggambaran
ini, masyarakat sipil adalah masyarakat yang bekerja. Karena kegiatan
masyarakat sipil tidak dibatasi oleh negara, maka dalam masyarakat sipil
terjadilah usaha penumpukan kekayaan yang intensif.[7]
Berkaitan
dengan ciri kerja itu, masyarakat sipil ditandai dengan pembagian kelas
sosial yang didasari pada pembagian kerja yaitu kelas petani, kelas
bisnis dan kelas birokrat atau pejabat publik (public servants).[8] Kelas petani mengolah tanah dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarga-keluarga.[9] Kelas bisnis terdiri dari pengrajin, pengusaha manufaktur dan pedagang.[10] Kelas pelayan publik bertugas memelihara kepentingan umum komunitas masyarakat sipil.[11]
Kelas pejabat publik ini bila ditinjau dari gaji yang diperoleh
merupakan kelas dalam masyarakat sipil, tetapi bila ditinjau dari
tugasnya, ia termasuk kelas eksekutif dalam negara. Jadi, kelas birokrat
atau pejabat publik ini dalam pemikiran Hegel merupakan jembatan dari
masyarakat sipil ke negara.
Masyarakat
sipil adalah masyarakat yang terikat pada hukum. Hukum diperlukan
karena anggota masyarakat sipil memiliki kebebasan, rasio dan menjalin
relasi satu sama lain dengan sesama anggota masyarakat sipil itu sendiri
dalam rangka pemenuhan kebutuhan mereka. Hukum merupakan pengarah
kebebasan dan rasionalitas manusia dalam hubungan dengan sesama anggota
masyarakat sipil. Tindakan yang melukai anggota masyarakat sipil
merupakan tindakan yang tidak rasional.[12]
Ciri
kerja dan sifat atomis dari masyarakat sipil ini menyebabkan masyarakat
sipil lebih menyukai bantuan kepada orang miskin tidak melalui bantuan
langsung tetapi dengan cara memberi pekerjaan kepada mereka sehingga
akan meningkatkan produktifitas komunitas.[13]
Hegel lebih lanjut mengatkaan bahwa pada titik tertentu masyarakat
sipil mencapai kelimpahan produksi sebagai akibat dari kerja para
anggota masyarakat sipil. Titik jenuh produksi ini disebut Hegel sebagai
tingkat kematangan masyarakat sipil. Dalam tingkat kematangan ini,
masyarakat sipil harus mencari pasar di tempat lain dengan cara
mengkoloni tempat tersebut. Tapi Hegel menyebutkan alasan tindakan
koloni itu dalam rangka mencukupi kebutuhan keluarga-keluarga di tempat
lain.[14]
C. Negara (State)
Negara
merupakan badan universal dimana keluarga dan masyarakat sipil
dipersatukan. Sebagai badan universal, negara mencerminkan kehendak dari
kehendak partikular rakyatnya. Keuniversalan kehendak negara sebenarnya
telah ada secara implisit dalam kehendak individu masyarakat sipil
yaitu ketika mereka mengejar pemenuhan kebutuhan pribadi sekaligus juga
memenuhi kebutuhan individu-individu lain dalam masyarakat sipil.[15] Negara mempersatukan segala tuntutan dan harapan sosial masyarakat sipil dan keluarga.
Dalam
kedudukannya yang tertinggi, negara mengatur sistem kebutuhan
masyarakat sipil dan keluarga dengan memberikan jaminan stabilitas hak
milik pribadi, kelas-kelas sosial dan pembagian kerja. Pengaturan negara
itu dilakukan melalui hukum. Melalui hukum itu, negara berfungsi untuk
memperkembangkan agregat tindakan rasional sebab pembatasan yang
dilakukan oleh hukum negara merupakan pembatasan rasional yang
diperlukan bagi keberadaan individu-individu lainnya. Kebebasan individu
ditentukan oleh rasionalitas manusia. Hukum negara menjadi instrumen
untuk mengingatkan manusia agar tidak bertindak irrasional.
Bagi Hegel, negara adalah kesatuan mutlak. Oleh karena itu, Hegel menolak pembagian kekuasaan di dalam negara.[16]
Di dalam negara, tidak ada pembagian kekuasaan tetapi yang ada adalah
pembagian pekerjaan untuk masalah-masalah universal. Negara yang
digambarkan Hegel sebagai ideal dari konsep kesatuannya adalah negara
monarki konstitusional yang tersusun dalam Legislatif, Eksekutif dan
Raja. Raja merupakan kekuasaan pemersatu dan sekaligus yang tertinggi
dari semuanya. Eksekutif merupakan kelompok birokrasi yang pejabatnya
diangkat berdasarkan keahlian dan digaji tetapi pekerjaannya menyangkut
masalah-masalah universal dan harus bebas dari pengaruh-pengaruh
subyektif. Legislatif bergerak di bidang pembuatan hukum dan konstitusi
serta menangani masalah-masalah dalam negeri yang dalam hal ini diduduki
oleh Perwakilan (Estate) yang terdiri dari kelas bawah yaitu kelas
petani, kelas bisnis dan kelas tuan tanah. Perwakilan (Estate) dalam
legislatif bertugas agar Raja tidak bertindak sewenang-wenang dan
mencegah agar kepentingan-kepentingan partikular dari individu,
masyarakat dan korporasi jangan sampai melahirkan kelompok oposisi
terhadap negara.[17]
Dalam hubungannya dengan Raja, Perwakilan ini juga menjadi penasehat
Raja. Bagi Hegel, negara monarki konstitusional merupakan bentuk negara
modern yang rasional karena monarki konstitusional merupakan hasil
pemikiran yang bersifat evaluatif atas monarki lama.[18]
MARX : NEGARA DAN MASYARAKAT SIPIL
A. Latar Belakang: Kritik Marx Atas Pemikiran Negara dan Masyarakat Sipil Hegel.
Marx mengritik pemisahan negara dan civil society dari Hegel menjadi penyebab keterasingan manusia.[19]
Manusia dalam civil society bersifat egois. Manusia-manusia lain dalam
civil society saling memanfaatkan satu sama lain demi mencukupi
kebutuhan mereka sendiri dan karena itu dalam civil society akan terjadi
anarki. Oleh karena itulah, civil society memerlukan negara yang
memaksa mereka untuk bersikap sosial melalui kepatuhan kepada hukum.
Menurut Marx, seandainya individu dalam civil society itu tidak terasing
dari kesosialannya, negara tidak diperlukan lagi.
Jadi,
yang menjadi pokok bukan negara tetapi justru manusia dalam masyarakat
sipil itulah yang yang menjadi realitas pertama. Oleh karena itu, Marx
sependapat dengan Feuerbach bahwa filsafat Hegel terbalik secara hakiki .[20]
Logika Hegel mengenai negara membawahi civil society dibalik menjadi
civil society membawahi negara. Logika pembalikan ini bisa dijelaskan
dalam pengertian civil society sebagai masyarakat borjuis dan negara
merupakan alat di tangan borjuis untuk melanggengkan proses penghisapan
terhadap kaum buruh.
Marx
mengatakan bahwa teori negara Hegel tidak dapat menyelesaikan konflik
tetapi justru akan melembagakan konflik itu sendiri dalam negara.
Mengapa demikian? Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh Marx yaitu :
pertama, perwakilan dalam negara monarki konstitusional yang
keanggotaannya terdiri dari bermacam-macam kelas justru akan melahirkan
konflik di antara kelas-kelas itu sendiri. Kedua, kelas birokrat yang ditampilkan Hegel akan memperjuangkan kepentingan kelas dari mana pejabat birokrasi itu berasal dan ketiga, pemisahan negara dengan masyarakat sipil akan melanggengkan konflik kepentingan antara negara dengan masyarakat sipil.[21]
B. Pandangan Marx : Civil Society
Marx
memandang civil society sebagai masyarakat yang dicirikan oleh
pembagian kerja, sistem pertukaran dan kepemilikan pribadi atas
alat-alat produksi. Pandangan ini memang sama dengan pandangan Hegel,
tetapi kemudian ia menambahkan bahwa masyarakat sipil itu terbagi dalam
dua bagian yaitu kaum majikan atau kaum borjuis sebagai pemilik alat
produksi (property-owners) dan kaum buruh atau kaum proletar yang tidak memiliki alat produksi (propertyless).[22] Pembagian struktur dalam masyarakat sipil itu merupakan akibat dari adanya hak atas milik pribadi.
Sistem
hak milik pribadi dalam masyarakat sipil mengakibatkan manusia
mengalami alienasi. Buruh terasing dari pekerjaannya karena pekerjaan
itu tidak lagi mencerminkan tindakan paling luhur manusia tetapi menjadi
sesuatu yang rutin, membosankan dan tanpa makna, demi mendapatkan upah.
