Cari Blog Ini

Jumat, 24 Agustus 2012

scale gitar













agama dan kekerasan


Agama, Perbedaan dan Kekerasan
Ditulis pada 13/08/2012 oleh Saratri Wilonoyudho
Ada sebuah anekdot. Syahdan dua orang sahabat karib, yakni yang satu seorang pendeta, satunya lagi ustadz. Karena saking asyiknya bekerjasama dalam urusan kebaikan dunia, mereka tidak sempat memahami ritual agama masing-masing. Pada suatu hari keduanya naik pesawat. Ketika di dalam pesawat di atas langit ada petir menyambar, pak pendeta kaget dan berucap :”haleluyah”. Pak ustadz di sebelahnya dengan lugunya “membetulkan” ucapan pak pendeta. Bukan, itu halilintar, bukan haleluyah. Pak pendeta senyum menanggapi sahabatnya.
Ketika pesawat turun, keduanya dijemput bus bandara. Sebelum kaki melangkah naik bus, pak ustadz berujar :”bismilllah”. Pak pendeta dengan lugunya juga “membetulkan” ucapan sahabatnya. Bukan pak ustadz, ini bukan bismillah, namun Bis DAMRI. Pak ustadz juga tersenyum. Keduanya tidak sadar dengan kesalahpahaman memahami ritual agama masing-masing, dan mereka tetap bersahabat.
Karena bagi Islam “Bagiku agamaku dan bagimu agamamu”, dan bagi pak pendeta, hidup adalah melayani sesama dengan cinta kasih. Singkatnya nggak ada masalah. Toleransi itu ialah ketika seekor kucing masuk kandang kambing tidak harus memaksakan diri mengembik dan sebaliknya. Pokoknya urusan agama adalah urusan pribadi dengan Tuhannya. Agama ibarat “isteri” yang tidak dapat dibandingkan satu dengan yang lainnya, demikian kata Cak Nun.
Orang beragama kata Freud bapak psikoanalisis, sering berada dalam suasana “perasaan ketergantungan” (the feeling of  powerlessness) yang membuat orang beragama sulit mencapai kedewasaan beragama karena gagal membangun otonomi dalam dirinya sebagai manusia. Perasaan tersebut berlainan dengan orang yang berhasil membangun “religius feeling” yang mampu mengembangkan ritual keberagamaan menjadi konkret dan mencapai “peragian rohani” dengan  mengembangkan dirinya menjadi khalifah di muka bumi. Keadilan, kebenaran, cinta kasih, persaudaraan, dst terus dikembangkan.
Agama atau sistem kepercayaan pada dasarnya adalah pengalaman batin seseorang yang sifatnya subyektif karena penuh tafsiran (inner state or subjective experience). Permasalahannya daya dorong atau daya himbau ajaran agama yang sudah ditafsirkan tersebut selalu saja menumbuhkan fanatisme sehingga para pengikutnya akan berusaha “mati-matian” untuk mengobyektifkannya di dunia nyata.
Karenanya Joachim Wach pernah bilang bahwa setiap kemunculan sistem kepercayaan baru, atau tafsir baru, pastilah akan diikuti oleh penciptaan dunia baru dimana konsep-konsep dan kelembagaan lama akan kehilangan makna dan alasan dasar kehadirannya (Ali,1988).
Dari titik inilah agama atau kepercayaan membangun basis perkauman dan memberikan struktur rohani, intelektual serta kebudayaan. Kesemuanya elemen ini akan mengintegrasikan setiap kelompok masyarakat yang saling berbeda dan memiliki pandangan dan sistem kepercayaan yang sama.
Pengelompokan dan daya himbau berdasarkan tafsir dan “klaim kebenaran” inilah yang sering menimbulkan krisis dan bentrokan antar pengikut agama atau kepercayaan. Fakta ini sudah lama diamati oleh Geertz yang mengatakan bahwa agama itu bukanlah kesimpulan dari realitas, namun mendahului realitas itu sendiri. Karenanya unsur determinasi mutlak dan tidak mau berdamai dengan realitas, merupakan karakter dasar dari agama.
Kekerasan atas nama agama akan selalu berulang. Pada tahun 2009 Setara Institute mencatat 200 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan yang mengandung 291 jenis tindakan. Terdapat 10 wilayah dengan tingkat pelanggaran tertinggi yaitu, Jawa Barat (57 peristiwa), Jakarta (38 peristiwa), Jawa Timur (23 peristiwa), Banten (10 peristiwa), Nusa Tenggara Barat (9 peristiwa), Sumatera Selatan, Jawa Tengah, dan Bali masing-masing (8 peristiwa), dan berikutnya Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur masing-masing (7 peristiwa).
Dari 291 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan, terdapat 139 pelanggaran yang melibatkan negara sebagai aktornya, baik melalui 101 tindakan aktif negara (by commission), maupun 38 tindakan pembiaran yang dilakukan oleh negara (by omission). Tindakan pembiaran berupa 23 pembiaran aparat negara atas terjadinya kekerasan dan tindakan kriminal warga negara dan 15 pembiaran karena aparat negara tidak memproses secara hukum atas warga negara yang melakukan tindak pidana.
Bangsa ini sudah harus sadar bahwa penyempurnaan diri melalui transedensi terus menerus harus dilakukan, tidak dalam retorika  atau sosialisasi palsu, namun benar-benar melepaskan diri dari kotak primordialisme. Bentuk-bentuk primordialisme seperti partai, aliran, atau golongan, hanya boleh berhenti pada level metoda, dan bukan tujuan hidup. Indonesia sudah harus lebih bergerak cepat menjadi manusia pasca-partai, pasca-golongan, pasca-etnik, dan berbagai formalisme agama yang jauh dari nilai-nilai spiritual etik.
Masyarakat saat ini tengah berada dalam tingkat sensitivisme yang tinggi. Merebaknya kasus mafia hukum dan korupsi yang tak pernah tuntas, kesulitan hidup, kelangkaan kesempatan kerja, dan aneka kerusakan lingkungan lainnya menambah frustrasi masyarakat luas.Kegagalan negara dalam menegakkan hukum dalam berbagai bidang kehidupan akan semakin membuat frustrasi masyarakat, dan rasa frustrasi akan berubah menjadi agresivitas jika mendapatkan pemicunya. Karenanya pencegahan kekerasan harus simultan antara perbaikan kesejahteraan masyarakat, keadilan sosial, dan penegakkan hukum di segala bidang kehidupan. Jika satu diantaranya alpa, maka jangan harap kekerasan akan mudah dicegah.
http://www.caknun.com/2012/agama-perbedaan-dan-kekerasan/

