Mazhab-Mazhab Sesat
Sekarang, lebih banyak ulama yang gemar “mengeluarkan” orang dari Islam dibanding meng-Islamkannya (Cak Nun-Maiyah)
Maiyah Rebo Legi Bersama: Cak Fuad, Cak Nun dkkJM
Hari beranjak siang tatkala Cak Fuad memulai obrolan. Matahari awal
musim hujan tidak terlampau menyengat. Kami mengawali obrolan dengan
tema ringan hingga tanpa sadar akhirnya memasuki isu-isu “serius” yang
membuat bulir-bulir keringat kerja bakti Mas Azzam Masai berubah
menjadi hujan. Kemudian, sampailah diskusi pada refrain: ”Menurut
pengalaman di berbagai tempat mengisi kajian,” demikian Cak Fuad,” jika
sedikit saja isi kajian saya menguntungkan pihak Syiah maka dengan
segera saya dianggap membela syiah. Demikian pula saat saya mengisi
kajian di tempat lain, jika sedikit saja isi kajian itu dianggap
menguntungkan kelompok yang tidak mereka kehendaki, maka dengan segera
mereka mengatakan saya membela A, B, C dan seterusnya. Uniknya, jika
sedang mengisi kajian di kelompok A saya dianggap membela B. Sementara
di kelompok B, saya dianggap membela kelompok A,” Cak Fuad tertawa
kecil.
Jadi kukira, lebih kurang skenario mainstream ummat Islam seperti
ini Kawan: Sepeninggal Rosulullah, setiap kelompok memiliki cara
pandang/ tafsirnya sendiri atas al Qur’an, Sunnah, Hadits Nabi dan
sejarah peradaban Islam. Ada sebagian kelompok yang memandang bahwa
Islam itu harus mutlak-tlak seperti zaman Rosulullah. Baik itu
sholatnya, wudhunya, cara membaca Qur’an, cara berpakaian, cara makan
hingga cara bepergian. Maka jangan heran jika sekarang ada seorang
ustadz yang mengaku kepada saya kalau,”Fokus saya sekarang ini adalah
melakukan training wudhu dimana-mana. Kemarin saya mengisi training
wudhu di Kediri. Di gedung A. Pesertanya banyak. Sekarang akan saya
kembangkan ke kota-kota lain.” Begitu aku sang ustadz dengan gagah.
Kelompok ini biasanya mengurus soal ibadah mahdoh sampai ke tingkat
yang sangat detil dan memandang kejayaan Islam itu ada di masa lalu.
Sehingga, pendekatannya juga cenderung melulu pada soal-soal ibadah
mahdoh serta sifatnya individual.
Ada pula kelompok yang memandang Islam itu mutlak seperti zaman
Rosulullah dalam “spiritnya”. Misalnya jika Rosulullah mengenakan jubah
diatas mata kaki, itu spiritnya untuk melawan kesombongan penduduk
Mekkah yang suka bersombong-sombong dengan memperpanjang jubahnya hingga
menyeret tanah. Jadi, yang semestinya diambil sebagai pelajaran adalah
spiritnya, yaitu: tidak menyombongkan diri dengan pakaian atau dengan
media apa pun. Bukan pada bentuk pakaiannya.
Sedangkan kelompok yang lain memisahkan antara Islam dan Budaya
Arab masa itu. Misalnya jika Rosulullah bepergian dengan mengendarai
onta, maka sekarang tidak harus mengendarai onta. Jika masa Rosulullah
azan tidak pakai pengeras suara, itu karena dulu belum ada. Dan jika
Rosulullah mengenakan jubah dan surban, itu bukan karena jubah dan
surban adalah identitas Islam, tapi karena itu merupakan budaya Arab
saat Rosulullah hidup bahkan hingga sekarang. Sebab, Abu Jahal, Abu
Lahab, Abu Sufyan dan seluruh orang kafir Mekkah juga mengenakan jubah
dan surban yang sama dengan yang dikenakan Rosulullah.
Semakin jauh dari masa Rosulullah, semakin banyak dan semakin mekar
perbedaan cara pandang atas ajaran Islam. Bisa jadi, sebetulnya tidak
jadi masalah berbeda dalam cara pandang asalkan tidak sampai ke level
akidah. Tapi, perbedaan cara pandang itu kemudian menimbulkan keretakan
diantara ummat Islam sendiri karena paling sedikit dua hal. Pertama,
ummat Islam tidak belajar dengan serius dan kritis agar mengetahui
mana wilayah akidah yang tidak boleh berubah sama sekali dan mana
wilayah tafsir yang bisa berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Sedangkan yang kedua, dari ketidakseriusan dan ketidakkritisan
belajar itu, lahir cara pandang mata kuda. Sehingga, apa pun yang tidak
sesuai dengan apa yang dia pelajari akhirnya dianggap “sesat”. Baik itu
sesat di satu meter pertama, sesat dikilometer pertama maupun sesat
yang sudah ratusan kilometer.
Karena itulah perlu dikaji ulang agar kita menemukan titik yang
tepat dimanakah letak “kilometer nol sesat” itu. Jangan-jangan, kita
semua ini dengan apa yang telah kita yakini dan jalankan sebenarnya
termasuk golongan “sesat”. Karena sesungguhnya, yang diharapkan Allah
itu bukan bagaimana cara wudhumu, cara sholatmu, cara puasamu. Bukan
pada berapa ribu kali engkau mengkhatamkan Al Qur’an dalam satu tahun
atau bagaimana tafsirmu atas al Qur’an dan kehidupan Rosulullah, dst.
“Tapi, apakah selama kamu hidup di muka bumi ini benar-benar kau
kerahkan seluruh energi dan potensi yang kau miliki untuk berlari
menuju AKU atau sebenarnya engkau berlari mengejar nafsu(baca:
surga)mu sendiri, sehingga sejatinya AKU tidak penting bagimu.”