Buruh juga terasing dengan majikan karena masing-masing mencari
kepentingan sendiri-sendiri. Buruh juga terasing dengan sesama buruh
karena mereka saling berebut pekerjaan.[23]
Masyarakat
sipil juga ditandai dengan penghisapan buruh oleh majikan. Buruh
diperas tenaganya demi kepentingan majikan. Gambaran ini merupakan
konsekuensi dari pandangan Marx atas civil society sebagai masyarakat
kapitalis.
C. Pandangan Marx : Negara.
Negara dalam, pandangan Marx, alat di tangan kaum borjuis untuk mempertahankan kepentingannya.[24]
Pandangan ini didasarkan pada paham materialisme sejarah Marx yang
menempatkan negara dalam bangunan atas (supra struktur) bersamaan dengan
hukum, ideologi, agama, filsafat dan lain-lain. Ada pun ekonomi yang
menjadi sentral dari perkembangan sejarah manusia berada dalam bangunan
bawah (infra strukture). Negara menjadi alat kaum borjuis untuk menjamin
kelangsungan penindasan terhadap kaum buruh agar kaum buruh tidak
berusaha membebaskan diri dari usaha penghisapan dari kaum majikan.
Sedangkan hukum, moral, agama, filsafat yang disebut juga dengan
“bangunan atas ideologis” berfungsi memberikan legitimasi bagi usaha
penghisapan yang dilakukan oleh kaum majikan.
Negara
muncul sebagai akibat dari kebutuhan kaum borjuis untuk melindungi
keberlangsungan proses kapitalisme yang ada dalam dalam masyarakat
sipil. Relasi-relasi dalam masyarakat sipil dikendalikan oleh
relasi-relasi produksi kapitalis sehingga dalam masyarakat sipil
terkandung tirani ideal bagi konsolidasi kapitalisme. Negara akan
melindungi proses kapitalisme itu dari segala macam upaya yang akan
menggagalkan proses tersebut.
D. Utopi : Negara dan Masyarakat Sipil Pasca Kapitalisme.
Menurut Marx biang keladi dari seluruh
keterasingan manusia adalah struktur ekonomi. Oleh karena itu, agar
keterasingan manusia itu bisa dihilangkan, maka struktur ekonomi itu
harus diubah. Perubahan struktur ekonomi itu dilakukan melalui revolusi
yaitu pertentangan antara kelas buruh melawan kelas majikan. Dalam
perhitungan Marx, kelas buruh akan memenangkan perlawanan itu sehingga
alat-alat produksi beralih dari tangan kaum majikan kepada kaum buruh.
Pada
tahap awal pasca revolusi itu, negara masih dibutuhkan tetapi dalam
bentuk “diktator proletariat”. Negara dalam bentuk ini dibutuhkan untuk
memastikan bahwa kaum kapitalis sudah tidak ada lagi dan untuk menjalani
masa transisi kaum buruh dari ketrampilan spesialis sebagai akibat dari
pembagian kerja menjadi ketrampilan universal dalam rangka mengatasi
pembagian kerja.
Hasil
akhir yang digambarkan Marx adalah sebuah masyarakat yang bebas dan
kreatif dalam masyarakat komunis. Masing-masing orang bisa bekerja kapan
saja, mau melakukan hobinya kapan saja sebelum atau sesudah bekerja.
Dalam masyarakat komunis ini, pembagian kelas sudah tidak ada lagi.
Negara pun sudah mati dengan sendirinya karena tidak ada yang lagi yang
ditindas. Proses produksi dipimpin oleh persekutuan bebas semua
individu.[25]
GRAMSCI : NEGARA DAN MASYARAKAT SIPIL
A. Latar Belakang: Kritik Terhadap Marx.
Gramsci
mengritik ekonomisme Marx yang didasarkan pada materialisme sejarah.
Menurut Gramsci, pembagian struktur kehidupan pada bangunan atas dan
bangunan bawah mengakibatkan kegagalan Partai Sosialis Italia dalam
mengobarkan semangat revolusi 1912-1920. Gambaran struktur Marx itu pula
yang menyebabkan gerakan buruh melemah dan buruh tunduk pada struktur
penindasan kapitalis dan fasisme.[26]
Gramsci
menolak paham ekonomistis Marx. Bagi Gramsci, perubahan ke arah
masyarakat sosialis bukan semata-mata bercorak ekonomistis, tetapi juga
harus memperhatikan aspek sosial, budaya dan ideologi. Oleh karena itu,
hegemoni menjadi tema sentral dalam pemikiran Gramsci sebagai upaya
mewujudkan cita-cita masyarakat sosialis-nya.[27]
Gramsci
juga menolak pemikiran Marx mengenai revolusi yang akan mengganti
secara total negara dengan masyarakat tanpa kelas. Bagi Gramsci,
perubahan ke arah sosialisme harus dilakukan dengan memanfaatkan
jalur-jalur yang tersedia. Bertolak dari kondisi yang sudah ada itu,
buruh membuat jaringan dan aliansi-aliansi baru dengan kelompok-kelompok
sosial yang ada melalui hegemoni.[28]
B. Pemikiran Gramsci : Masyarakat Sipil
Gramsci memasukkan masyarakat sipil dalam bangunan atas (super structure)
Marx bersama dengan negara. Dalam masyarakat sipil, terjadi proses
hegemoni oleh kelompok-kelompok dominan sedangkan negara melakukan
dominasi langsung kepada masyarakat sipil melalui hukum dan masyarakat
politik. Gramsci sendiri mengakui bahwa senyatanya masyarakat sipil
telah terhegomi. Pengakuannya itu diungkapkan dengan mengatakan bahwa
masyarakat sipil adalah etika atau moral.
Gramsci
membedakan masyarakat sipil dengan masyarakat politik. Masyarakat
politik adalah aparat negara yang melaksanakan fungsi monopoli negara
dengan koersi, yang di dalamnya meliputi tentara, polisi, lembaga hukum,
penjara, semua departemen administrasi yang mengurusi pajak, keuangan,
perdagangan dan sebagainya. Masyarakat sipil adalah wilayah dimana
relasi antara kelompok tidak dilakukan dengan koersi. Maka Gramsci
mengatakan bahwa masyarakat sipil mencakup organisasi-organisasi privat
seperti gereja, serikat dagang, sekolah, dan termasuk juga keluarga.[29]
Gramsci juga mengatakan bahwa organisasi-organisasi dalam masyarakat
sipil mempunyai tujuan yang berbeda-beda seperti politik, ekonomi, olah
raga, seni dan sebagainya namun mereka memiliki asumsi-asumsi dan
nilai-nilai yang diterima oleh masyarakat meskipun sering tidak kentara.[30]
Masyarakat
sipil merupakan salah satu bagian dari masyarakat kapitalis. Gramsci
mengatakan masyarakat kapitalis terdiri dari tiga jenis hubungan yaitu
hubungan dasar antara pekerja dan pemodal, hubungan koersif yang menjadi
watak negara, dan hubungan sosial lainnya yang membentuk masyarakat
sipil. Maka bagi Gramsci, masyarakat sipil bukan negara karena negara
bersifat koersif dan bukan produksi karena dalam produksi terjadi
tindakan koersif pemilik modal kepada buruh. Ronnie D. Lipschutz
merumuskannya dengan mengatakan “Gramsci placed civil society between
state and market and outside of the private sphere of family and
friendship.”[31]
Masyarakat
sipil merupakan medan perjuangan politik. Oleh karena itu, dalam rangka
pembentukan negara sosialis, Gramsci mengatakan perlunya kelompok buruh
membangun hegemoni atas kelompok-kelompok lain dalam masyarakat sipil
dengan sebuah ideologi baru yang mampu mewadahi kepentingan-kepentingan
kelompok-kelompok lain dalam masyarakat sipil dan sekaligus mampu
mewadahi kepentingan kelompok buruh. Dalam hal ini, kelompok buruh harus
mampu mentransformasi ideologi-ideologi yang ada dengan tetap
mempertahankan unsur-unsur penting dari masing-masing ideologi itu dan
menyusunnya menjadi sebuah ideologi baru yang mencakup semua termasuk
kepentingan kelompok buruh sendiri.