Minggu, 19 Agustus 2012

cak nun


Kotbah Cak Nun:
Seandainya… kita sempat diberi peluang oleh Allah dikasih biaya untuk keliling dunia menyusur benua-benua, lautan dan semua dataran maupun gunung di seluruh permukaan bumi.
Atau paling tidak, kalau pada suatu hari kita bertemu dengan saudara-saudara kita sesama manusia yang berasal dari daerah-daerah yang bermacam-macam. Tanyakan kepadanya: Apakah di negerinya ada tanah sesubur tanah negeri kita? Apakah ada bumi yang bagaikan ibu hamil yang subur sebagaimana bumi nusantara kita? Tanyakan kepada mereka: apakah ada matahari yang se-sumringah matahari republik Indonesia? Tanyakan kepada mereka: apakah ada rerumputan yang riang gembira sebagaimana rerumputan di padang-padang kita? Tanyakan kepada mereka tentang kembang-kembang, bunga-bunga, pepohonan, angin, dan apa saja, apakah ada yang seindah Indonesia? Apakah ada yang sesubur Indonesia? Apakah ada yang.. sedahsyat Indonesia didalam memantulkan rahmat dan baroqah Allah SWT?
Betapa cintanya Allah kepada kita. Betapa sayangnya Allah kepada bangsa kita. Betapa beruntungnya kita dilahirkan di bumi pertiwi. Jadi kenapa sampai krisis seperti ini? Kenapa sampai kacau begini negeri kita? Mengapa kita berebut makanan, berebut kekuasaan, berebut apa saja seolah-olah kita adalah bangsa yang sangat miskin padahal kita bangsa yang sangat kaya raya?
Atau mungkin kita menjadi sangat malas.. karena sudah tersedia apapun saja di negeri ini? Dan tiba-tiba, kita menjumpai diri kita bertengkar satu sama lain. Bahkan berbunuhan satu sama lain. Memusnahkan satu sama lain. Me-nidak-kan satu sama lain. Membenci satu sama lain. Kenapa?
Apa yang salah dengan sistem budaya kita? Apa yang salah dengan sistem akal fikiran kita? Sistem politik kita, demokrasi kita, dan lain sebagainya, apa yang salah? Apakah kita bersedia untuk… melihat bahwa memang ada kesalahan-kesalahan yang sedang kita lakukan?
Saya yakin, sebagaimana suburnya tanah dan tanaman-tanaman di negeri ini, Allah juga memberi rahmat berupa kesuburan dan kecerdasan di akal kita, dan kesuburan cinta di dalam hati kita. Akan tetapi masalahnya.. kita bukan nggak punya ilmu untuk menyelesaikan masalah. Kita bukan tidak punya metode untuk mengurangi bentrokan-bentrokan. Kita bukan tidak punya solusi untuk mengakhiri kerusuhan-kerusuhan dan pembunuhan-pembunuhan.
Masalahnya adalah: kita mau atau tidak? Kita bersedia atau tidak? Untuk mengubah diri kita agar supaya tidak terus-menerus di atas udara negeri ini terLantunkan secara batiniah tembang-tembang kematian, kematian

saron


Saron
whiteline.gif (431 bytes)
The Saron instruments, together with the Gender instruments, usually play the melody part.   There are three types of Saron:
bluebullet.gif (1007 bytes)  Saron Demung
bluebullet.gif (1007 bytes)  Saron Barung
bluebullet.gif (1007 bytes)  Saron Panerus
Each type of Saron is tuned to two different tuning system: pelog and slendroPelog system has a seven-note scale while Slendro system has a five-note scale.   The Saron family usually have seven bars, whether in pelog or slendro.   In this case, Pelog Demung, Pelog Barung, and Pelog Panerus have all seven notes present, each bar is tuned to a different pitch.  While in Slendro Demung, Slendro Barung, and Slendro Panerus, there are still seven bars, in which two of the five slendro notes are duplicated at the octave.
All metal bars are placed on a wooden case which acted as a resonator.   At each end of the metal bar, a hole is drilled so that a pin can insert through the hole into the wooden case.  Between the metal bars and the wooden case, there are small squares of plaited rattan.  There is a hole in each plaited rattan so that the pins, which pass through the metal bars, can pass through these plaited rattans too.   The metal bars rest on these plaited rattan.  The purpose of these plaited rattan is to lift the metal bars above from the wooden case to avoid damping sound.   All bars are secured loosely onto the wooden case in this method.
The Saron's mallets are the only one in Javanese gamelan which are solely made of wood.  The wood head is in direct contact with the metal during playing.   Each saron need only one mallet. The player's right hand holds the mallet, while the other hand damps the metal bar.

http://www.seasite.niu.edu/indonesian/budaya_bangsa/gamelan/javanese_gamelan/metallophones/saron.htm

Jumat, 17 Agustus 2012

sudahkah kita merdeka

sudahkah kita merdeka di usia indonesia yang ke 67 ini...........
kemerdekaan merupakan cita2 bangsa
 cita-cita rakyat , cita bersama untuk kejayaan negeri
cita keadilan, kemakmuran, kesejahteraan, bebas dari rasa takut, bebas dari kebodohan dan bebas dari belenggu2 yang mengekang dan mengungkung

pendiri bangsa ini menginginkan kemerdekaan yang dapat dinikmati semua rakyat indonesia bukan oleh segelintir orang.

cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa haruslah dilanjutkan dan diupayakan untuk tercapainya kehidupan yang makmur

negara merupakan wadah dan cerminan sikap politik untuk tercapainya masyarakat yang sejahtera material dan spirituil

pemimpin dan lembaga negara juga seharusnya menjadi bagian untuk menjadi contoh yang baik dan bijaksana

namun

apakah sudah demikian bijaksana pemimpin2 kita
ada banyak pertanyaan apa, mengapa, bagaimana, kapan , dan seterusnya

mengapa demikian perilaku politik, pemimpin, moralitas dsb

apakah ukuran dari perilaku mereka merupakan tolak ukur moralitas, keserakahan, matrialisme historis dll

terlalu rumit menyatakan semuanya yang jelas

moral terlalu bobrok, perilaku korupsi yang kelewatan, kaburnya hitam dan putih tidak tegaknya hukum yang adil dsb




Jumat, 10 Agustus 2012

Hegel negara dan masyarakat

istilah masyarakat sipil bagi sebagian besar masyarakat Indonesia merupakan istilah baru. Tidak mengherankan bila banyak yang bertanya-tanya mengenai arti dari kata itu. Kenyataan ini bisa dimengerti mengingat demokrasi baru menjadi kenyataan setelah Orde Baru berhasil ditumbangkan.
Dalam rangka memahami makna masyarakat sipil (civil society) itu perlu ditelusuri pemaknaannya dari sejarah pemikiran terdahulu. Penelusuran pengartian civil society tidak bisa dilepaskan dari pemikiran negara karena keberadaan civil society erat terkait dengan konsep negara itu sendiri. Oleh karena itu pembicaraan mengenai civil society selalu dibarengi dengan pembicaraan mengenai negara.
Penelusuran pemikiran ini membatasi diri pada pemikiran Hegel, Karl Marx dan Antonio Gramsci. Pembahasan akan dimulai dari Hegel kemudian Marx dan terakhir Gramsci. Pengurutan pembahasan berdasarkan kronologi sejarah itu sendiri. Dalam pembahasan ini akan dicoba diperlihatkan pemikiran mana yang disangkal oleh pemikiran selanjutnya, pemikiran mana yang diterima atau dirumuskan kembali dengan pemikiran baru. Pada bagian akhir tulisan ini, diberikan kesimpulan yang berisi garis besar pembahasan tulisan dan kontribusi pemikiran-pemikiran tokoh ini bagi pemaknaan demokrasi.