Karena
masyarakat sipil telah terhegemoni, maka kelompok buruh perlu melakukan
kontra hegemoni. Dalam hal ini, kelompok buruh membangun hegemoni
dengan melakukan “perang posisi” melawan hegemoni negara yang telah
menjadi blok historis.[32]
Pada saatnya nanti ketika negara sosialis telah terbentuk, kelompok
buruh harus tetap membangun hegemoni agar menjadi blok historis.[33]
Ketika
kelompok buruh memperoleh kekuasaan negara, masyarakat sipil harus
sudah maju. Kemajuan masyarakat sipil diukur dari kemampuan membangun
hubungan secara otonom, kemampuan mengatur dirinya sendiri (self-governing)
dan adanya disiplin diri masyarakat. Tanpa disertai dengan kemajuan
masyarakat sipil, maka kelompok buruh akan tetap memiliki ketergantungan
yang kuat terhadap negara atau tetap berada dalam periode statolatry. Oleh karena itu, periode statolatry harus terus menerus dikritik agar masyarakat sipil menjadi maju dimana terjadi perkembangan inisiatif individu dan kelompok.
C. Pemikiran Gramsci : Negara.
Bagi
Gramsci, negara adalah masyarakat politik dan masyarakat sipil. Negara
memiliki alat-alat koersif yaitu lembaga-lembaga yang disebutnya sebagai
masyarakat politik. Tetapi negara tidak semata-mata melakukan koersif
saja tetapi negara juga melakukan apa yang ia sebut sebagai ‘peran
edukatif dan formatif negara’ yaitu melakukan hegemoni. Masyarakat sipil
merupakan masyarakat yang telah terhegemoni oleh negara sehingga
memampukan negara menjadi blok historis berkat dukungan dari masyarakat
sipil. Itulah sebabnya, ia mengatakan bahwa negara merupakan masyarakat
politik dan masyarakat sipil.
Pemikirannya
mengenai negara sebagai masyarakat politik dan masyarakan sipil
melahirkan gagasan mengenai negara integral. Pemahaman mengenai negara
integral tidak bisa dilepaskan dari gagasannya mengenai sifat kekuasaan.
Kekuasaan dipahami oleh Gramsci sebagai hubungan sosial. Hubungan
sosial negara terjadi terhadap masyarakat politik dan juga terhadap
masyarakat sipil. Jadi, di dalam masyarakat sipil disamping terdapat
hubungan sosial di antara kelompok-kelompoknya sendiri juga terdapat
hubungan sosial dengan negara.
Gramsci
memikirkan negara yang dicita-citakannya dalam gambaran Dewan Pabrik.
Dewan pabrik ini merupakan hasil cetusan gagasannya mengenai perlunya
transformasi komisi internal yang ia lontarkan saat ia duduk dalam
kepengurusan komisi internal di Turin. Inti gagasannya mengenai
transformasi itu adalah agar komisi internal sebagai organ kekuasaan
proletarian menggantikan kelompok pemodal dalam menjalankan
fungsi-fungsi manajemen dan administrasi sehingga komisi internal bisa
menjadi sekolah politik dan administrasi bagi kaum pekerja. Gagasan itu
diterima dengan cepat sehingga komisi internal berkembang menjadi dewan
pabrik. Dalam dewan pabrik ini, pekerja dapat melakukan kontrol atas
proses produksi, mengambil alih fungsi manajemen dan administrasi.
Dengan demikian, bagi Gramsci, dewan pabrik membangun kesadaran politik
akan negara demokrasi langsung yang dibangun atas partisipasi rakyatnya.
Dengan menggambarkan dewan pabrik sebagai embrio negara, Gramsci
mencita-citakan sebuah negara demokrasi langsung dimana kendali atas
proses produksi berada di tangan kelompok buruh.[34]
KESIMPULAN
Dari uraian di atas bisa disimpulkan
bahwa pemikiran mengenai negara dan masyarakat sipil mengalami pasang
surut dalam perjalanan sejarah. Dalam pemikiran Hegel, masyarakat sipil
adalah masyarakat yang hidupnya tidak dicampuri urusannya oleh negara.
Hegel belum memaksudkan masyarakat sipil seperti yang dikemukakan oleh
Larry Diamond. Hegel masih mengartikan sebagai sebuah masyarakat biasa,
komunitas yang terdiri dari individu-individu, yang kehidupannya tidak
dicampuri oleh negara. Dalam kaitan ini, negara dipandang Hegel sebagai
pengatur dan pemersatu dari masyarakat sipil melalui hukum,
lembaga-lembaga peradilan dan lembaga kepolisian. Pemikiran Hegel ini
diinterpretasikan oleh Marx dalam kerangka perjuangan kaum buruh.
Masyarakat sipil dipandang sebagai kelompok yang teralieanasi sehingga
masyarakat membutuhkan negara. Masyarakat sipil adalah masyarakat dimana
terjadi penghisapan buruh oleh majikan. Negara juga dipandang sebagai
alat di tangan kaum borjuis untuk mempertahankan kedudukannya. Maka Marx
mencita-citakan sebuah masyarakat tanpa kelas sehingga
individu-individu mendapatkan kebebasan dan bekerja seturut kodratnya
sebagai manusia. Dalam kondisi seperti ini, negara mati dengan
sendirinya. Perwujudan utopi itu dilakukan melalui revolusi yang akan
menghapus kepemilikan alat produksi dari kaum borjuis. Gramsci menentang
teori ekonomistis Marx ini dan mengatakan bahwa perubahan masyarakat
sosialis harus bertolak dari kondisi yang ada. Perubahan harus dilakukan
oleh kelompok buruh melalui hegemoni dalam masyarakat sipil. Masyarakat
sipil dalam pemikiran Gramsci sudah mulai dipikirkan adanya
organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok yang otonom. Meskipun
organisasi-organisasi itu saling membangun hegemoni sendiri, negara juga
tidak ketinggalan membangun hegemoni di antara kelompok-kelompok itu.
Negara disamping memiliki kekuatan untuk membangun hegemoni masyarakat
sipil, juga memiliki masyarakat politik sebagai alat koersif negara.
Sumbangan pemikiran yang penting bagi
perkembangan demokrasi dari ketiga pemikiran itu adalah bahwa kehidupan
masyarakat sipil harus menjadi wilayah kebebasan (Hegel) sehingga akan
menjadi medan kehidupan yang manusiawi (Marx). Dengan kebebasan itu,
organisasi-organisasi kemasyarakatan akan tumbuh memperkuat demokrasi
(Gramsci). Mereka mampu bersikap kritis terhadap negara (Gramsci)
sehingga memungkinkan terciptanya kehidupan yang lebih baik dengan
dilandasi pada rationalitas dan kebebasan manusia (Hegel). Negara dalam
hal ini harus terus menerus menyandarkan diri dalam rasionalitasnya
(Hegel) agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan berupa
penyalahgunaan lembaga-lembaga koersifnya (Hegel, Marx, Gramsci) maupun
penyalahgunaan kemampuan hegemoniknya melalui struktur hukum, ideologi
atau pendidikan (Hegel, Marx, Gramsci).
Demikianlah
pemaparan atas pemikiran Hegel, Marx dan Gramsci. Semoga bermanfaat bagi
wacana kita dalam memperkembangkan demokrasi di Indonesia.
Daftar Pustaka
Anafansyev, V. Marxist Philosophy A Popular Outline. trans. by Leo Lempert. Rev.Ed. Moscow : Progress Publishers, 1965
Calabrese, Andrew. “The Promise of Civil Society : A Global Movement for Communication Rights.” Continuum : Journal of Media and Cultures Studies 3 (September 2005), 317-329.
Hegel’s Philosophy of Right. Transl. T.M. Knox. Reprint. London : Oxford University Press, 1981.
Iskandar, Deddy. “Mengenal dan Mengritik Gramsci.” Pemikiran-pemikiran Revolusioner. Ed. Saiful Arif. Malang : Averroes Press, 2001
Lipschutz, Ronnie D. “Power, Politics and Global Civil Society.” Millenium: Journal of International Studies 33 (3:2005)
McLellan, David. “Marx, Engels and Lenin on Party and State.” The Withering Away of State?Party State under Communism, ed. Leslie Holmes. London : SAGE Publications Ltd, 1981.
McClelland, J.S. History of Western Political Thought. London : Routledge, 1996.
Muukkonen, Martti. “Civil Society.” Makalah dalam Annual Meeting of Finish Sociologist, Turku, 24 – 25 Maret 2000.
Nina, Daniel. “Beyond The Frontier : Civil Society Revisited.” Transformation 17 (1992), 61-73.
Suseno, Franz Magnis. Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta:Gramedia, 1991
Suseno, Franz Magnis. Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta : Gramedia, 1999.
Shils, Edward. “The Virtue of Civility,” Selected Essay on Liberalism, Tradition and Civil Society. Ed. Steven Grosby. Indiana Polis : Liberty Fund, 1997.
Simon, Roger. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. terj. Kamdani et al. Yogyakarta : Insist, 2000.
Stumpf, Samuel Enoch. Philosophy History and Problems. Fifth edition. New York : McGraw Hill Inc, 1994.
Jumat, 03 Agustus 2012
generator hampa
Karbon padat hasil pembakaran batok kelapa ditanam dalam panel
generator, dan diubah menjadi energi kimia. Sel bahan bakar lalu
mengubah energi kimia yang tersimpan menjadi energi listrik siap paka
MALANG, KOMPAS.com — Slamet Haryanto (51) hanya seorang lulusan sekolah dasar negeri di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, tetapi ia berhasil menciptakan generator tanpa bahan bakar yang diberi nama "Pembangkit Listrik Tenaga Hampa".
Warga Desa Ngroto, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, Jawa Timur, ini tinggal bersama istri dan ketiga anaknya di sebuah rumah kontrakan sederhana.
Karyanya (generator PLTH) itu ditaruh di ruang berukuran 18 meter, yang terbuat dari bambu di sebelah rumah kontrakannya, di Jalan Abdul Manan Wijaya, Desa Ngroto.
Saat ditemui Kompas.com di rumah kontrakannya, Rabu (25/7/2012), Slamet yang kesehariannya berprofesi sebagai tukang servis dinamo mengatakan, ide tersebut muncul pada 1997, saat seorang teman dari kampung sebelah meminta membuatkan pembangkit listrik pengganti petromaks.
"Selain itu, saya mencari cara bagaimana listrik tidak terus padam. Selama ini pakai listrik PLN sering mengalami padam. Siapa tahu ada cara lain. Ada pembangkit listrik yang tidak sering padam," cerita Slamet.
Awalnya, Slamet ingin membuat kincir angin, tetapi batal karena mebuat kincir angin membutuhkan dana besar. Setelah terus berjuang untuk membuktikan cita-citanya pada 2008, baru tercipta purwarupa pertama berupa generator.
Alat-alat yang dibutuhkan untuk membuat generator dibeli dari Surabaya. "Kalau ada alat yang bisa dibeli di Malang, saya beli di Malang. Alat yang tidak ada (di Malang) saya beli di Surabaya," katanya.
Alat tersebut bekerja memanfaatkan karbon padat, yang diambil dari hasil pembakaran batok kelapa, ditambah 100-an elemen dan kapasitor. "Karena membutuhkan banyak karbon, saya sampai membeli karbon dari para petani kelapa di wilayah Tulungagung," katanya.
Karbon tersebut, jelas suami dari Sri itu, dipasang di panel kaca. Setiap satu panel dibutuhkan sekitar 3 kilogram karbon. "Dalam generator itu mengandalkan arus bolak-balik, dari panel-trafo-aki mesin-pendorong-kapasitor. Dari kapasitor sebagian akan jadi daya listrik dan sebagian lagi ke panel," jelasnya.
Dari prototipe tersebut diperoleh tegangan 380 volt dan berkapasitas maksimal 13 kilowatt. Setelah itu, Slamet mengembangkan tipe lain yang bertegangan 220 volt dengan daya maksimal 6.000 watt, yang cocok untuk listrik rumahan.
Jenis tersebut memiliki dua panel kaca, yang masing-masing berisi 3 kilogram karbon padat. Panel tersebut berfungsi menyimpan daya listrik 1.500 hingga 2.000 watt per panel.
"Untuk tipe yang lebih besar, 380 volt, maksimal 48 kilowatt. itu sudah bisa digunakan untuk industri. Namun, dibutuhkan enam panel," katanya.
Generator yang diciptakan Slamet itu bisa bekerja selama 24 jam. Namun, syaratnya ada alat yang terus membutuhkan listrik. Tak boleh mati. "Untuk menghidupkan hanya butuh dipancing dengan aki," katanya.
Saat ditanya berapa karyanya yang sudah dikeluarkan dan digunakan oleh banyak orang, Slamet mengaku lebih kurang 50. "Kebanyakan pemesannya warga Kalimantan, karena dipakai di desa yang tidak dimasuki PLN," katanya.
Namun, hingga kini Slamet belum menentukan nama yang cocok untuk mesin ciptaannya tersebut. "Untuk sementara saya beri nama Pembangkit Listrik Tenaga Hampa (PLTH)," katanya sembari tertawa karena tak bisa menjelaskan secara detail mengapa diberi nama PLTH.
Ketika ditanya berapa dana yang dihabiskan untuk PLTH berkapasitas 1 kilowatt, Slamet mengatakan hanya menghabiskan dana sebesar Rp 3-4 juta. Sedangkan yang berkapasitas 13 kilowatt membutuhkan modal lebih kurang Rp 45 juta dan dia jual Rp 55 juta.
Dalam mengerjakan karyanya itu, Slamet dibantu oleh seorang anaknya bernama David Isnupratama. Dari hasil pernikahannya bersama Sri, Slamet sudah memiliki tiga anak, yaitu Ika Haryeni, David Isnupratama, dan Hendra Priapratama, yang kini masih duduk di bangku SMP negeri di Pujon.
"Semoga apa yang saya ciptakan ini bermanfaat untuk masyarakat Indonesia yang belum bisa menikmati listrik, terutama bagi masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil yang tidak teraliri listrik," kata Slamet.
Selain membuat generator, Slamet juga sering diminta untuk membantu istrinya menjual nasi bungkus di wilayah Songgorit. Maklum, karena istrinya membuka warung nasi di depan rumah kontrakannya.
"Sering saya suruh menjual nasi bungkus di wilayah Songgoriti. Selain itu, juga membersihkan vila di wilayah Batu. Setelah itu mengerjakan generator itu," kata Sri, istri Slamet.
MALANG, KOMPAS.com — Slamet Haryanto (51) hanya seorang lulusan sekolah dasar negeri di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, tetapi ia berhasil menciptakan generator tanpa bahan bakar yang diberi nama "Pembangkit Listrik Tenaga Hampa".
Warga Desa Ngroto, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, Jawa Timur, ini tinggal bersama istri dan ketiga anaknya di sebuah rumah kontrakan sederhana.
Karyanya (generator PLTH) itu ditaruh di ruang berukuran 18 meter, yang terbuat dari bambu di sebelah rumah kontrakannya, di Jalan Abdul Manan Wijaya, Desa Ngroto.
Saat ditemui Kompas.com di rumah kontrakannya, Rabu (25/7/2012), Slamet yang kesehariannya berprofesi sebagai tukang servis dinamo mengatakan, ide tersebut muncul pada 1997, saat seorang teman dari kampung sebelah meminta membuatkan pembangkit listrik pengganti petromaks.
"Selain itu, saya mencari cara bagaimana listrik tidak terus padam. Selama ini pakai listrik PLN sering mengalami padam. Siapa tahu ada cara lain. Ada pembangkit listrik yang tidak sering padam," cerita Slamet.
Awalnya, Slamet ingin membuat kincir angin, tetapi batal karena mebuat kincir angin membutuhkan dana besar. Setelah terus berjuang untuk membuktikan cita-citanya pada 2008, baru tercipta purwarupa pertama berupa generator.
Alat-alat yang dibutuhkan untuk membuat generator dibeli dari Surabaya. "Kalau ada alat yang bisa dibeli di Malang, saya beli di Malang. Alat yang tidak ada (di Malang) saya beli di Surabaya," katanya.
Alat tersebut bekerja memanfaatkan karbon padat, yang diambil dari hasil pembakaran batok kelapa, ditambah 100-an elemen dan kapasitor. "Karena membutuhkan banyak karbon, saya sampai membeli karbon dari para petani kelapa di wilayah Tulungagung," katanya.
Karbon tersebut, jelas suami dari Sri itu, dipasang di panel kaca. Setiap satu panel dibutuhkan sekitar 3 kilogram karbon. "Dalam generator itu mengandalkan arus bolak-balik, dari panel-trafo-aki mesin-pendorong-kapasitor. Dari kapasitor sebagian akan jadi daya listrik dan sebagian lagi ke panel," jelasnya.
Dari prototipe tersebut diperoleh tegangan 380 volt dan berkapasitas maksimal 13 kilowatt. Setelah itu, Slamet mengembangkan tipe lain yang bertegangan 220 volt dengan daya maksimal 6.000 watt, yang cocok untuk listrik rumahan.
Jenis tersebut memiliki dua panel kaca, yang masing-masing berisi 3 kilogram karbon padat. Panel tersebut berfungsi menyimpan daya listrik 1.500 hingga 2.000 watt per panel.