HEGEL: NEGARA DAN MASYARAKAT SIPIL

A. Teori Dialektika Hegel

Pemikiran Hegel tidak bisa dilepaskan dalam dialektika antara tesis, antitesis dan sintesis. Dalam bukunya Philosphy of Right, negara dan masyarakat sipil ditempatkan dalam kerangka dialektika itu yaitu keluarga sebagai tesis, masyarakat sipil sebagai antitesis dan negara sebagai sintesis.[1]
Dialektika itu bertolak dari pemikiran Hegel bahwa keluarga merupakan tahap pertama akan adanya kehendak obyektif. Kehendak obyektif dalam keluarga itu terjadi karena cinta berhasil mempersatukan kehendak. Konsekuensinya, barang atau harta benda yang semula milik dari masing-masing individu menjadi milik bersama. Akan tetapi, keluarga mengandung antitesis yaitu ketika individu-individu (anak-anak) dalam keluarga telah tumbuh dewasa, mereka mulai meninggalkan keluarga dan masuk dalam kelompok individu-individu yang lebih luas yang disebut dengan masyarakat sipil (Civil Society). Individu-individu dalam masyarakat sipil ini mencari penghidupannya sendiri-sendiri dan mengejar tujuan hidupnya sendiri-sendiri. Negara sebagai institusi tertinggi mempersatukan keluarga yang bersifat obyektif dan masyarakat sipil yang bersifat subyektif atau partikular.[2]
Meskipun logika pemikiran Hegel nampak bersifat linear, namun Hegel tidak memaksudkannya demikian. Hegel memaksudkannya dalam kerangka dialektika antara tesis, antitesis dan sintesis.[3] Dalam kerangka teori dialektikanya ini, Hegel menempatkan masyarakat sipil di antara keluarga dan negara. Dengan kata lain, masyarakat sipil terpisah dari keluarga dan dari negara.
B. Masyarakat Sipil (Civil Society)
Masyarakat sipil bagi Hegel digambarkan sebagai masyarakat pasca Revolusi Perancis yaitu masyarakat yang telah diwarnai dengan kebebasan, terbebas dari belenggu feodalisme.[4] Dalam penggambaran Hegel ini, Civil Society adalah sebuah bentuk masyarakat dimana orang-orang di dalamnya bisa memilih hidup apa saja yang mereka suka dan memenuhi keinginan mereka sejauh mereka mampu. Negara tidak memaksakan jenis kehidupan tertentu kepada anggota Civil Society seperti yang terjadi dalam masyarakat feodal karena negara dan civil society terpisahkan.
Masyarakat sipil terdiri dari individu-individu yang masing-masing berdiri sendiri atau dengan istilah Hegel bersifat atomis.[5] Akibatnya, anggota dalam masyarakat sipil (civil society) tidak mampu mengobyektifkan kehendak dan kebebasan mereka. Kehendak dan kebebasan mereka bersifat subyektif-partikular. Meskipun demikian, masing-masing anggota dalam mengejar pemenuhan kebutuhannya saling berhubungan satu sama lain.[6] Civil society menjadi tempat pergulatan pemenuhan aneka kebutuhan dan kepentingan manusia yang menjadi anggotanya. Dalam kerangka penggambaran ini, masyarakat sipil adalah masyarakat yang bekerja. Karena kegiatan masyarakat sipil tidak dibatasi oleh negara, maka dalam masyarakat sipil terjadilah usaha penumpukan kekayaan yang intensif.[7]
Berkaitan dengan ciri kerja itu, masyarakat sipil ditandai dengan pembagian kelas sosial yang didasari pada pembagian kerja yaitu kelas petani, kelas bisnis dan kelas birokrat atau pejabat publik (public servants).[8] Kelas petani mengolah tanah dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarga-keluarga.[9] Kelas bisnis terdiri dari pengrajin, pengusaha manufaktur dan pedagang.[10] Kelas pelayan publik bertugas memelihara kepentingan umum komunitas masyarakat sipil.[11] Kelas pejabat publik ini bila ditinjau dari gaji yang diperoleh merupakan kelas dalam masyarakat sipil, tetapi bila ditinjau dari tugasnya, ia termasuk kelas eksekutif dalam negara. Jadi, kelas birokrat atau pejabat publik ini dalam pemikiran Hegel merupakan jembatan dari masyarakat sipil ke negara.
Masyarakat sipil adalah masyarakat yang terikat pada hukum. Hukum diperlukan karena anggota masyarakat sipil memiliki kebebasan, rasio dan menjalin relasi satu sama lain dengan sesama anggota masyarakat sipil itu sendiri dalam rangka pemenuhan kebutuhan mereka. Hukum merupakan pengarah kebebasan dan rasionalitas manusia dalam hubungan dengan sesama anggota masyarakat sipil. Tindakan yang melukai anggota masyarakat sipil merupakan tindakan yang tidak rasional.[12]
Ciri kerja dan sifat atomis dari masyarakat sipil ini menyebabkan masyarakat sipil lebih menyukai bantuan kepada orang miskin tidak melalui bantuan langsung tetapi dengan cara memberi pekerjaan kepada mereka sehingga akan meningkatkan produktifitas komunitas.[13] Hegel lebih lanjut mengatkaan bahwa pada titik tertentu masyarakat sipil mencapai kelimpahan produksi sebagai akibat dari kerja para anggota masyarakat sipil. Titik jenuh produksi ini disebut Hegel sebagai tingkat kematangan masyarakat sipil. Dalam tingkat kematangan ini, masyarakat sipil harus mencari pasar di tempat lain dengan cara mengkoloni tempat tersebut. Tapi Hegel menyebutkan alasan tindakan koloni itu dalam rangka mencukupi kebutuhan keluarga-keluarga di tempat lain.[14]
C. Negara (State)
Negara merupakan badan universal dimana keluarga dan masyarakat sipil dipersatukan. Sebagai badan universal, negara mencerminkan kehendak dari kehendak partikular rakyatnya. Keuniversalan kehendak negara sebenarnya telah ada secara implisit dalam kehendak individu masyarakat sipil yaitu ketika mereka mengejar pemenuhan kebutuhan pribadi sekaligus juga memenuhi kebutuhan individu-individu lain dalam masyarakat sipil.[15] Negara mempersatukan segala tuntutan dan harapan sosial masyarakat sipil dan keluarga.
Dalam kedudukannya yang tertinggi, negara mengatur sistem kebutuhan masyarakat sipil dan keluarga dengan memberikan jaminan stabilitas hak milik pribadi, kelas-kelas sosial dan pembagian kerja. Pengaturan negara itu dilakukan melalui hukum. Melalui hukum itu, negara berfungsi untuk memperkembangkan agregat tindakan rasional sebab pembatasan yang dilakukan oleh hukum negara merupakan pembatasan rasional yang diperlukan bagi keberadaan individu-individu lainnya. Kebebasan individu ditentukan oleh rasionalitas manusia. Hukum negara menjadi instrumen untuk mengingatkan manusia agar tidak bertindak irrasional.
Bagi Hegel, negara adalah kesatuan mutlak. Oleh karena itu, Hegel menolak pembagian kekuasaan di dalam negara.[16] Di dalam negara, tidak ada pembagian kekuasaan tetapi yang ada adalah pembagian pekerjaan untuk masalah-masalah universal. Negara yang digambarkan Hegel sebagai ideal dari konsep kesatuannya adalah negara monarki konstitusional yang tersusun dalam Legislatif, Eksekutif dan Raja. Raja merupakan kekuasaan pemersatu dan sekaligus yang tertinggi dari semuanya. Eksekutif merupakan kelompok birokrasi yang pejabatnya diangkat berdasarkan keahlian dan digaji tetapi pekerjaannya menyangkut masalah-masalah universal dan harus bebas dari pengaruh-pengaruh subyektif. Legislatif bergerak di bidang pembuatan hukum dan konstitusi serta menangani masalah-masalah dalam negeri yang dalam hal ini diduduki oleh Perwakilan (Estate) yang terdiri dari kelas bawah yaitu kelas petani, kelas bisnis dan kelas tuan tanah. Perwakilan (Estate) dalam legislatif bertugas agar Raja tidak bertindak sewenang-wenang dan mencegah agar kepentingan-kepentingan partikular dari individu, masyarakat dan korporasi jangan sampai melahirkan kelompok oposisi terhadap negara.[17] Dalam hubungannya dengan Raja, Perwakilan ini juga menjadi penasehat Raja. Bagi Hegel, negara monarki konstitusional merupakan bentuk negara modern yang rasional karena monarki konstitusional merupakan hasil pemikiran yang bersifat evaluatif atas monarki lama.[18]

MARX : NEGARA DAN MASYARAKAT SIPIL

A. Latar Belakang: Kritik Marx Atas Pemikiran Negara dan Masyarakat Sipil Hegel.

Marx mengritik pemisahan negara dan civil society dari Hegel menjadi penyebab keterasingan manusia.[19] Manusia dalam civil society bersifat egois. Manusia-manusia lain dalam civil society saling memanfaatkan satu sama lain demi mencukupi kebutuhan mereka sendiri dan karena itu dalam civil society akan terjadi anarki. Oleh karena itulah, civil society memerlukan negara yang memaksa mereka untuk bersikap sosial melalui kepatuhan kepada hukum. Menurut Marx, seandainya individu dalam civil society itu tidak terasing dari kesosialannya, negara tidak diperlukan lagi.
Jadi, yang menjadi pokok bukan negara tetapi justru manusia dalam masyarakat sipil itulah yang yang menjadi realitas pertama. Oleh karena itu, Marx sependapat dengan Feuerbach bahwa filsafat Hegel terbalik secara hakiki .[20] Logika Hegel mengenai negara membawahi civil society dibalik menjadi civil society membawahi negara. Logika pembalikan ini bisa dijelaskan dalam pengertian civil society sebagai masyarakat borjuis dan negara merupakan alat di tangan borjuis untuk melanggengkan proses penghisapan terhadap kaum buruh.
Marx mengatakan bahwa teori negara Hegel tidak dapat menyelesaikan konflik tetapi justru akan melembagakan konflik itu sendiri dalam negara. Mengapa demikian? Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh Marx yaitu : pertama, perwakilan dalam negara monarki konstitusional yang keanggotaannya terdiri dari bermacam-macam kelas justru akan melahirkan konflik di antara kelas-kelas itu sendiri. Kedua, kelas birokrat yang ditampilkan Hegel akan memperjuangkan kepentingan kelas dari mana pejabat birokrasi itu berasal dan ketiga, pemisahan negara dengan masyarakat sipil akan melanggengkan konflik kepentingan antara negara dengan masyarakat sipil.[21]