"Untuk tipe yang lebih besar, 380 volt, maksimal 48 kilowatt. itu sudah bisa digunakan untuk industri. Namun, dibutuhkan enam panel," katanya.
Generator yang diciptakan Slamet itu bisa bekerja selama 24 jam. Namun, syaratnya ada alat yang terus membutuhkan listrik. Tak boleh mati. "Untuk menghidupkan hanya butuh dipancing dengan aki," katanya.
Saat ditanya berapa karyanya yang sudah dikeluarkan dan digunakan oleh banyak orang, Slamet mengaku lebih kurang 50. "Kebanyakan pemesannya warga Kalimantan, karena dipakai di desa yang tidak dimasuki PLN," katanya.
Namun, hingga kini Slamet belum menentukan nama yang cocok untuk mesin ciptaannya tersebut. "Untuk sementara saya beri nama Pembangkit Listrik Tenaga Hampa (PLTH)," katanya sembari tertawa karena tak bisa menjelaskan secara detail mengapa diberi nama PLTH.
Ketika ditanya berapa dana yang dihabiskan untuk PLTH berkapasitas 1 kilowatt, Slamet mengatakan hanya menghabiskan dana sebesar Rp 3-4 juta. Sedangkan yang berkapasitas 13 kilowatt membutuhkan modal lebih kurang Rp 45 juta dan dia jual Rp 55 juta.
Dalam mengerjakan karyanya itu, Slamet dibantu oleh seorang anaknya bernama David Isnupratama. Dari hasil pernikahannya bersama Sri, Slamet sudah memiliki tiga anak, yaitu Ika Haryeni, David Isnupratama, dan Hendra Priapratama, yang kini masih duduk di bangku SMP negeri di Pujon.
"Semoga apa yang saya ciptakan ini bermanfaat untuk masyarakat Indonesia yang belum bisa menikmati listrik, terutama bagi masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil yang tidak teraliri listrik," kata Slamet.
Selain membuat generator, Slamet juga sering diminta untuk membantu istrinya menjual nasi bungkus di wilayah Songgorit. Maklum, karena istrinya membuka warung nasi di depan rumah kontrakannya.
"Sering saya suruh menjual nasi bungkus di wilayah Songgoriti. Selain itu, juga membersihkan vila di wilayah Batu. Setelah itu mengerjakan generator itu," kata Sri, istri Slamet.
uang dan sejarah
Uang yang kita kenal sekarang
ini telah mengalami proses perkembangan yang panjang. Pada mulanya,
masyarakat belum mengenal pertukaran karena setiap orang berusaha
memenuhi kebutuhannnya dengan usaha sendiri. Manusia berburu jika ia
lapar, membuat pakaian sendiri dari bahan-bahan yang sederhana, mencari
buah-buahan untuk konsumsi sendiri; singkatnya, apa yang diperolehnya
itulah yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhannya.
Perkembangan selanjutnya mengahadapkan manusia pada kenyataan bahwa apa yang diproduksi sendiri ternyata tidak cukup untuk memenuhui seluruh kebutuhannya. Untuk memperoleh barang-barang yang tidak dapat dihasilkan sendiri, mereka mencari orang yang mau menukarkan barang yang dimiliki dengan barang lain yang dibutuhkan olehnya. Akibatnya muncullah sistem barter', yaitu barang yang ditukar dengan barang.
Namun pada akhirnya, banyak kesulitan-kesulitan yang dirasakan dengan sistem ini. Di antaranya adalah kesulitan untuk menemukan orang yang mempunyai barang yang diinginkan dan juga mau menukarkan barang yang dimilikinya serta kesulitan untuk memperoleh barang yang dapat dipertukarkan satu sama lainnya dengan nilai pertukaran yang seimbang atau hampir sama nilainya. Untuk mengatasinya, mulailah timbul pikiran-pikiran untuk menggunakan benda-benda tertentu untuk digunakan sebagai alat tukar. Benda-benda yang ditetapkan sebagai alat pertukaran itu adalah benda-benda yang diterima oleh umum (generally accepted), benda-benda yang dipilih bernilai tinggi (sukar diperoleh atau memiliki nilai magis dan mistik), atau benda-benda yang merupakan kebutuhan primer sehari-hari; misalnya garam yang oleh orang Romawi digunakan sebagai alat tukar maupun sebagai alat pembayaran upah. Pengaruh orang Romawi tersebut masih terlihat sampai sekarang; orang Inggris menyebut upah sebagai salary yang berasal dari bahasa Latin salarium yang berarti garam.
Meskipun alat tukar sudah ada, kesulitan dalam pertukaran tetap ada. Kesulitan-kesulitan itu antara lain karena benda-benda yang dijadikan alat tukar belum mempunyai pecahan sehingga penentuan nilai uang, penyimpanan (storage), dan pengangkutan (transportation) menjadi sulit dilakukan serta timbul pula kesulitan akibat kurangnya daya tahan benda-benda tersebut sehingga mudah hancur atau tidak tahan lama.
Kemudian muncul apa yang dinamakan dengan uang logam. Logam dipilih sebagai alat tukar karena memiliki nilai yang tinggi sehingga digemari umum, tahan lama dan tidak mudah rusak, mudah dipecah tanpa mengurangi nilai, dan mudah dipindah-pindahkan. Logam yang dijadikan alat tukar karena memenuhi syarat-syarat tersebut adalah emas dan perak. Uang logam emas dan perak juga disebut sebagai uang penuh (full bodied money). Artinya, nilai intrinsik (nilai bahan) uang sama dengan nilai nominalnya (nilai yang tercantum pada mata uang tersebut). Pada saat itu, setiap orang berhak menempa uang, melebur, menjual atau memakainya, dan mempunyai hak tidak terbatas dalam menyimpan uang logam.
Sejalan dengan perkembangan perekonomian, timbul kesulitan ketika perkembangan tukar-menukar yang harus dilayani dengan uang logam bertambah sementara jumlah logam mulia (emas dan perak) sangat terbatas. Penggunaan uang logam juga sulit dilakukan untuk transaksi dalam jumlah besar sehingga diciptakanlah uang kertas
Mula-mula uang kertas yang beredar merupakan bukti-bukti pemilikan emas dan perak sebagai alat/perantara untuk melakukan transaksi. Dengan kata lain, uang kertas yang beredar pada saat itu merupakan uang yang dijamin 100% dengan emas atau perak yang disimpan di pandai emas atau perak dan sewaktu-waktu dapat ditukarkan penuh dengan jaminannya. Pada perkembangan selanjutnya, masyarakat tidak lagi menggunakan emas (secara langsung) sebagai alat pertukaran. Sebagai gantinya, mereka menjadikan 'kertas-bukti' tersebut sebagai alat tukar.
Sejarah uang sejak ribuan tahun. Pengetahuan tentang pengumpulan mata uang adalah studi ilmiah uang dan sejarahnya dalam segala bentuknya.
Banyak artikel telah digunakan sebagai uang komoditas seperti logam mulia alami langka, cowrie, barley, mutiara, dll, serta banyak hal lainnya yang dipandang sebagai memiliki nilai.
uang Modern (dan uang lama) pada dasarnya adalah tanda - abstraksi dengan kata lain, sebuah. Kertas mata uang mungkin merupakan jenis yang paling umum saat ini uang fisik. Namun, benda-benda emas dan perak memiliki sifat penting banyak uang.
Non-moneter tukar: barter dan hadiah
Berlawanan dengan konsepsi populer, tidak ada bukti dari masyarakat atau ekonomi yang bergantung terutama pada barter. Sebaliknya, masyarakat non-moneter dioperasikan sebagian besar di bawah prinsip-prinsip ekonomi hadiah. Ketika barter benar-benar terjadi, itu umumnya antara dua orang asing, atau musuh yang potensial.
Dengan barter, seseorang dengan objek material nilai, sebagai ukuran butiran, langsung bisa pertukaran objek untuk objek lain dianggap memiliki nilai yang sama, seperti binatang kecil, pot tanah liat atau alat. Kemampuan untuk melakukan transaksi sangat terbatas karena bergantung pada beberapa kebetulan inginkan. Penjual foodgrains harus mencari pembeli yang ingin membeli gandum dan juga bisa menawarkan sesuatu sebagai imbalan, penjual ingin membeli. Tidak ada media pertukaran umum di mana penjual dan pembeli dapat mengubah barang-barang yang bisa diperdagangkan mereka. Tidak ada standar yang dapat diterapkan untuk mengukur nilai relatif dari berbagai barang dan jasa.