B. Pandangan Marx : Civil Society

Marx memandang civil society sebagai masyarakat yang dicirikan oleh pembagian kerja, sistem pertukaran dan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Pandangan ini memang sama dengan pandangan Hegel, tetapi kemudian ia menambahkan bahwa masyarakat sipil itu terbagi dalam dua bagian yaitu kaum majikan atau kaum borjuis sebagai pemilik alat produksi (property-owners) dan kaum buruh atau kaum proletar yang tidak memiliki alat produksi (propertyless).[22] Pembagian struktur dalam masyarakat sipil itu merupakan akibat dari adanya hak atas milik pribadi.
Sistem hak milik pribadi dalam masyarakat sipil mengakibatkan manusia mengalami alienasi. Buruh terasing dari pekerjaannya karena pekerjaan itu tidak lagi mencerminkan tindakan paling luhur manusia tetapi menjadi sesuatu yang rutin, membosankan dan tanpa makna, demi mendapatkan upah. Buruh juga terasing dengan majikan karena masing-masing mencari kepentingan sendiri-sendiri. Buruh juga terasing dengan sesama buruh karena mereka saling berebut pekerjaan.[23]
Masyarakat sipil juga ditandai dengan penghisapan buruh oleh majikan. Buruh diperas tenaganya demi kepentingan majikan. Gambaran ini merupakan konsekuensi dari pandangan Marx atas civil society sebagai masyarakat kapitalis.

C. Pandangan Marx : Negara.

Negara dalam, pandangan Marx, alat di tangan kaum borjuis untuk mempertahankan kepentingannya.[24] Pandangan ini didasarkan pada paham materialisme sejarah Marx yang menempatkan negara dalam bangunan atas (supra struktur) bersamaan dengan hukum, ideologi, agama, filsafat dan lain-lain. Ada pun ekonomi yang menjadi sentral dari perkembangan sejarah manusia berada dalam bangunan bawah (infra strukture). Negara menjadi alat kaum borjuis untuk menjamin kelangsungan penindasan terhadap kaum buruh agar kaum buruh tidak berusaha membebaskan diri dari usaha penghisapan dari kaum majikan. Sedangkan hukum, moral, agama, filsafat yang disebut juga dengan “bangunan atas ideologis” berfungsi memberikan legitimasi bagi usaha penghisapan yang dilakukan oleh kaum majikan.
Negara muncul sebagai akibat dari kebutuhan kaum borjuis untuk melindungi keberlangsungan proses kapitalisme yang ada dalam dalam masyarakat sipil. Relasi-relasi dalam masyarakat sipil dikendalikan oleh relasi-relasi produksi kapitalis sehingga dalam masyarakat sipil terkandung tirani ideal bagi konsolidasi kapitalisme. Negara akan melindungi proses kapitalisme itu dari segala macam upaya yang akan menggagalkan proses tersebut.

D. Utopi : Negara dan Masyarakat Sipil Pasca Kapitalisme.

Menurut Marx biang keladi dari seluruh keterasingan manusia adalah struktur ekonomi. Oleh karena itu, agar keterasingan manusia itu bisa dihilangkan, maka struktur ekonomi itu harus diubah. Perubahan struktur ekonomi itu dilakukan melalui revolusi yaitu pertentangan antara kelas buruh melawan kelas majikan. Dalam perhitungan Marx, kelas buruh akan memenangkan perlawanan itu sehingga alat-alat produksi beralih dari tangan kaum majikan kepada kaum buruh.
Pada tahap awal pasca revolusi itu, negara masih dibutuhkan tetapi dalam bentuk “diktator proletariat”. Negara dalam bentuk ini dibutuhkan untuk memastikan bahwa kaum kapitalis sudah tidak ada lagi dan untuk menjalani masa transisi kaum buruh dari ketrampilan spesialis sebagai akibat dari pembagian kerja menjadi ketrampilan universal dalam rangka mengatasi pembagian kerja.
Hasil akhir yang digambarkan Marx adalah sebuah masyarakat yang bebas dan kreatif dalam masyarakat komunis. Masing-masing orang bisa bekerja kapan saja, mau melakukan hobinya kapan saja sebelum atau sesudah bekerja. Dalam masyarakat komunis ini, pembagian kelas sudah tidak ada lagi. Negara pun sudah mati dengan sendirinya karena tidak ada yang lagi yang ditindas. Proses produksi dipimpin oleh persekutuan bebas semua individu.[25]

GRAMSCI : NEGARA DAN MASYARAKAT SIPIL

A. Latar Belakang: Kritik Terhadap Marx.

Gramsci mengritik ekonomisme Marx yang didasarkan pada materialisme sejarah. Menurut Gramsci, pembagian struktur kehidupan pada bangunan atas dan bangunan bawah mengakibatkan kegagalan Partai Sosialis Italia dalam mengobarkan semangat revolusi 1912-1920. Gambaran struktur Marx itu pula yang menyebabkan gerakan buruh melemah dan buruh tunduk pada struktur penindasan kapitalis dan fasisme.[26]
Gramsci menolak paham ekonomistis Marx. Bagi Gramsci, perubahan ke arah masyarakat sosialis bukan semata-mata bercorak ekonomistis, tetapi juga harus memperhatikan aspek sosial, budaya dan ideologi. Oleh karena itu, hegemoni menjadi tema sentral dalam pemikiran Gramsci sebagai upaya mewujudkan cita-cita masyarakat sosialis-nya.[27]
Gramsci juga menolak pemikiran Marx mengenai revolusi yang akan mengganti secara total negara dengan masyarakat tanpa kelas. Bagi Gramsci, perubahan ke arah sosialisme harus dilakukan dengan memanfaatkan jalur-jalur yang tersedia. Bertolak dari kondisi yang sudah ada itu, buruh membuat jaringan dan aliansi-aliansi baru dengan kelompok-kelompok sosial yang ada melalui hegemoni.[28]