Dalam perekonomian hadiah, barang dan jasa yang berguna secara teratur diberikan tanpa persetujuan eksplisit untuk hadiah atau masa depan (yaitu tidak ada formal pound pro quo). Idealnya, simultan atau rutin memberikan berfungsi untuk mengedarkan dan mendistribusikan barang-barang berharga dalam masyarakat.
Ada beberapa teori tentang ekonomi sosial hadiah. Beberapa melihat sumbangan sebagai bentuk altruisme timbal balik. Interpretasi lain adalah bahwa status sosial diberikan sebagai imbalan untuk "hadiah". Perhatikan, misalnya, pembagian makanan di beberapa masyarakat pemburu-pengumpul, dimana berbagi makanan adalah suatu perlindungan terhadap kegagalan mencari makan sehari-hari setiap individu. Kebiasaan ini mungkin mencerminkan altruisme, dapat menjadi bentuk asuransi informal, atau dapat membawa dengan itu status sosial atau keuntungan lainnya.
Munculnya uang
peradaban Mesopotamia mengembangkan ekonomi yang didasarkan pada komoditas uang skala besar. Orang Babel dan negara-negara tetangga mereka kota kemudian mengembangkan sistem pertama ekonomi daripada yang kita pikirkan saat ini dalam hal aturan tentang utang, hukum kontrak dan kode hukum yang berkaitan dengan praktek-praktek komersial dan milik pribadi . Uang itu bukan hanya penampilan, itu adalah sebuah kebutuhan.
Kode Kode Hammurabi UU ca terbaik diawetkan kuno, telah dibuat. 1760 SM (kronologi tengah) di Babel kuno. Hal ini diadopsi oleh raja Babel keenam, Hammurabi. Sebelumnya koleksi hukum termasuk Kode Ur-Nammu, raja Ur (ca. 2050 SM), Kode Eshnunna (ca. 1930 SM) dan Kode Lipit-Ishtar dari Isin (sekitar 1870 sebelum JC). Kode-kode hukum formal peranan uang dalam masyarakat sipil. Mereka memperbaiki jumlah bunga atas utang ... denda untuk 'malpraktik' ... dan kompensasi moneter untuk pelanggaran hukum formal.
The Shekel referensi untuk sebuah unit kuno berat dan mata uang. Penggunaan pertama istilah ini berasal dari Mesopotamia sekitar 3000 SM. dan kembali ke massa jenis jelai yang nilai-nilai lain yang terkait dalam metrik tembaga dll seperti perak, jelai perunggu, / syikal pada awalnya kedua unit dan satu unit mata uang berat, karena pound sterling awalnya unit denominasi massa satu pon perak.
Dengan tidak adanya alat tukar, masyarakat non-moneter dioperasikan sebagian besar di bawah prinsip-prinsip ekonomi hadiah.
komoditas uang
Barter memiliki beberapa masalah, termasuk bahwa itu memerlukan suatu "kebetulan inginkan." Misalnya, jika seorang petani gandum membutuhkan apa petani menghasilkan buah-buahan, pertukaran langsung adalah mustahil untuk buah musiman akan merusak sebelum panen. Salah satu solusinya adalah untuk perdagangan buah dari gandum secara tidak langsung oleh komoditas, ketiga "menengah",: buah dipertukarkan untuk produk setengah jadi ketika buah matang. Jika ini komoditas menengah tidak menuntut binasa dan dapat diandalkan sepanjang tahun (misalnya tembaga, emas, atau anggur), maka dapat ditukar dengan gandum setelah panen. Fungsi dari komoditas menengah sebagai penyimpan nilai dapat dibakukan dalam uang komoditas umum, mengurangi kebetulan ingin masalah. Dengan mengatasi keterbatasan barter sederhana, uang komoditi membuat pasar di semua lain yang lebih likuid.
Banyak kebudayaan di seluruh dunia kemudian mengembangkan penggunaan uang komoditas. Kuno China dan Afrika yang digunakan cowrie. Perdagangan dalam sistem feodal Jepang didirikan pada koku - unit beras per tahun. syikal ini adalah unit kuno berat dan mata uang. Penggunaan pertama istilah ini berasal dari Mesopotamia sekitar 3000 SM dan disebut berat tertentu jelai, nilai-nilai lain dalam metrik tembaga dll seperti perak, jelai perunggu, / syikal berada di awalnya kedua unit mata uang dan satuan berat.
Dimana perdagangan umum, sistem barter biasanya memimpin cukup cepat untuk beberapa produk utama disebabkan kebajikan uang . Di koloni Inggris awal New South Wales, rum muncul cukup segera setelah penyelesaian bahwa produk-produk pasar uang paling banyak. Ketika suatu negara merupakan mata uang tanpa sering mengadopsi mata uang asing. Dalam penjara di mana uang konvensional dilarang, sangat umum untuk rokok untuk mengambil kualitas moneter, dan sepanjang sejarah, emas telah membuat fungsi moneter tidak resmi.
standar mata uang
Secara historis, logam, jika ada, umumnya telah menguntungkan untuk digunakan sebagai uang-proto pada produk seperti sapi, cowrie, atau garam, karena mereka berdua tahan lama, portabel, dan mudah dibagi. Penggunaan emas sebagai proto-uang telah ditelusuri kembali ke milenium keempat SM ketika orang Mesir digunakan emas batangan dengan berat didefinisikan sebagai alat tukar, seperti yang telah dilakukan sebelumnya di Mesopotamia dengan bar perak. Penguasa pertama yang telah resmi didirikan standar untuk bobot dan uang Pheidon . Koin pertama dicap (ditandai dengan otoritas dalam bentuk gambar atau kata-kata) dapat dilihat di Perpustakaan Nasional di Paris. Ini adalah stater dari elektrum sepotong kura-kura, ditemukan di pulau Aegina. Ini bagian yang luar biasa tanggal sekitar 700 SM . koin elektrum juga diperkenalkan sekitar 650 SM di Lydia.
Koin telah banyak diadopsi di seluruh Ionia dan Yunani daratan selama abad ke-6 SM, akhirnya menimbulkan SM Kekaisaran Athena pada abad ke-5, dominasi daerah melalui ekspor mereka keping perak, ditambang di selatan Attica dan Thorikos Laurion. Sebuah penemuan utama dari perak di vena Laurion di 483 SM menyebabkan ekspansi besar militer armada Athena. bersaing standar koin pada waktu itu dikelola oleh Phocaea Mytilene dan bagian penggunaan elektrum; Aegina digunakan perak.
Ini adalah penemuan batu ujian yang membuka jalan bagi mata uang berbasis komoditas dan koin logam. logam lunak dapat diuji untuk kemurnian batu ujian, untuk cepat menghitung total kandungan logam menjadi satu. Emas adalah logam lunak, yang juga sulit untuk menemukan, padat, dan storable. Akibatnya, emas moneter menyebar sangat cepat dari Asia Kecil, di mana ia mendapat dipakai secara luas di seluruh dunia.
Menggunakan sistem tersebut masih diperlukan beberapa langkah dan perhitungan matematis. Batu ujian untuk memperkirakan jumlah emas di suatu paduan, yang kemudian dikalikan dengan berat menemukan jumlah emas dalam satu potong. Untuk memfasilitasi proses ini, konsep mata uang standar diperkenalkan. Kamar telah dipra-ditimbang dan pra-paduan, selama produsen itu menyadari asal koin, tidak menggunakan batu ujian diwajibkan. Koin yang dicetak oleh pemerintah secara umum dalam proses hati-hati dilindungi, dan kemudian dicap dengan lambang yang dijamin berat dan nilai logam. Namun itu sangat umum bagi pemerintah untuk berpendapat bahwa nilai dana tersebut adalah lambang, dan dengan demikian semakin mengurangi nilai mata uang dengan menurunkan kandungan logam mulia.
Meskipun emas dan perak telah umum digunakan untuk koin, logam lain dapat digunakan. Sebagai contoh, Sparta kuno koin dilebur dari besi untuk mencegah warga dari terlibat dalam perdagangan luar negeri. Pada awal abad ketujuh belas Swedia tidak memiliki logam yang lebih mulia dan jika "piring uang" produk, yang lembaran besar dari tembaga sekitar 50 cm atau lebih panjang dan lebar, tepat cap dengan indikasi nilai.
bagian dari logam mulia memiliki keuntungan menghasilkan nilai dalam koin sendiri - di sisi lain, mereka diinduksi manipulasi: pemotongan bagian dalam upaya untuk mendapatkan dan mendaur ulang logam mulia. Sebuah masalah besar adalah co-eksistensi simultan emas, perak dan koin tembaga di Eropa. Inggris dan Spanyol nilai pedagang emas lebih dari koin perak, seperti banyak dari tetangga mereka lakukan, yang menyatakan bahwa orang Inggris Guinea koin emas yang berisi mulai bangkit melawan mahkota perak Inggris yang berbasis di tahun 1670 dan 1680. Oleh karena itu, uang itu akhirnya dihapus ke Inggris untuk meragukan jumlah emas masuk ke dalam negeri dengan kecepatan yang ada saham negara lain Eropa. Efek ini diperparah dengan para pedagang Asia tidak berbagi apresiasi emas sekaligus Eropa -. Emas dan perak meninggalkan Asia meninggalkan Eropa dalam jumlah pemantau Eropa seperti Isaac Newton, Direktur Mint telah mengamati dengan perhatian.