B. Pemikiran Gramsci : Masyarakat Sipil

Gramsci memasukkan masyarakat sipil dalam bangunan atas (super structure) Marx bersama dengan negara. Dalam masyarakat sipil, terjadi proses hegemoni oleh kelompok-kelompok dominan sedangkan negara melakukan dominasi langsung kepada masyarakat sipil melalui hukum dan masyarakat politik. Gramsci sendiri mengakui bahwa senyatanya masyarakat sipil telah terhegomi. Pengakuannya itu diungkapkan dengan mengatakan bahwa masyarakat sipil adalah etika atau moral.
Gramsci membedakan masyarakat sipil dengan masyarakat politik. Masyarakat politik adalah aparat negara yang melaksanakan fungsi monopoli negara dengan koersi, yang di dalamnya meliputi tentara, polisi, lembaga hukum, penjara, semua departemen administrasi yang mengurusi pajak, keuangan, perdagangan dan sebagainya. Masyarakat sipil adalah wilayah dimana relasi antara kelompok tidak dilakukan dengan koersi. Maka Gramsci mengatakan bahwa masyarakat sipil mencakup organisasi-organisasi privat seperti gereja, serikat dagang, sekolah, dan termasuk juga keluarga.[29] Gramsci juga mengatakan bahwa organisasi-organisasi dalam masyarakat sipil mempunyai tujuan yang berbeda-beda seperti politik, ekonomi, olah raga, seni dan sebagainya namun mereka memiliki asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang diterima oleh masyarakat meskipun sering tidak kentara.[30]
Masyarakat sipil merupakan salah satu bagian dari masyarakat kapitalis. Gramsci mengatakan masyarakat kapitalis terdiri dari tiga jenis hubungan yaitu hubungan dasar antara pekerja dan pemodal, hubungan koersif yang menjadi watak negara, dan hubungan sosial lainnya yang membentuk masyarakat sipil. Maka bagi Gramsci, masyarakat sipil bukan negara karena negara bersifat koersif dan bukan produksi karena dalam produksi terjadi tindakan koersif pemilik modal kepada buruh. Ronnie D. Lipschutz merumuskannya dengan mengatakan “Gramsci placed civil society between state and market and outside of the private sphere of family and friendship.”[31]
Masyarakat sipil merupakan medan perjuangan politik. Oleh karena itu, dalam rangka pembentukan negara sosialis, Gramsci mengatakan perlunya kelompok buruh membangun hegemoni atas kelompok-kelompok lain dalam masyarakat sipil dengan sebuah ideologi baru yang mampu mewadahi kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat sipil dan sekaligus mampu mewadahi kepentingan kelompok buruh. Dalam hal ini, kelompok buruh harus mampu mentransformasi ideologi-ideologi yang ada dengan tetap mempertahankan unsur-unsur penting dari masing-masing ideologi itu dan menyusunnya menjadi sebuah ideologi baru yang mencakup semua termasuk kepentingan kelompok buruh sendiri.
Karena masyarakat sipil telah terhegemoni, maka kelompok buruh perlu melakukan kontra hegemoni. Dalam hal ini, kelompok buruh membangun hegemoni dengan melakukan “perang posisi” melawan hegemoni negara yang telah menjadi blok historis.[32] Pada saatnya nanti ketika negara sosialis telah terbentuk, kelompok buruh harus tetap membangun hegemoni agar menjadi blok historis.[33]
Ketika kelompok buruh memperoleh kekuasaan negara, masyarakat sipil harus sudah maju. Kemajuan masyarakat sipil diukur dari kemampuan membangun hubungan secara otonom, kemampuan mengatur dirinya sendiri (self-governing) dan adanya disiplin diri masyarakat. Tanpa disertai dengan kemajuan masyarakat sipil, maka kelompok buruh akan tetap memiliki ketergantungan yang kuat terhadap negara atau tetap berada dalam periode statolatry. Oleh karena itu, periode statolatry harus terus menerus dikritik agar masyarakat sipil menjadi maju dimana terjadi perkembangan inisiatif individu dan kelompok.

C. Pemikiran Gramsci : Negara.

Bagi Gramsci, negara adalah masyarakat politik dan masyarakat sipil. Negara memiliki alat-alat koersif yaitu lembaga-lembaga yang disebutnya sebagai masyarakat politik. Tetapi negara tidak semata-mata melakukan koersif saja tetapi negara juga melakukan apa yang ia sebut sebagai ‘peran edukatif dan formatif negara’ yaitu melakukan hegemoni. Masyarakat sipil merupakan masyarakat yang telah terhegemoni oleh negara sehingga memampukan negara menjadi blok historis berkat dukungan dari masyarakat sipil. Itulah sebabnya, ia mengatakan bahwa negara merupakan masyarakat politik dan masyarakat sipil.
Pemikirannya mengenai negara sebagai masyarakat politik dan masyarakan sipil melahirkan gagasan mengenai negara integral. Pemahaman mengenai negara integral tidak bisa dilepaskan dari gagasannya mengenai sifat kekuasaan. Kekuasaan dipahami oleh Gramsci sebagai hubungan sosial. Hubungan sosial negara terjadi terhadap masyarakat politik dan juga terhadap masyarakat sipil. Jadi, di dalam masyarakat sipil disamping terdapat hubungan sosial di antara kelompok-kelompoknya sendiri juga terdapat hubungan sosial dengan negara.
Gramsci memikirkan negara yang dicita-citakannya dalam gambaran Dewan Pabrik. Dewan pabrik ini merupakan hasil cetusan gagasannya mengenai perlunya transformasi komisi internal yang ia lontarkan saat ia duduk dalam kepengurusan komisi internal di Turin. Inti gagasannya mengenai transformasi itu adalah agar komisi internal sebagai organ kekuasaan proletarian menggantikan kelompok pemodal dalam menjalankan fungsi-fungsi manajemen dan administrasi sehingga komisi internal bisa menjadi sekolah politik dan administrasi bagi kaum pekerja. Gagasan itu diterima dengan cepat sehingga komisi internal berkembang menjadi dewan pabrik. Dalam dewan pabrik ini, pekerja dapat melakukan kontrol atas proses produksi, mengambil alih fungsi manajemen dan administrasi. Dengan demikian, bagi Gramsci, dewan pabrik membangun kesadaran politik akan negara demokrasi langsung yang dibangun atas partisipasi rakyatnya. Dengan menggambarkan dewan pabrik sebagai embrio negara, Gramsci mencita-citakan sebuah negara demokrasi langsung dimana kendali atas proses produksi berada di tangan kelompok buruh.[34]

KESIMPULAN

Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa pemikiran mengenai negara dan masyarakat sipil mengalami pasang surut dalam perjalanan sejarah. Dalam pemikiran Hegel, masyarakat sipil adalah masyarakat yang hidupnya tidak dicampuri urusannya oleh negara. Hegel belum memaksudkan masyarakat sipil seperti yang dikemukakan oleh Larry Diamond. Hegel masih mengartikan sebagai sebuah masyarakat biasa, komunitas yang terdiri dari individu-individu, yang kehidupannya tidak dicampuri oleh negara. Dalam kaitan ini, negara dipandang Hegel sebagai pengatur dan pemersatu dari masyarakat sipil melalui hukum, lembaga-lembaga peradilan dan lembaga kepolisian. Pemikiran Hegel ini diinterpretasikan oleh Marx dalam kerangka perjuangan kaum buruh. Masyarakat sipil dipandang sebagai kelompok yang teralieanasi sehingga masyarakat membutuhkan negara. Masyarakat sipil adalah masyarakat dimana terjadi penghisapan buruh oleh majikan. Negara juga dipandang sebagai alat di tangan kaum borjuis untuk mempertahankan kedudukannya. Maka Marx mencita-citakan sebuah masyarakat tanpa kelas sehingga individu-individu mendapatkan kebebasan dan bekerja seturut kodratnya sebagai manusia. Dalam kondisi seperti ini, negara mati dengan sendirinya. Perwujudan utopi itu dilakukan melalui revolusi yang akan menghapus kepemilikan alat produksi dari kaum borjuis. Gramsci menentang teori ekonomistis Marx ini dan mengatakan bahwa perubahan masyarakat sosialis harus bertolak dari kondisi yang ada. Perubahan harus dilakukan oleh kelompok buruh melalui hegemoni dalam masyarakat sipil. Masyarakat sipil dalam pemikiran Gramsci sudah mulai dipikirkan adanya organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok yang otonom. Meskipun organisasi-organisasi itu saling membangun hegemoni sendiri, negara juga tidak ketinggalan membangun hegemoni di antara kelompok-kelompok itu. Negara disamping memiliki kekuatan untuk membangun hegemoni masyarakat sipil, juga memiliki masyarakat politik sebagai alat koersif negara.
Sumbangan pemikiran yang penting bagi perkembangan demokrasi dari ketiga pemikiran itu adalah bahwa kehidupan masyarakat sipil harus menjadi wilayah kebebasan (Hegel) sehingga akan menjadi medan kehidupan yang manusiawi (Marx). Dengan kebebasan itu, organisasi-organisasi kemasyarakatan akan tumbuh memperkuat demokrasi (Gramsci). Mereka mampu bersikap kritis terhadap negara (Gramsci) sehingga memungkinkan terciptanya kehidupan yang lebih baik dengan dilandasi pada rationalitas dan kebebasan manusia (Hegel). Negara dalam hal ini harus terus menerus menyandarkan diri dalam rasionalitasnya (Hegel) agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan berupa penyalahgunaan lembaga-lembaga koersifnya (Hegel, Marx, Gramsci) maupun penyalahgunaan kemampuan hegemoniknya melalui struktur hukum, ideologi atau pendidikan (Hegel, Marx, Gramsci).
Demikianlah pemaparan atas pemikiran Hegel, Marx dan Gramsci. Semoga bermanfaat bagi wacana kita dalam memperkembangkan demokrasi di Indonesia.
Daftar Pustaka
Anafansyev, V. Marxist Philosophy A Popular Outline. trans. by Leo Lempert. Rev.Ed. Moscow : Progress Publishers, 1965
Calabrese, Andrew. “The Promise of Civil Society : A Global Movement for Communication Rights.” Continuum : Journal of Media and Cultures Studies 3 (September 2005), 317-329.
Hegel’s Philosophy of Right. Transl. T.M. Knox. Reprint. London : Oxford University Press, 1981.
Iskandar, Deddy. “Mengenal dan Mengritik Gramsci.” Pemikiran-pemikiran Revolusioner. Ed. Saiful Arif. Malang : Averroes Press, 2001
Lipschutz, Ronnie D. “Power, Politics and Global Civil Society.” Millenium: Journal of International Studies 33 (3:2005)
McLellan, David. “Marx, Engels and Lenin on Party and State.” The Withering Away of State?Party State under Communism, ed. Leslie Holmes. London : SAGE Publications Ltd, 1981.
McClelland, J.S. History of Western Political Thought. London : Routledge, 1996.
Muukkonen, Martti. “Civil Society.” Makalah dalam Annual Meeting of Finish Sociologist, Turku, 24 – 25 Maret 2000.
Nina, Daniel. “Beyond The Frontier : Civil Society Revisited.” Transformation 17 (1992), 61-73.
Suseno, Franz Magnis. Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta:Gramedia, 1991
Suseno, Franz Magnis. Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta : Gramedia, 1999.
Shils, Edward. “The Virtue of Civility,” Selected Essay on Liberalism, Tradition and Civil Society. Ed. Steven Grosby. Indiana Polis : Liberty Fund, 1997.
Simon, Roger. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. terj. Kamdani et al. Yogyakarta : Insist, 2000.
Stumpf, Samuel Enoch. Philosophy History and Problems. Fifth edition. New York : McGraw Hill Inc, 1994.