Stabilitas telah datang ke dalam sistem dengan perbankan nasional yang menjamin untuk mengubah uang ke emas pada tingkat yang dijanjikan, belum ada mudah. Risiko Bank of England bencana keuangan nasional di 1730s ketika pelanggan meminta uang mereka akan berubah menjadi emas dalam waktu krisis. Akhirnya, pedagang London menyelamatkan bank dan bangsa dengan jaminan keuangan.
Langkah lain dalam evolusi mata uang koin berubah adalah satuan berat menjadi unit nilai. pembedaan bisa dibuat antara nilai komoditi dan nilainya secara tunai. Perbedaannya adalah nilai-nilai ini adalah seigniorage.
Perkembangan selanjutnya mengahadapkan manusia pada kenyataan bahwa apa yang diproduksi sendiri ternyata tidak cukup untuk memenuhui seluruh kebutuhannya. Untuk memperoleh barang-barang yang tidak dapat dihasilkan sendiri, mereka mencari orang yang mau menukarkan barang yang dimiliki dengan barang lain yang dibutuhkan olehnya. Akibatnya muncullah sistem barter', yaitu barang yang ditukar dengan barang.
Namun pada akhirnya, banyak kesulitan-kesulitan yang dirasakan dengan sistem ini. Di antaranya adalah kesulitan untuk menemukan orang yang mempunyai barang yang diinginkan dan juga mau menukarkan barang yang dimilikinya serta kesulitan untuk memperoleh barang yang dapat dipertukarkan satu sama lainnya dengan nilai pertukaran yang seimbang atau hampir sama nilainya. Untuk mengatasinya, mulailah timbul pikiran-pikiran untuk menggunakan benda-benda tertentu untuk digunakan sebagai alat tukar. Benda-benda yang ditetapkan sebagai alat pertukaran itu adalah benda-benda yang diterima oleh umum (generally accepted), benda-benda yang dipilih bernilai tinggi (sukar diperoleh atau memiliki nilai magis dan mistik), atau benda-benda yang merupakan kebutuhan primer sehari-hari; misalnya garam yang oleh orang Romawi digunakan sebagai alat tukar maupun sebagai alat pembayaran upah. Pengaruh orang Romawi tersebut masih terlihat sampai sekarang; orang Inggris menyebut upah sebagai salary yang berasal dari bahasa Latin salarium yang berarti garam.
Meskipun alat tukar sudah ada, kesulitan dalam pertukaran tetap ada. Kesulitan-kesulitan itu antara lain karena benda-benda yang dijadikan alat tukar belum mempunyai pecahan sehingga penentuan nilai uang, penyimpanan (storage), dan pengangkutan (transportation) menjadi sulit dilakukan serta timbul pula kesulitan akibat kurangnya daya tahan benda-benda tersebut sehingga mudah hancur atau tidak tahan lama.
Kemudian muncul apa yang dinamakan dengan uang logam. Logam dipilih sebagai alat tukar karena memiliki nilai yang tinggi sehingga digemari umum, tahan lama dan tidak mudah rusak, mudah dipecah tanpa mengurangi nilai, dan mudah dipindah-pindahkan. Logam yang dijadikan alat tukar karena memenuhi syarat-syarat tersebut adalah emas dan perak. Uang logam emas dan perak juga disebut sebagai uang penuh (full bodied money). Artinya, nilai intrinsik (nilai bahan) uang sama dengan nilai nominalnya (nilai yang tercantum pada mata uang tersebut). Pada saat itu, setiap orang berhak menempa uang, melebur, menjual atau memakainya, dan mempunyai hak tidak terbatas dalam menyimpan uang logam.
Sejalan dengan perkembangan perekonomian, timbul kesulitan ketika perkembangan tukar-menukar yang harus dilayani dengan uang logam bertambah sementara jumlah logam mulia (emas dan perak) sangat terbatas. Penggunaan uang logam juga sulit dilakukan untuk transaksi dalam jumlah besar sehingga diciptakanlah uang kertas
Mula-mula uang kertas yang beredar merupakan bukti-bukti pemilikan emas dan perak sebagai alat/perantara untuk melakukan transaksi. Dengan kata lain, uang kertas yang beredar pada saat itu merupakan uang yang dijamin 100% dengan emas atau perak yang disimpan di pandai emas atau perak dan sewaktu-waktu dapat ditukarkan penuh dengan jaminannya. Pada perkembangan selanjutnya, masyarakat tidak lagi menggunakan emas (secara langsung) sebagai alat pertukaran. Sebagai gantinya, mereka menjadikan 'kertas-bukti' tersebut sebagai alat tukar.
Sejarah uang sejak ribuan tahun. Pengetahuan tentang pengumpulan mata uang adalah studi ilmiah uang dan sejarahnya dalam segala bentuknya.
Banyak artikel telah digunakan sebagai uang komoditas seperti logam mulia alami langka, cowrie, barley, mutiara, dll, serta banyak hal lainnya yang dipandang sebagai memiliki nilai.
uang Modern (dan uang lama) pada dasarnya adalah tanda - abstraksi dengan kata lain, sebuah. Kertas mata uang mungkin merupakan jenis yang paling umum saat ini uang fisik. Namun, benda-benda emas dan perak memiliki sifat penting banyak uang.
Non-moneter tukar: barter dan hadiah
Berlawanan dengan konsepsi populer, tidak ada bukti dari masyarakat atau ekonomi yang bergantung terutama pada barter. Sebaliknya, masyarakat non-moneter dioperasikan sebagian besar di bawah prinsip-prinsip ekonomi hadiah. Ketika barter benar-benar terjadi, itu umumnya antara dua orang asing, atau musuh yang potensial.
Dengan barter, seseorang dengan objek material nilai, sebagai ukuran butiran, langsung bisa pertukaran objek untuk objek lain dianggap memiliki nilai yang sama, seperti binatang kecil, pot tanah liat atau alat. Kemampuan untuk melakukan transaksi sangat terbatas karena bergantung pada beberapa kebetulan inginkan. Penjual foodgrains harus mencari pembeli yang ingin membeli gandum dan juga bisa menawarkan sesuatu sebagai imbalan, penjual ingin membeli. Tidak ada media pertukaran umum di mana penjual dan pembeli dapat mengubah barang-barang yang bisa diperdagangkan mereka. Tidak ada standar yang dapat diterapkan untuk mengukur nilai relatif dari berbagai barang dan jasa.
Dalam perekonomian hadiah, barang dan jasa yang berguna secara teratur diberikan tanpa persetujuan eksplisit untuk hadiah atau masa depan (yaitu tidak ada formal pound pro quo). Idealnya, simultan atau rutin memberikan berfungsi untuk mengedarkan dan mendistribusikan barang-barang berharga dalam masyarakat.
Ada beberapa teori tentang ekonomi sosial hadiah. Beberapa melihat sumbangan sebagai bentuk altruisme timbal balik. Interpretasi lain adalah bahwa status sosial diberikan sebagai imbalan untuk "hadiah". Perhatikan, misalnya, pembagian makanan di beberapa masyarakat pemburu-pengumpul, dimana berbagi makanan adalah suatu perlindungan terhadap kegagalan mencari makan sehari-hari setiap individu. Kebiasaan ini mungkin mencerminkan altruisme, dapat menjadi bentuk asuransi informal, atau dapat membawa dengan itu status sosial atau keuntungan lainnya.
Munculnya uang
peradaban Mesopotamia mengembangkan ekonomi yang didasarkan pada komoditas uang skala besar. Orang Babel dan negara-negara tetangga mereka kota kemudian mengembangkan sistem pertama ekonomi daripada yang kita pikirkan saat ini dalam hal aturan tentang utang, hukum kontrak dan kode hukum yang berkaitan dengan praktek-praktek komersial dan milik pribadi . Uang itu bukan hanya penampilan, itu adalah sebuah kebutuhan.