Jumat, 03 Agustus 2012

generator hampa

Karbon padat hasil pembakaran batok kelapa ditanam dalam panel generator, dan diubah menjadi energi kimia. Sel bahan bakar lalu mengubah energi kimia yang tersimpan menjadi energi listrik siap paka


MALANG, KOMPAS.com — Slamet Haryanto (51) hanya seorang lulusan sekolah dasar negeri di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, tetapi ia berhasil menciptakan generator tanpa bahan bakar yang diberi nama "Pembangkit Listrik Tenaga Hampa".
Warga Desa Ngroto, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, Jawa Timur, ini tinggal bersama istri dan ketiga anaknya di sebuah rumah kontrakan sederhana.
Karyanya (generator PLTH) itu ditaruh di ruang berukuran 18 meter, yang terbuat dari bambu di sebelah rumah kontrakannya, di Jalan Abdul Manan Wijaya, Desa Ngroto.
Saat ditemui Kompas.com di rumah kontrakannya, Rabu (25/7/2012), Slamet yang kesehariannya berprofesi sebagai tukang servis dinamo mengatakan, ide tersebut muncul pada 1997, saat seorang teman dari kampung sebelah meminta membuatkan pembangkit listrik pengganti petromaks.
"Selain itu, saya mencari cara bagaimana listrik tidak terus padam. Selama ini pakai listrik PLN sering mengalami padam. Siapa tahu ada cara lain. Ada pembangkit listrik yang tidak sering padam," cerita Slamet.
Awalnya, Slamet ingin membuat kincir angin, tetapi batal karena mebuat kincir angin membutuhkan dana besar. Setelah terus berjuang untuk membuktikan cita-citanya pada 2008, baru tercipta purwarupa pertama berupa generator.
Alat-alat yang dibutuhkan untuk membuat generator dibeli dari Surabaya. "Kalau ada alat yang bisa dibeli di Malang, saya beli di Malang. Alat yang tidak ada (di Malang) saya beli di Surabaya," katanya.
Alat tersebut bekerja memanfaatkan karbon padat, yang diambil dari hasil pembakaran batok kelapa, ditambah 100-an elemen dan kapasitor. "Karena membutuhkan banyak karbon, saya sampai membeli karbon dari para petani kelapa di wilayah Tulungagung," katanya.
Karbon tersebut, jelas suami dari Sri itu, dipasang di panel kaca. Setiap satu panel dibutuhkan sekitar 3 kilogram karbon. "Dalam generator itu mengandalkan arus bolak-balik, dari panel-trafo-aki mesin-pendorong-kapasitor. Dari kapasitor sebagian akan jadi daya listrik dan sebagian lagi ke panel," jelasnya.
Dari prototipe tersebut diperoleh tegangan 380 volt dan berkapasitas maksimal 13 kilowatt. Setelah itu, Slamet mengembangkan tipe lain yang bertegangan 220 volt dengan daya maksimal 6.000 watt, yang cocok untuk listrik rumahan.
Jenis tersebut memiliki dua panel kaca, yang masing-masing berisi 3 kilogram karbon padat. Panel tersebut berfungsi menyimpan daya listrik 1.500 hingga 2.000 watt per panel.
"Untuk tipe yang lebih besar, 380 volt, maksimal 48 kilowatt. itu sudah bisa digunakan untuk industri. Namun, dibutuhkan enam panel," katanya.
Generator yang diciptakan Slamet itu bisa bekerja selama 24 jam. Namun, syaratnya ada alat yang terus membutuhkan listrik. Tak boleh mati. "Untuk menghidupkan hanya butuh dipancing dengan aki," katanya.
Saat ditanya berapa karyanya yang sudah dikeluarkan dan digunakan oleh banyak orang, Slamet mengaku lebih kurang 50. "Kebanyakan pemesannya warga Kalimantan, karena dipakai di desa yang tidak dimasuki PLN," katanya.
Namun, hingga kini Slamet belum menentukan nama yang cocok untuk mesin ciptaannya tersebut. "Untuk sementara saya beri nama Pembangkit Listrik Tenaga Hampa (PLTH)," katanya sembari tertawa karena tak bisa menjelaskan secara detail mengapa diberi nama PLTH.
Ketika ditanya berapa dana yang dihabiskan untuk PLTH berkapasitas 1 kilowatt, Slamet mengatakan hanya menghabiskan dana sebesar Rp 3-4 juta. Sedangkan yang berkapasitas 13 kilowatt membutuhkan modal lebih kurang Rp 45 juta dan dia jual Rp 55 juta.
Dalam mengerjakan karyanya itu, Slamet dibantu oleh seorang anaknya bernama David Isnupratama. Dari hasil pernikahannya bersama Sri, Slamet sudah memiliki tiga anak, yaitu Ika Haryeni, David Isnupratama, dan Hendra Priapratama, yang kini masih duduk di bangku SMP negeri di Pujon.
"Semoga apa yang saya ciptakan ini bermanfaat untuk masyarakat Indonesia yang belum bisa menikmati listrik, terutama bagi masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil yang tidak teraliri listrik," kata Slamet.
Selain membuat generator, Slamet juga sering diminta untuk membantu istrinya menjual nasi bungkus di wilayah Songgorit. Maklum, karena istrinya membuka warung nasi di depan rumah kontrakannya.
"Sering saya suruh menjual nasi bungkus di wilayah Songgoriti. Selain itu, juga membersihkan vila di wilayah Batu. Setelah itu mengerjakan generator itu," kata Sri, istri Slamet.



uang dan sejarah

Uang yang kita kenal sekarang ini telah mengalami proses perkembangan yang panjang. Pada mulanya, masyarakat belum mengenal pertukaran karena setiap orang berusaha memenuhi kebutuhannnya dengan usaha sendiri. Manusia berburu jika ia lapar, membuat pakaian sendiri dari bahan-bahan yang sederhana, mencari buah-buahan untuk konsumsi sendiri; singkatnya, apa yang diperolehnya itulah yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhannya.

Perkembangan selanjutnya mengahadapkan manusia pada kenyataan bahwa apa yang diproduksi sendiri ternyata tidak cukup untuk memenuhui seluruh kebutuhannya. Untuk memperoleh barang-barang yang tidak dapat dihasilkan sendiri, mereka mencari orang yang mau menukarkan barang yang dimiliki dengan barang lain yang dibutuhkan olehnya. Akibatnya muncullah sistem barter', yaitu barang yang ditukar dengan barang.

Namun pada akhirnya, banyak kesulitan-kesulitan yang dirasakan dengan sistem ini. Di antaranya adalah kesulitan untuk menemukan orang yang mempunyai barang yang diinginkan dan juga mau menukarkan barang yang dimilikinya serta kesulitan untuk memperoleh barang yang dapat dipertukarkan satu sama lainnya dengan nilai pertukaran yang seimbang atau hampir sama nilainya. Untuk mengatasinya, mulailah timbul pikiran-pikiran untuk menggunakan benda-benda tertentu untuk digunakan sebagai alat tukar. Benda-benda yang ditetapkan sebagai alat pertukaran itu adalah benda-benda yang diterima oleh umum (generally accepted), benda-benda yang dipilih bernilai tinggi (sukar diperoleh atau memiliki nilai magis dan mistik), atau benda-benda yang merupakan kebutuhan primer sehari-hari; misalnya garam yang oleh orang Romawi digunakan sebagai alat tukar maupun sebagai alat pembayaran upah. Pengaruh orang Romawi tersebut masih terlihat sampai sekarang; orang Inggris menyebut upah sebagai salary yang berasal dari bahasa Latin salarium yang berarti garam.

Meskipun alat tukar sudah ada, kesulitan dalam pertukaran tetap ada. Kesulitan-kesulitan itu antara lain karena benda-benda yang dijadikan alat tukar belum mempunyai pecahan sehingga penentuan nilai uang, penyimpanan (storage), dan pengangkutan (transportation) menjadi sulit dilakukan serta timbul pula kesulitan akibat kurangnya daya tahan benda-benda tersebut sehingga mudah hancur atau tidak tahan lama.

Kemudian muncul apa yang dinamakan dengan uang logam. Logam dipilih sebagai alat tukar karena memiliki nilai yang tinggi sehingga digemari umum, tahan lama dan tidak mudah rusak, mudah dipecah tanpa mengurangi nilai, dan mudah dipindah-pindahkan. Logam yang dijadikan alat tukar karena memenuhi syarat-syarat tersebut adalah emas dan perak. Uang logam emas dan perak juga disebut sebagai uang penuh (full bodied money). Artinya, nilai intrinsik (nilai bahan) uang sama dengan nilai nominalnya (nilai yang tercantum pada mata uang tersebut). Pada saat itu, setiap orang berhak menempa uang, melebur, menjual atau memakainya, dan mempunyai hak tidak terbatas dalam menyimpan uang logam.

Sejalan dengan perkembangan perekonomian, timbul kesulitan ketika perkembangan tukar-menukar yang harus dilayani dengan uang logam bertambah sementara jumlah logam mulia (emas dan perak) sangat terbatas. Penggunaan uang logam juga sulit dilakukan untuk transaksi dalam jumlah besar sehingga diciptakanlah uang kertas

Mula-mula uang kertas yang beredar merupakan bukti-bukti pemilikan emas dan perak sebagai alat/perantara untuk melakukan transaksi. Dengan kata lain, uang kertas yang beredar pada saat itu merupakan uang yang dijamin 100% dengan emas atau perak yang disimpan di pandai emas atau perak dan sewaktu-waktu dapat ditukarkan penuh dengan jaminannya. Pada perkembangan selanjutnya, masyarakat tidak lagi menggunakan emas (secara langsung) sebagai alat pertukaran. Sebagai gantinya, mereka menjadikan 'kertas-bukti' tersebut sebagai alat tukar.

Sejarah uang sejak ribuan tahun. Pengetahuan tentang pengumpulan mata uang adalah studi ilmiah uang dan sejarahnya dalam segala bentuknya.

Banyak artikel telah digunakan sebagai uang komoditas seperti logam mulia alami langka, cowrie, barley, mutiara, dll, serta banyak hal lainnya yang dipandang sebagai memiliki nilai.

uang Modern (dan uang lama) pada dasarnya adalah tanda - abstraksi dengan kata lain, sebuah. Kertas mata uang mungkin merupakan jenis yang paling umum saat ini uang fisik. Namun, benda-benda emas dan perak memiliki sifat penting banyak uang.

Non-moneter tukar: barter dan hadiah
Berlawanan dengan konsepsi populer, tidak ada bukti dari masyarakat atau ekonomi yang bergantung terutama pada barter. Sebaliknya, masyarakat non-moneter dioperasikan sebagian besar di bawah prinsip-prinsip ekonomi hadiah. Ketika barter benar-benar terjadi, itu umumnya antara dua orang asing, atau musuh yang potensial.

Dengan barter, seseorang dengan objek material nilai, sebagai ukuran butiran, langsung bisa pertukaran objek untuk objek lain dianggap memiliki nilai yang sama, seperti binatang kecil, pot tanah liat atau alat. Kemampuan untuk melakukan transaksi sangat terbatas karena bergantung pada beberapa kebetulan inginkan. Penjual foodgrains harus mencari pembeli yang ingin membeli gandum dan juga bisa menawarkan sesuatu sebagai imbalan, penjual ingin membeli. Tidak ada media pertukaran umum di mana penjual dan pembeli dapat mengubah barang-barang yang bisa diperdagangkan mereka. Tidak ada standar yang dapat diterapkan untuk mengukur nilai relatif dari berbagai barang dan jasa.

Dalam perekonomian hadiah, barang dan jasa yang berguna secara teratur diberikan tanpa persetujuan eksplisit untuk hadiah atau masa depan (yaitu tidak ada formal pound pro quo). Idealnya, simultan atau rutin memberikan berfungsi untuk mengedarkan dan mendistribusikan barang-barang berharga dalam masyarakat.

Ada beberapa teori tentang ekonomi sosial hadiah. Beberapa melihat sumbangan sebagai bentuk altruisme timbal balik. Interpretasi lain adalah bahwa status sosial diberikan sebagai imbalan untuk "hadiah". Perhatikan, misalnya, pembagian makanan di beberapa masyarakat pemburu-pengumpul, dimana berbagi makanan adalah suatu perlindungan terhadap kegagalan mencari makan sehari-hari setiap individu. Kebiasaan ini mungkin mencerminkan altruisme, dapat menjadi bentuk asuransi informal, atau dapat membawa dengan itu status sosial atau keuntungan lainnya.

Munculnya uang
peradaban Mesopotamia mengembangkan ekonomi yang didasarkan pada komoditas uang skala besar. Orang Babel dan negara-negara tetangga mereka kota kemudian mengembangkan sistem pertama ekonomi daripada yang kita pikirkan saat ini dalam hal aturan tentang utang, hukum kontrak dan kode hukum yang berkaitan dengan praktek-praktek komersial dan milik pribadi . Uang itu bukan hanya penampilan, itu adalah sebuah kebutuhan.

Kode Kode Hammurabi UU ca terbaik diawetkan kuno, telah dibuat. 1760 SM (kronologi tengah) di Babel kuno. Hal ini diadopsi oleh raja Babel keenam, Hammurabi. Sebelumnya koleksi hukum termasuk Kode Ur-Nammu, raja Ur (ca. 2050 SM), Kode Eshnunna (ca. 1930 SM) dan Kode Lipit-Ishtar dari Isin (sekitar 1870 sebelum JC). Kode-kode hukum formal peranan uang dalam masyarakat sipil. Mereka memperbaiki jumlah bunga atas utang ... denda untuk 'malpraktik' ... dan kompensasi moneter untuk pelanggaran hukum formal.