Kode Kode Hammurabi UU ca terbaik diawetkan kuno, telah dibuat. 1760 SM (kronologi tengah) di Babel kuno. Hal ini diadopsi oleh raja Babel keenam, Hammurabi. Sebelumnya koleksi hukum termasuk Kode Ur-Nammu, raja Ur (ca. 2050 SM), Kode Eshnunna (ca. 1930 SM) dan Kode Lipit-Ishtar dari Isin (sekitar 1870 sebelum JC). Kode-kode hukum formal peranan uang dalam masyarakat sipil. Mereka memperbaiki jumlah bunga atas utang ... denda untuk 'malpraktik' ... dan kompensasi moneter untuk pelanggaran hukum formal.
The Shekel referensi untuk sebuah unit kuno berat dan mata uang. Penggunaan pertama istilah ini berasal dari Mesopotamia sekitar 3000 SM. dan kembali ke massa jenis jelai yang nilai-nilai lain yang terkait dalam metrik tembaga dll seperti perak, jelai perunggu, / syikal pada awalnya kedua unit dan satu unit mata uang berat, karena pound sterling awalnya unit denominasi massa satu pon perak.
Dengan tidak adanya alat tukar, masyarakat non-moneter dioperasikan sebagian besar di bawah prinsip-prinsip ekonomi hadiah.
komoditas uang
Barter memiliki beberapa masalah, termasuk bahwa itu memerlukan suatu "kebetulan inginkan." Misalnya, jika seorang petani gandum membutuhkan apa petani menghasilkan buah-buahan, pertukaran langsung adalah mustahil untuk buah musiman akan merusak sebelum panen. Salah satu solusinya adalah untuk perdagangan buah dari gandum secara tidak langsung oleh komoditas, ketiga "menengah",: buah dipertukarkan untuk produk setengah jadi ketika buah matang. Jika ini komoditas menengah tidak menuntut binasa dan dapat diandalkan sepanjang tahun (misalnya tembaga, emas, atau anggur), maka dapat ditukar dengan gandum setelah panen. Fungsi dari komoditas menengah sebagai penyimpan nilai dapat dibakukan dalam uang komoditas umum, mengurangi kebetulan ingin masalah. Dengan mengatasi keterbatasan barter sederhana, uang komoditi membuat pasar di semua lain yang lebih likuid.
Banyak kebudayaan di seluruh dunia kemudian mengembangkan penggunaan uang komoditas. Kuno China dan Afrika yang digunakan cowrie. Perdagangan dalam sistem feodal Jepang didirikan pada koku - unit beras per tahun. syikal ini adalah unit kuno berat dan mata uang. Penggunaan pertama istilah ini berasal dari Mesopotamia sekitar 3000 SM dan disebut berat tertentu jelai, nilai-nilai lain dalam metrik tembaga dll seperti perak, jelai perunggu, / syikal berada di awalnya kedua unit mata uang dan satuan berat.
Dimana perdagangan umum, sistem barter biasanya memimpin cukup cepat untuk beberapa produk utama disebabkan kebajikan uang . Di koloni Inggris awal New South Wales, rum muncul cukup segera setelah penyelesaian bahwa produk-produk pasar uang paling banyak. Ketika suatu negara merupakan mata uang tanpa sering mengadopsi mata uang asing. Dalam penjara di mana uang konvensional dilarang, sangat umum untuk rokok untuk mengambil kualitas moneter, dan sepanjang sejarah, emas telah membuat fungsi moneter tidak resmi.
standar mata uang
Secara historis, logam, jika ada, umumnya telah menguntungkan untuk digunakan sebagai uang-proto pada produk seperti sapi, cowrie, atau garam, karena mereka berdua tahan lama, portabel, dan mudah dibagi. Penggunaan emas sebagai proto-uang telah ditelusuri kembali ke milenium keempat SM ketika orang Mesir digunakan emas batangan dengan berat didefinisikan sebagai alat tukar, seperti yang telah dilakukan sebelumnya di Mesopotamia dengan bar perak. Penguasa pertama yang telah resmi didirikan standar untuk bobot dan uang Pheidon . Koin pertama dicap (ditandai dengan otoritas dalam bentuk gambar atau kata-kata) dapat dilihat di Perpustakaan Nasional di Paris. Ini adalah stater dari elektrum sepotong kura-kura, ditemukan di pulau Aegina. Ini bagian yang luar biasa tanggal sekitar 700 SM . koin elektrum juga diperkenalkan sekitar 650 SM di Lydia.
Koin telah banyak diadopsi di seluruh Ionia dan Yunani daratan selama abad ke-6 SM, akhirnya menimbulkan SM Kekaisaran Athena pada abad ke-5, dominasi daerah melalui ekspor mereka keping perak, ditambang di selatan Attica dan Thorikos Laurion. Sebuah penemuan utama dari perak di vena Laurion di 483 SM menyebabkan ekspansi besar militer armada Athena. bersaing standar koin pada waktu itu dikelola oleh Phocaea Mytilene dan bagian penggunaan elektrum; Aegina digunakan perak.
Ini adalah penemuan batu ujian yang membuka jalan bagi mata uang berbasis komoditas dan koin logam. logam lunak dapat diuji untuk kemurnian batu ujian, untuk cepat menghitung total kandungan logam menjadi satu. Emas adalah logam lunak, yang juga sulit untuk menemukan, padat, dan storable. Akibatnya, emas moneter menyebar sangat cepat dari Asia Kecil, di mana ia mendapat dipakai secara luas di seluruh dunia.
Menggunakan sistem tersebut masih diperlukan beberapa langkah dan perhitungan matematis. Batu ujian untuk memperkirakan jumlah emas di suatu paduan, yang kemudian dikalikan dengan berat menemukan jumlah emas dalam satu potong. Untuk memfasilitasi proses ini, konsep mata uang standar diperkenalkan. Kamar telah dipra-ditimbang dan pra-paduan, selama produsen itu menyadari asal koin, tidak menggunakan batu ujian diwajibkan. Koin yang dicetak oleh pemerintah secara umum dalam proses hati-hati dilindungi, dan kemudian dicap dengan lambang yang dijamin berat dan nilai logam. Namun itu sangat umum bagi pemerintah untuk berpendapat bahwa nilai dana tersebut adalah lambang, dan dengan demikian semakin mengurangi nilai mata uang dengan menurunkan kandungan logam mulia.
Meskipun emas dan perak telah umum digunakan untuk koin, logam lain dapat digunakan. Sebagai contoh, Sparta kuno koin dilebur dari besi untuk mencegah warga dari terlibat dalam perdagangan luar negeri. Pada awal abad ketujuh belas Swedia tidak memiliki logam yang lebih mulia dan jika "piring uang" produk, yang lembaran besar dari tembaga sekitar 50 cm atau lebih panjang dan lebar, tepat cap dengan indikasi nilai.
bagian dari logam mulia memiliki keuntungan menghasilkan nilai dalam koin sendiri - di sisi lain, mereka diinduksi manipulasi: pemotongan bagian dalam upaya untuk mendapatkan dan mendaur ulang logam mulia. Sebuah masalah besar adalah co-eksistensi simultan emas, perak dan koin tembaga di Eropa. Inggris dan Spanyol nilai pedagang emas lebih dari koin perak, seperti banyak dari tetangga mereka lakukan, yang menyatakan bahwa orang Inggris Guinea koin emas yang berisi mulai bangkit melawan mahkota perak Inggris yang berbasis di tahun 1670 dan 1680. Oleh karena itu, uang itu akhirnya dihapus ke Inggris untuk meragukan jumlah emas masuk ke dalam negeri dengan kecepatan yang ada saham negara lain Eropa. Efek ini diperparah dengan para pedagang Asia tidak berbagi apresiasi emas sekaligus Eropa -. Emas dan perak meninggalkan Asia meninggalkan Eropa dalam jumlah pemantau Eropa seperti Isaac Newton, Direktur Mint telah mengamati dengan perhatian.
Stabilitas telah datang ke dalam sistem dengan perbankan nasional yang menjamin untuk mengubah uang ke emas pada tingkat yang dijanjikan, belum ada mudah. Risiko Bank of England bencana keuangan nasional di 1730s ketika pelanggan meminta uang mereka akan berubah menjadi emas dalam waktu krisis. Akhirnya, pedagang London menyelamatkan bank dan bangsa dengan jaminan keuangan.
Langkah lain dalam evolusi mata uang koin berubah adalah satuan berat menjadi unit nilai. pembedaan bisa dibuat antara nilai komoditi dan nilainya secara tunai. Perbedaannya adalah nilai-nilai ini adalah seigniorage.
Langganan:
Postingan (Atom)