The Shekel referensi untuk sebuah unit kuno berat dan mata uang. Penggunaan pertama istilah ini berasal dari Mesopotamia sekitar 3000 SM. dan kembali ke massa jenis jelai yang nilai-nilai lain yang terkait dalam metrik tembaga dll seperti perak, jelai perunggu, / syikal pada awalnya kedua unit dan satu unit mata uang berat, karena pound sterling awalnya unit denominasi massa satu pon perak.

Dengan tidak adanya alat tukar, masyarakat non-moneter dioperasikan sebagian besar di bawah prinsip-prinsip ekonomi hadiah.

komoditas uang

Barter memiliki beberapa masalah, termasuk bahwa itu memerlukan suatu "kebetulan inginkan." Misalnya, jika seorang petani gandum membutuhkan apa petani menghasilkan buah-buahan, pertukaran langsung adalah mustahil untuk buah musiman akan merusak sebelum panen. Salah satu solusinya adalah untuk perdagangan buah dari gandum secara tidak langsung oleh komoditas, ketiga "menengah",: buah dipertukarkan untuk produk setengah jadi ketika buah matang. Jika ini komoditas menengah tidak menuntut binasa dan dapat diandalkan sepanjang tahun (misalnya tembaga, emas, atau anggur), maka dapat ditukar dengan gandum setelah panen. Fungsi dari komoditas menengah sebagai penyimpan nilai dapat dibakukan dalam uang komoditas umum, mengurangi kebetulan ingin masalah. Dengan mengatasi keterbatasan barter sederhana, uang komoditi membuat pasar di semua lain yang lebih likuid.

Banyak kebudayaan di seluruh dunia kemudian mengembangkan penggunaan uang komoditas. Kuno China dan Afrika yang digunakan cowrie. Perdagangan dalam sistem feodal Jepang didirikan pada koku - unit beras per tahun. syikal ini adalah unit kuno berat dan mata uang. Penggunaan pertama istilah ini berasal dari Mesopotamia sekitar 3000 SM dan disebut berat tertentu jelai, nilai-nilai lain dalam metrik tembaga dll seperti perak, jelai perunggu, / syikal berada di awalnya kedua unit mata uang dan satuan berat.

Dimana perdagangan umum, sistem barter biasanya memimpin cukup cepat untuk beberapa produk utama disebabkan kebajikan uang . Di koloni Inggris awal New South Wales, rum muncul cukup segera setelah penyelesaian bahwa produk-produk pasar uang paling banyak. Ketika suatu negara merupakan mata uang tanpa sering mengadopsi mata uang asing. Dalam penjara di mana uang konvensional dilarang, sangat umum untuk rokok untuk mengambil kualitas moneter, dan sepanjang sejarah, emas telah membuat fungsi moneter tidak resmi.

standar mata uang

Secara historis, logam, jika ada, umumnya telah menguntungkan untuk digunakan sebagai uang-proto pada produk seperti sapi, cowrie, atau garam, karena mereka berdua tahan lama, portabel, dan mudah dibagi. Penggunaan emas sebagai proto-uang telah ditelusuri kembali ke milenium keempat SM ketika orang Mesir digunakan emas batangan dengan berat didefinisikan sebagai alat tukar, seperti yang telah dilakukan sebelumnya di Mesopotamia dengan bar perak. Penguasa pertama yang telah resmi didirikan standar untuk bobot dan uang Pheidon . Koin pertama dicap (ditandai dengan otoritas dalam bentuk gambar atau kata-kata) dapat dilihat di Perpustakaan Nasional di Paris. Ini adalah stater dari elektrum sepotong kura-kura, ditemukan di pulau Aegina. Ini bagian yang luar biasa tanggal sekitar 700 SM . koin elektrum juga diperkenalkan sekitar 650 SM di Lydia.

Koin telah banyak diadopsi di seluruh Ionia dan Yunani daratan selama abad ke-6 SM, akhirnya menimbulkan SM Kekaisaran Athena pada abad ke-5, dominasi daerah melalui ekspor mereka keping perak, ditambang di selatan Attica dan Thorikos Laurion. Sebuah penemuan utama dari perak di vena Laurion di 483 SM menyebabkan ekspansi besar militer armada Athena. bersaing standar koin pada waktu itu dikelola oleh Phocaea Mytilene dan bagian penggunaan elektrum; Aegina digunakan perak.

Ini adalah penemuan batu ujian yang membuka jalan bagi mata uang berbasis komoditas dan koin logam. logam lunak dapat diuji untuk kemurnian batu ujian, untuk cepat menghitung total kandungan logam menjadi satu. Emas adalah logam lunak, yang juga sulit untuk menemukan, padat, dan storable. Akibatnya, emas moneter menyebar sangat cepat dari Asia Kecil, di mana ia mendapat dipakai secara luas di seluruh dunia.
Menggunakan sistem tersebut masih diperlukan beberapa langkah dan perhitungan matematis. Batu ujian untuk memperkirakan jumlah emas di suatu paduan, yang kemudian dikalikan dengan berat menemukan jumlah emas dalam satu potong. Untuk memfasilitasi proses ini, konsep mata uang standar diperkenalkan. Kamar telah dipra-ditimbang dan pra-paduan, selama produsen itu menyadari asal koin, tidak menggunakan batu ujian diwajibkan. Koin yang dicetak oleh pemerintah secara umum dalam proses hati-hati dilindungi, dan kemudian dicap dengan lambang yang dijamin berat dan nilai logam. Namun itu sangat umum bagi pemerintah untuk berpendapat bahwa nilai dana tersebut adalah lambang, dan dengan demikian semakin mengurangi nilai mata uang dengan menurunkan kandungan logam mulia.

Meskipun emas dan perak telah umum digunakan untuk koin, logam lain dapat digunakan. Sebagai contoh, Sparta kuno koin dilebur dari besi untuk mencegah warga dari terlibat dalam perdagangan luar negeri. Pada awal abad ketujuh belas Swedia tidak memiliki logam yang lebih mulia dan jika "piring uang" produk, yang lembaran besar dari tembaga sekitar 50 cm atau lebih panjang dan lebar, tepat cap dengan indikasi nilai.
bagian dari logam mulia memiliki keuntungan menghasilkan nilai dalam koin sendiri - di sisi lain, mereka diinduksi manipulasi: pemotongan bagian dalam upaya untuk mendapatkan dan mendaur ulang logam mulia. Sebuah masalah besar adalah co-eksistensi simultan emas, perak dan koin tembaga di Eropa. Inggris dan Spanyol nilai pedagang emas lebih dari koin perak, seperti banyak dari tetangga mereka lakukan, yang menyatakan bahwa orang Inggris Guinea koin emas yang berisi mulai bangkit melawan mahkota perak Inggris yang berbasis di tahun 1670 dan 1680. Oleh karena itu, uang itu akhirnya dihapus ke Inggris untuk meragukan jumlah emas masuk ke dalam negeri dengan kecepatan yang ada saham negara lain Eropa. Efek ini diperparah dengan para pedagang Asia tidak berbagi apresiasi emas sekaligus Eropa -. Emas dan perak meninggalkan Asia meninggalkan Eropa dalam jumlah pemantau Eropa seperti Isaac Newton, Direktur Mint telah mengamati dengan perhatian.

Stabilitas telah datang ke dalam sistem dengan perbankan nasional yang menjamin untuk mengubah uang ke emas pada tingkat yang dijanjikan, belum ada mudah. Risiko Bank of England bencana keuangan nasional di 1730s ketika pelanggan meminta uang mereka akan berubah menjadi emas dalam waktu krisis. Akhirnya, pedagang London menyelamatkan bank dan bangsa dengan jaminan keuangan.

Langkah lain dalam evolusi mata uang koin berubah adalah satuan berat menjadi unit nilai. pembedaan bisa dibuat antara nilai komoditi dan nilainya secara tunai. Perbedaannya adalah nilai-nilai ini adalah seigniorage.